Menunggu daripada Soeharto di Rumah Sakit
Kabar meninggalnya mantan Presiden Soeharto bukan dikonfirmasi oleh seorang tokoh penting atau pejabat tinggi, melainkan oleh seorang kapolsek dari Kebayoran Baru.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20060714RZFd_1632585060.jpg)
Presiden Kedua RI Soeharto melambaikan tangan dari dalam mobil seusai menjalani operasi melepas selang dari dalam saluran pencernaannya, di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (14/7/2006). Dalam kesempatan itu, Soeharto didampingi kedua putrinya, Siti Hutami Endang Adiningsih dan Siti Hardianti Rukmana.
Setelah lengser dari kursi presiden pada 1998, Soeharto kerap keluar masuk rumah sakit. Kebetulan, beberapa kali saya mendapat kesempatan meliput Soeharto yang dirawat di sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan.
Sampai kemudian Soeharto meninggal, konfirmasi justru saya terima dari Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru. Kabar meninggalnya Presiden Kedua RI itu datang bukan dari orang yang jabatannya tinggi.
Saya mulai meliput Soeharto sakit tahun 2004. Saat itu, saya baru saja kembali bertugas di Jakarta setelah selama dua tahun bertugas di Solo. Sebagai wartawan paling baru di Desk Politik, saya bisa ditugaskan ke mana saja. Misal, hari ini ikut sidang komisi di DPR, besok ganti meliput diskusi pemilu. Lusa, ganti lagi meliput bidang pertahanan keamanan.
Sampai kemudian Soeharto meninggal, konfirmasi justru saya terima dari Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru.
Tugas lainnya, meliput perkembangan kondisi kesehatan Presiden Soeharto. Beberapa kali, saya menuliskan berita tentang Pak Harto yang sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).
Salah satunya ketika Soeharto dirawat pada April 2004 akibat mengalami diverticulosis colon atau pendarahan usus besar yang menyebabkan kadar hemoglobin (Hb)-nya rendah.
Biasanya, keterangan pers akan diberikan oleh Tim Dokter Kepresidenan RSPP yang merawat orang nomor satu pada zaman Orde Baru tersebut.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20080109TOK6_1632585167.jpg)
Tim Dokter Kepresidenan menggelar jumpa pers untuk mengumumkan perkembangan terkini tentang kesehatan mantan Presiden Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (9/1/2008). Kondisi Soeharto mulai membaik setelah cairan di dalam paru-parunya dapat dikeluarkan.
Pada Januari 2008, Soeharto kembali dirawat di RSPP. Rasanya seperti dé jàvu karena mengingatkan akan masa-masa meliput kondisi Pak Harto pada 2004 dan 2001 saat harus ngemper di halaman depan RSPP.
Pada 2001, saya bahkan masih calon wartawan. Waktu itu, saya dan teman-teman satu angkatan calon wartawan Kompas yang berjumlah 12 orang harus bergantian pagi, siang, sore berjaga di rumah sakit.
Kami menunggu kedatangan para tokoh yang menjenguk Pak Harto. Kalau beruntung bisa dapat wawancara tokoh, kalau apes ya cuma laporan suasana rumah sakit.
Memasuki Desember 2001, angkatan kami yang diberi nama Angkatan M (sering dijuluki Angkatan Mikrolet) ini juga diberi tugas liputan Natal. Jadilah kami harus berbagi tugas antara liputan Natal dan sakitnya Pak Harto.
Di RSPP, rupanya bukan cuma Soeharto yang dijenguk. Kami pun turut dijenguk. Tentu saja bukan oleh tokoh-tokoh, melainkan oleh dua senior kami di kantor yang saat itu menjadi PO (project officer) Liputan Natal, yakni Andreas Maryoto dan Buyung Wijayakusuma.
Kehadiran mereka menjadi hiburan yang menyenangkan karena keduanya menengok sambil membawakan ayam goreng dari sebuah restoran cepat saji waralaba kenamaan saat itu.
Baca Juga: Suatu Hari Bersama Yayuk Basuki...
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20080113RZFg_1632584957.jpg)
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew meninggalkan Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, seusai menjenguk Mantan Presiden Soeharto, Minggu (13/1/2008).
Nah, suasana liputan pada 2008 itu hampir sama dengan situasi liputan Soeharto saat saya masih berstatus cawar alias calon wartawan. Kami harus ”menjaga” Pak Harto yang sedang sakit secara bergantian dengan rekan wartawan lain, dari pagi sampai malam.
Kalau sedang bosan berjaga di parkiran, saya jalan-jalan masuk ke rumah sakit sambil berharap bisa melihat langsung ruang perawatan Pak Harto.
Namun, meski semua pintu sudah dicoba, mulai dari depan, samping, hingga belakang, kartu pengenal pers pun sudah dilepas agar tidak dikenali sebagai wartawan, tetap saja semua upaya mendekati ruang perawatan gagal. Maklum, saking seringnya di situ, petugas satpam pun sampai hapal wajah-wajah wartawan.
Hanya sekali saya berhasil mencapai pintu perawatan VVIP dan sempat mengintip sebentar. Sejurus kemudian petugas satpam datang untuk mengusir.
Akhirnya, kami hanya bisa menunggu kalau-kalau hari itu digelar jumpa pers dari tim dokter. Masih mending kalau kemudian datang tokoh-tokoh menjenguk Presiden RI kedua tersebut sehingga kami jadi beroleh materi tambahan.
Baca Juga: Kriiing... Ada Telepon dari Phil Collins dan Rod Stewart
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20080106a18b_1632585390.jpg)
Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid (duduk di kursi roda) menjenguk Presiden Kedua RI Soeharto yang sedang dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, Minggu (6/1/2008). Dalam konferensi pers, Tim Dokter Kepresidenan menyebutkan bahwa kondisi Soeharto sudah membaik.
Begitulah situasinya dari hari ke hari. Alhasil, berita yang keluar pun seakan monoton. Kalau hari ini tim dokter menyampaikan kondisi Soeharto membaik. Keesokannya, mereka menyampaikan kondisi Pak Harto cukup baik yang dilengkapi dengan keterangan kesehatan lainnya.
Sampai kemudian datanglah hari Sabtu 26 Januari 2008. Saat itu, saya kebagian piket akhir pekan dan harus berjaga di RSPP. Semakin malam, wartawan yang menunggu di rumah sakit semakin menyusut.
Selain karena malam minggu, banyak wartawan sedang menikmati jatah liburnya. Alasan lain, mungkin juga karena mereka yakin kalau kondisi Pak Harto akan baik-baik saja, seperti hari-hari sebelumnya.
Hari itu, saya harus berjaga dari malam hingga keesokan harinya. Tak mau kecolongan berita, saya pun tetap menunggu sampai kira-kira pukul 23.00 lalu memutuskan pulang karena berpikir, toh, sebentar lagi koran akan naik cetak.
”Besok pagi-pagi, saya akan datang lagi. Moga-moga tidak terjadi apa-apa malam ini,” batin saya.
Paginya, Minggu, 27 Januari 2008 sekitar pukul 08.00, saya sudah melaju dengan sepeda motor dari rumah di kawasan Pasar Minggu menuju RSPP.
Baca Juga: Menjadi Saksi dari Balik Jeruji
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20080111aic1_1632586124.jpg)
Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama Ny Muffida Jusuf Kalla datang dan membesuk mantan Presiden Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta, Jumat (11/1/2008) malam. Malam itu, kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto dikabarkan kritis.
Suasananya masih sama seperti semalam. Sepi. Namun, tiba-tiba, satu jam kemudian, suasana berubah ramai. Wartawan dari berbagai media massa berdatangan.
Ternyata, ada kabar kondisi Pak Harto memburuk. Saya pun mendapat informasi serupa dari kantor. Dalam hati saya bersyukur bisa datang ke rumah sakit tepat waktu.
Lalu muncullah kasak kusuk di antara wartawan karena kabar serba tidak jelas. Tidak ada pula yang bisa ditanyai. Sampai kemudian, muncul Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru Komisaris Dicky Sondani.
Awalnya, wartawan, termasuk saya, cuek saja dengan kedatangan kapolsek. Dalam hati, enggak mungkinlah kabar penting disampaikan oleh kapolsek.
Namun, dari gerak gerik sang kapolsek, kok, sepertinya dia ingin berbicara dengan wartawan. Pengalaman ini kemudian saya tuangkan kisahnya ke dalam tulisan feature berjudul ”Kabar Duka Itu Disampaikan Kepala Polsek Kebayoran Baru” yang dimuat koran Kompas edisi Senin 18 Januari 2008. Saya kutipkan dua alinea dari berita tersebut.
Dicky yang datang ke RSPP sekitar pukul 12.30 terlihat mondar- mandir. Sebentar masuk ke dalam rumah sakit, kemudian keluar lagi. Awalnya, puluhan wartawan yang berjaga tidak menghiraukan kehadiran Dicky. Mereka menganggap Dicky sedang berjaga-jaga untuk menanti kehadiran pejabat negara karena beredar kabar Wakil Presiden Jusuf Kalla akan datang ke RSPP.
Namun, rasa penasaran wartawan memuncak saat polisi dan tentara kian banyak yang datang dan Dicky masih mondar-mandir. Ketika Dicky keluar lobi utama, dia berdiri pas di depan pintu, wartawan sepakat bertanya ada apa dengan pengamanan yang ketat itu. Ia berada di tengah kerumunan wartawan dan kamera televisi mengarahkan ke wajahnya. Tepat pukul 13.20, Dicky mengatakan, ”Telah berpulang ke Rahmatullah Haji Muhammad Soeharto pukul 13.10 WIB. Rencananya akan dibawa ke Cendana, tetapi belum tahu pukul berapa.”
Baca juga: Tragedi 9/11 dan Edisi ”The Towering Inferno”

Artikel yang ditulis wartawan harian ”Kompas” Susie Berindra tentang kepulangan Soeharto yang dikonfirmasi oleh Kapolsek Kebayoran Baru Komisaris Dicky Sondani.
Saya termasuk wartawan yang pertama kali mendengar keterangan Dicky. Beberapa wartawan lain masih tampak santai dan enggan mendekat ke Dicky, barangkali karena merasa tidak yakin keterangan penting bisa datang dari kapolsek. Baru setelahnya, Dicky harus mengulang-ulang kalimat itu untuk direkam beberapa media massa terutama televisi. Suasana di lobi rumah sakit langsung riuh.
Semua wartawan kemudian sibuk melaporkan dua kalimat konfirmasi dari Dicky ke kantor masing-masing. Termasuk saya yang sudah terlebih dahulu melapor kepada kepala desk. Namun, sebenarnya, saya pun tetap merasa ragu-ragu. Terlebih, wartawan kami yang bertugas di Istana maupun wartawan-wartawan senior yang punya akses ke keluarga Soeharto belum ada yang mendapat kepastian kabar itu.
Siang itu, selain membuat laporan ke kantor, saya juga ditelepon oleh redaktur Kompas.com untuk melaporkan langsung kejadian itu. Berita kepulangan Soeharto tayang di Kompas.com pukul 13.29.
Kejadian itu kemudian memberi pelajaran penting untuk selalu menghargai narasumber, apa pun jabatannya. Siapa tahu, meski tak punya jabatan tinggi, mereka bisa menjadi narasumber yang sangat penting.