Berdamai dengan jarak dan fasilitas yang minim kini menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh para pekerja muda dan masyarakat berpendapatan rendah yang berkeinginan untuk memiliki rumah di Jabodetabek.
Rumah sederhana yang sedang diselesaikan pengerjaannya di kawasan perumahan kota terpadu Citra Maja Raya, Lebak, Banten, Selasa (24/4/2018). Selain memenuhi kebutuhan perumahan dan program pembangunan sejuta rumah, Kota Baru Maja didesain mengikuti kawasan berbasis transportasi massal seperti commuter line.
Lokasi perumahannya di kawasan Maja, Kabupaten Lebak, Banten yang berjarak 75 kilometer dari tempat kerjanya, tak menyurutkan Bondan (31) untuk memiliki rumah di kawasan yang diklaim akan menjadi sebuah kota baru itu. Perjalanan menggunakan kereta komuter selama dua jam memang mempermudah akses transportasi menuju kantornya di Tebet, Jakarta Selatan.
Namun, saat kapasitas KRL dibatasi selama pandemi Covid-19, satu-satunya pilihan, Bondan harus menempuh jarak pulang-pergi 150 kilometer atau sekitar 5 jam dengan sepeda motor
Bondan tampaknya sama sekali tidak keberatan dengan kondisi tersebut. “Ya jauh sih, hitung-hitung touring,” ujar nya sambil terkekeh saat berbincang awal pekan lalu.
Berdamai dengan jarak dan fasilitas yang minim kini menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh para pekerja muda dan masyarakat berpendapatan rendah yang berkeinginan untuk memiliki rumah di Jabodetabek. Kurangnya antisipasi pemerintah di masa lalu dalam mengelola lahan di Jabodetabek memaksa perumahan yang terjangkau makin ke pinggir dari waktu ke waktu. Perjalanan komuter puluhan kilometer setiap hari seakan normal dan harus diterima.
Berdamai dengan jarak dan fasilitas yang minim kini menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh para pekerja muda dan masyarakat berpendapatan rendah yang berkeinginan untuk memiliki rumah di Jabodetabek.
Bondan mengakui bahwa saat ini, di kawasan sekitar perumahannya belum memiliki pusat keramaian. Rumah sakit terdekat pun berlokasi sekitar 1 jam jauhnya. Bahkan, jaringan internet yang stabil pun masih sulit didapatkan. Ia meyakini bahwa pilihannya dua tahun lalu membeli rumah di sana dengan harga Rp 280 juta melalui angsuran selama 15 tahun adalah pilihan tepat.
Mungkin, bagi Bondan, hidup adalah pertaruhan. Bondan bertaruh bahwa kelak, perumahan yang ia tempati akan tumbuh menjadi kawasan mandiri dan ramai, mengikuti sejumlah perumahan besar yang sudah memiliki nama di sekitaran Jakarta. Kelak, kesusahan yang ia alami sekarang akan terbayarkan dengan kenyamanan tinggal di sebuah kota baru yang terus tumbuh.
Kehilangan kenyamanan fasilitas megapolitan adalah harga yang harus dibayar bagi para pekerja muda Jakarta yang ingin memiliki rumah sendiri.
KOMPAS/STEFANUS OSA TRIYATNA
Sebagian warga sudah mulai menghuni salah satu kluster di Perumahan Citra Maja Raya, Lebak, Banten, Senin (14/1/2019).
‘Pengorbanan’ serupa juga dialami oleh Anna (30), meski dalam kadar yang lebih ringan. Karyawan swasta yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan ini memilih untuk pindah 20 km dari indekos di Setiabudi, Jakarta Selatan ke Bambu Apus, Jakarta Timur untuk mendapatkan rumah pertamanya.
“Hal yang dikorbankan adalah akses ke pusat kota. Dulu ketika ngekos ke mana-mana dekat. Sekarang kerasa lebih jauh, ke kantor juga lebih effort,” kata Anna yang mulai menempati rumah tersebut awal September ini.
Akses angkutan umum
Memahami bahwa rumah tapak hanya bisa didapatkan di pinggiran Jakarta, Anna menetapkan aksesibilitas sebagai prioritas utama. Calon rumahnya harus setidaknya dekat dengan simpul dari dua moda transportasi umum.
Perburuan mencari rumah yang ia mulai sejak Februari 2021 berbuah pada rumah seluas 60 meter persegi. Rumah ini berjarak sekitar 7 kilometer dari Terminal Kampung Rambutan dan ke depan juga tidak jauh dari stasiun LRT Ciracas. “Ketika mencari rumah itu yang diutamakan aksesibilitas, seperti peta angkutan umum yang ada gitu,” kata Anna.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Calon penumpang KRL Commuterline menunggu bisa masuk ke peron Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Senin (20/9/2021).
Realistis dengan keadaan menjadi pilihan Nicke Meryanty (28), karyawan rumah produksi. Rumah yang jauh dari Ibu Kota tak masalah selama masih bisa terjangkau dengan angkutan umum, semisal KRL atau bus.
Dia sadar tak punya banyak pilihan ketika mendambakan rumah tapak dengan gaji UMR. Praktis, rumah impian berada puluhan kilo dari tempat kerja atau terletak di wilayah penyangga Jakarta.
Sambil menabung untuk KPR nanti, dia memilih indekos di Jakarta Selatan. Letaknya pun tak jauh dari halte Transjakarta dan MRT sehingga tak perlu merogoh banyak kocek untuk bepergian terutama ke pusat kota.
Dekat pusat kota
Namun memang bagi sebagian kalangan muda yang lain, jarak dekat dari pusat pusat keramaian Jakarta bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Bowo (29), karyawan sebuah lembaga nonpemerintah merasa bahwa tempat tinggalnya sekarang di Cipete, Jakarta Selatan sudah tepat. Meski hunian itu hanya indekos tapi dekat dengan kantornya dan berada di kawasan yang nyaman.
“Tempat tinggal idealnya tetap dekat di Jakarta. Karena, kalau jauh ya artinya waktu tempuh juga panjang. Dan waktu itu uang,” kata Bowo.
Bisa jadi kekhawatiran Bowo benar. Dari hasil analisis data persebaran penduduk Global Human Settlement Layer 2015 dan lokasi simpul transportasi publik, baru sekitar separuh penduduk di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi yang terhubung dengan stasiun kereta komuter dan pintu tol dalam radius 5 kilometer. Tiga wilayah tersebut menjadi lokasi hunian yang terjangkau bagi pekerja muda bergaji upah minium provinsi Jakarta.
Jarak tempuh yang jauh serta fasilitas perumahan yang minim menjadi tantangan para pekerja muda dan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memiliki hunian di Jabodetabek. Pemerintah dan swasta tidak hanya menyediakan kemudahan pemilikan rumah. Namun, juga perlu menyediakan akses angkutan umum dan fasilitas yang memadai.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kendaraan yang didominasi milik pribadi terjebak kemacetan di Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (8/3/2021).
Sebuah studi berjudul “Stress that Doesn’t Pay: The Commuting Paradox” oleh Stuzer dan Frey dari Universitas Basel, Swis (2008), menunjukkan, keuntungan yang diharapkan dari berkomuter jarak jauh seperti pekerjaan dengan gaji besar atau kawasan tempat tinggal yang baik tidak sebanding dengan stres perjalanan yang didapatkan. Orang yang berkomuter panjang justru menunjukkan kesejahteraan dan kepuasan hidup lebih rendah.
Penelitian Annie Barreck dari University of Montreal, Kanada (2015) bahkan menyebut, risiko burnout meningkat signifikan jika durasi berkomuter lebih dari 20 menit.
Ke depan, bisa jadi para pekerja muda Jakarta ini akan tinggal di luar Bodetabek, seiring dengan terus naiknya harga rumah. Seperti Bondan, Anna, dan Nickey, mereka rela tinggal puluhan kilometer jauhnya dari Jakarta. Asal tersedia akses transportasi umum dan fasilitas umum memadai.