Berdasarkan penelitian deposit tsunami di selatan Pulau Jawa, ditemukan bahwa tsunami besar pernah melanda Jawa bagian barat hingga timur sekitar 400 tahun lalu, 1000 tahun lalu, dan 1800 tahun lalu.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
AFP
Kombinasi gambar menunjukkan kerusakan akibat tsunami terlihat dari bukit yang menghadap ke kota Kesennuma, Prefektur Miyagi, Jepang, 16 Maret 2011 (kiri atas). Area yang sama hampir satu tahun kemudian, 14 Januari 2012 (kanan atas). Dua tahun kemudian, 20 Februari 2013 (kiri bawah). Lokasi yang sama setelah hampir 10 tahun kemudian, 27 Januari 2021 (kanan bawah). Bulan ini Jepang memperingati 10 tahun gempa dan tsunami yang mematikan dan menghancurkan instalasi nuklir pada 11 Maret 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa gempa bumi dan tsunami besar dan destruktif dalam beberapa dekade terakhir di Samudra Hindia (2004), Chile (2010), dan Jepang (2011) kebanyakan tidak terprediksi sehingga menyebabkan banyak korban jiwa. Dengan meneliti jejak geologi di masa lalu, ilmuwan bisa memprediksi keberulangannya di masa depan.
”Kami telah menemukan jejak keberulangan tsunami besar di selatan Jawa 600- 800 tahun lalu,” kata Purna S Putra, peneliti paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat (3/9/2021).
Menurut Purna, kesimpulan ini didapatkan setelah timnya melakukan kajian mengenai deposit tsunami di pesisir selatan Jawa beberapa tahun terakhir. ”Semua deposit tsunami di selatan Jawa, mulai dari Binuangeun, Pangandaran, Cilacap, Kulon Progo, Pacitan, Lumajang, dan Trenggalek, kami analisis dan ditemukan (bahwa) tsunami besar pernah melanda Jawa bagian barat hingga timur sekitar 400 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, dan 1.800 tahun lalu,” ujarnya.
Semua deposit tsunami di selatan Jawa, mulai dari Binuangeun, Pangandaran, Cilacap, Kulon Progo, Pacitan, Lumajang, dan Trenggalek, kami analisis dan ditemukan, tsunami besar pernah melanda Jawa bagian barat hingga timur sekitar 400 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, dan 1.800 tahun lalu. (Purna S Putra)
Purna menambahkan, timnya juga menemukan jejak tsunami berumur 3.000 tahun lalu di selatan Jawa. ”Dari endapannya yang lumayan luas di sepanjang selatan Jawa, kami juga menduga kejadian 3000 tahun lalu dari tsunami raksasa yang dipicu gempa M 9 atau lebih besar,” ujarnya.
Menurut Purna, kajian paleotsunami dilakukan dengan menemukan jejak endapan tsunami di pesisir yang diduga dipicu oleh kejadian tsunami di masa lalu. Bukti tsunami itu salah satunya bisa berupa endapan fosil kerang Foraminifera yang biasa hidup di laut dalam di pesisir. Dengan menganalisis umur fosil ini, bisa diketahui periode tsunami di masa lalu.
Kajian Purna yang menggunakan pendekatan paleotsunami atau menganalisis endapan tsunami tua ini menguatkan kajian terpisah yang dilakukan tim peneliti Institut Teknologi Bandung. Kajian yang dipublikasikan di jurnal internasional Nature pada 17 September 2020 oleh tim peneliti dengan penulis pertama S Widiantoro dari Global Geophysics Research Group ITB ini menunjukkan, zona subduksi di selatan Pulau Jawa diketahui menyimpan potensi gempa besar.
Peneliti tersebut menggunakan data relokasi gempa bumi yang dicatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta inversi data sistem penentuan posisi global (GPS) untuk menyelidiki celah seismik di selatan Pulau Jawa. Hasil relokasi gempa itu menunjukkan zona memanjang di antara pantai selatan Jawa dan Palung Jawa yang tidak memiliki kegempaan.
Zona diidentifikasi sebagai celah seismik, yaitu zona kegempaan aktif yang tengah menyimpan tenaga dan berpotensi terjadi gempa besar pada masa depan. Kajian Widiantoro dan tim ini menunjukkan, ketinggian tsunami yang diakibatkan gempa bumi di zona ini dapat mencapai 20 meter dan rata-rata 4,5 meter di sepanjang pantai selatan Jawa.
Secara budaya, kerentanan bencana tsunami di selatan Jawa juga kerap dikaitkan dengan mitologi Ratu Kidul. Narasi terbangun dalam kisah kemunculan Ratu Kidul memiliki ciri-ciri seperti tsunami. Hal itu tertera, misalnya, dalam Sekar Macapat dalam Serat Sri Nata yang menyebut, ”air naik ke angkasa” dan laut surut sehingga ”samudra jadi pesisir”. Secara tradisional, warga Jawa cenderung tak tinggal di pesisir selatan Jawa. Namun, belakangan area itu tumbuh pesat.
Sekitar 300 rumah di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, rusak akibat gempa yang terjadi di selatan Malang pada Sabtu (10/4/2021). Warga berharap segera ada bantuan pemerintah untuk membangun kembali rumah mereka yang rusak tersebut. Tampak Dimas, warga Desa Kaliuling, Tempursari, Lumajang, melintas di dekat reruntuhan rumah warga pada Minggu (11/4/2021).
Paleotsunami Tokyo
Kajian dengan pendekatan paleotsunami baru-baru ini juga berhasil menemukan bukti geologis bahwa gempa bumi dan tsunami besar yang luar biasa berpotensi melanda wilayah Tokyo. Tim peneliti yang dipimpin oleh ilmuwan bumi dari Universitas Simon Fraser, Jessica Pilarczyk, telah menerbitkan penelitiannya di Nature Geoscience edisi 2 September 2021.
Penemuan ini memberikan informasi baru tentang risiko seismik baru yang sebelumnya belum dipertimbangkan di Jepang yang bisa berimplikasi bagi negara-negara lain di sepanjang Cincin Api Pasifik.
Pada tahun 2011, daerah Sendai di Jepang timur dilanda gempa besar berkekuatan M 9 yang bersumber dari Palung Jepang. Gempa saat itu memicu bencana nuklir Fukushima Daiichi dan tsunami yang menempuh ribuan kilometer jauhnya, memengaruhi pantai British Columbia, California, Oregon, Hawaii, dan Chile.
Selama dekade terakhir, Pilarczyk dan tim kolaborator internasional telah bekerja dengan Japan Geological Survey untuk mempelajari sejarah geologi Jepang yang unik. Bersama-sama, mereka menemukan dan menganalisis endapan pasir dari wilayah Semenanjung Boso (50 km sebelah timur Tokyo) yang mereka kaitkan dengan tsunami luar biasa besar yang terjadi sekitar 1.000 tahun yang lalu.
Hingga saat ini, para ilmuwan tidak memiliki catatan sejarah untuk memastikan apakah bagian dari batas lempeng Laut Filipina/Pasifik di dekat Semenanjung Boso mampu menghasilkan tsunami besar yang ukurannya sama dengan peristiwa Tohoku pada tahun 2011.
Menggunakan kombinasi penanggalan radiokarbon, catatan geologi dan sejarah, serta paleoekologi, tim menggunakan 13 model hipotetis dan sejarah untuk menilai risiko masing-masing dari tiga batas lempeng, termasuk batas lempeng kontinental/Laut Filipina (Palung Sagami), lempeng kontinental/Pasifik perbatasan (Palung Jepang), dan batas lempeng Laut Filipina/Pasifik (Palung Izu-Bonin) sebagai sumber gempa berusia 1.000 tahun.
Pilarczyk melaporkan bahwa skenario yang dimodelkan menunjukkan bahwa sumber tsunami dari 1.000 tahun yang lalu berasal dari daerah lepas pantai di Semenanjung Boso. Sebelumnya, sumber gempa ini tidak dipertimbangkan dalam kajian risiko di wilayah ini.
Selama ini, gempa bumi dan tsunami besar di Jepang dianggap lebih berpotensi dari batas lempeng Benua/Laut Filipina (Palung Sagami) dan Benua/Pasifik (Palung Jepang), tetapi tidak dari batas Laut Filipina/Pasifik saja.