Kebijakan penangkapan terukur dianggap semakin mengokohkan kapal-kapal ikan besar sebagai penguasa laut. Nelayan tradisonal kian tak berdaya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
FRANSISKUS PATI HERIN
Muis Ely (55), nelayan di Desa Asilulu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, menarik jaring bubu pada Jumat (18/9/2020). Jaring bubu terbuat dari bambu.
Operator kapal ikan milik korporasi besar yang beroperasi di perairan Kepulauan Maluku sering kali bertindak semena-mena. Melepas jaring di tempat nelayan lokal sedang mancing, merusak alat tangkap, bahkan dengan sengaja hendak menabrak perahu nelayan. Mereka bak penguasa laut, membuat nelayan kecil tak berdaya di laut sendiri.
Suatu malam awal Maret 2022, Poli Pikaem (50), menghidupkan senter lalu menyorot ke kapal ikan yang melaju ke arah perahunya yang berlabuh tengah Laut Aru, Kepulauan Aru, Maluku. Ia memberi isyarat agar nahkoda membelokkan kapal beberapa derajat. Namun, semakin mendekat, haluan kapal masih terus mengarah ke perahunya. Tanpa menarik tali pancing, Poli langsung mendayung perahu sekuat tenaga, menghindari kapal yang seakan hendak menabrak perahunya.
"Kalau saya terlambat sedikit, saya binasa bersama perahu. Tali pancing saya putus dan parahu saya hampir tenggelam karena gelombang kapal. Jarak dengan kapal tidak sampai 10 meter, " tuturnya.
Di tengah gelap malam dengan situasi penuh kepanikan, ia tidak sempat membaca nama kapal. Namun ia meyakini, kapal berukuran besar itu berasal dari luar Maluku, yang beroperasi atas izin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sesuai regulasi, kapal dengan izin KKP untuk ukuran di atas 30 gross ton seharusnya beroperasi dengan wilayah penangkapan di atas 12 mil laut.
Kejadian yang dialami Poli bukan pertama kali. Pun nelayan tradisional asal Kepulauan Aru lainnya sering kali diintimidasi dengan cara seperti itu. Kapal berukuran di atas 30 gros ton beroperasi hingga dekat pesisir, mengokupansi tempat operasi nelayan tradisional yang menggunakan perahu dayung.
FRANSISKUS PATI HERIN
Nelayan di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, menyiapkan perahu sebelum melaut.
Poli menduga, kapal yang nyaris mencelakakan dirinya itu adalah penangkap udang. Banyak kapal udang berukuran di atas 30 gros ton, beroperasi hingga di bawah 12 mil laut. Jaring yang mereka tebar mengeruk udang sampai dekat pesisir. Nelayan tradisonal yang datang mencari udang, pulang dengan tangan hampa. Tak ada penegakan hukum di sana.
Bertahun-tahun dibiarkan, nelayan lokal pun marah. Sebuah kapal eks asing yang berasal dari Jakarta, menabrak jaring kapal nelayan setempat di Laut Arafura pada Januari 2022. Nelayan lokal marah dan berusaha mengejar kapal eks asing itu. Kejadian tersebut sempat diabadikan dalam video pendek berdurasi 30 detik.
Konflik di tengah laut juga pernah terjadi di wilayah perairan Maluku lainnya, yakni Laut Seram. Saat itu, nelayan setempat memotong tali jaring milik salah satu kapal ikan. Kapal yang datang dari luar daerah itu membuang jaring tepat di sekitar tempat mereka sedang mancing.
"Ini otomatis ikan-ikan diambil semua. Padahal kami sudah jauh-jauh datang ke tengah laut, sudah buang bahan bakar puluhan liter. Metang-mentang punya kapal besar, mereka tindas kami yang pakai perahu motor, " kata Samsul Sia (42), nelayan pemancing tuna dari Kabupaten Seram Bagian Barat.
Menurut Samsul, mereka juga marah lantaran pemilik kapal memasang banyak rumpon di tengah laut. Rumpon adalah alat bantu penangkapan yang menarik ikan berkumpul di salah satu titik. Cara itu mencegah ikan bergerak ke pesisir. Akibatnya, nelayan setempat harus melaut lebih jauh ke tengah laut dengan berbagai konsekuensi seperti membengkaknya biaya bahan bakar.
KOMPAS/FRANS PATI HERIN
Nelayan di Maluku umumnya menggunakan perahu kecil untuk melaut.
Penangkapan terukurRencana pemerintah memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan atau kebijakan penangkapan terukur dianggap semakin memberi kuasa kepada korporasi besar dengan armada kapal-kapal besar. Dengan dukungan armada yang banyak, mereka akan semakin leluasa, sehingga ruang bagi nelayan tradisional semakin sempit. Perairan Maluku menjadi wilayah yang akan dijadikan percontohan kebijakan itu.
Ruslan Tawari, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Maluku, berpendapat, kebijakan penangkapan terukur seperti karpet merah yang diberikan pemerintah kepada korporasi. Dengan modal itu, korporasi akan merasa sebagai penguasa di laut.
"Selama ini mereka bertindak semena-sema, apalagi kalau sudah ada kontrak penangkapan ikan, " ujarnya.
Kontrak tersebut juga semakin memberi ruang kepada korporasi untuk mengeruk sebanyak mungkin sumber daya perikanan di sana. Perusahaan akan mengejar keuntungan sebanyak mungkin selama masa kontrak. Setelah masa kontrak selesai, akan terjadi penurunan sumber daya yang sangat parah. Nelayan setempat bakal kesulitan mencari ikan.
Ruslan juga mengingatkan tingginya potensi konflik antara nelayan setempat dengan perusahaan terkait perebutan sumber daya ikan.
"Dan hampir pasti bahwa nelayan setempat pasti kalah. Kalah karena kapasitas yang mereka miliki terbatas. Dan memang dari awal, mereka sudah kalah karena pemerintah lebih mengutamakan korporasi besar, " katanya.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi lewat sambungan telepon kepada Kompas pada Minggu (13/3/2022) mengatakan, kebijakan penangkapan terukur akan melibatkan perusahan besar. Perusahaan diberi kouta penangkapan sesuai kontrak yang ditentukan KKP. Pada setiap zona, perusahaan yang beroperasi lebih dari satu.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Ilustrasi kapal nelayan berukuran 3 gross ton (GT)
Menurutnya, nelayan lokal setempat, dapat beroperasi dengan bebas di zona tersebut. Tidak ada pembatasan kuota untuk nelayan lokal. Ia juga menjamin nelayan lokal tidak akan tergusur akibat kebijakan tersebut. Nelayan lokal dimaksud adalah nelayan yang berada di dekat zona penangkapan terukur, yang dibuktikan dengan Identitas diri.
Setiap perusahan pemegang kontrak, lanjutnya, diwajibkan untuk mendaratkan ikan di dekat zona penangkapan dan membangun industri di sana. Dengan begitu, perekonomian daerah akan maju. Zaini menjanjikan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi kejahatan perikanan. Pengawasan mulai dari proses penangkapan hingga penghitungan kuota.
Selain itu, keuntungan lain dari sistem kontrak adalah akan meningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Ditargetkan, PNBP setiap akan mencapai angka Rp 12 triliun. Selama ini, PNBP setiap tahun berkisar Rp 200 miliar. Hasil dari PNBP dapat digunakan untuk pemberdayaan nelayan lokal. Penerapan kebijakan penangkapan terukur kini sudah di depan mata. Nelayan lokal kini hanya bisa menghitung hari, dan siap menerima nasib. Mereka tidak berdaya di laut sendiri.