Belajar dari Kejatuhan Sinema Hong Kong
Hong Kong yang pernah menjadi pusat sinema Asia jatuh karena banyak faktor. Regenerasi talenta menjadi salah satu kekuatan penting bagi kebangkitannya.
Pada masanya, Hong Kong pernah menjadi pusat sinema Asia yang menginspirasi dunia. Meskipun kejayaan film Hong Kong sudah lama pudar, banyak pelajaran yang masih bisa dipetik.
Masa keemasan industri perfilman Hong Kong berawal dari kemunculan generasi baru pembuat film pada akhir 1970-an. Era ini disebut sebagai Gelombang Baru yang berlangsung sampai awal tahun 2000-an. Kebangkitan itu terjadi setelah banyak sineas pulang belajar dari luar negeri.
Banyak sineas termasyhur Asia berasal dari Hong Kong. Mereka menghasilkan karya-karya yang tak lekang oleh waktu. Sebut saja Tsui Hark (waralaba Once Upon a Time in China), Wong Kar-wai (In the Mood for Love, 2000), Stephen Chow (Shaolin Soccer, 2001), Johnnie To (Election, 2005), atau Ann Hui (Summer Snow, 1995).
Sinema Hong Kong identik dengan komedi lelucon kasar, kriminal, romansa, dan aksi pertumpahan darah yang heroik. Hong Kong juga memproduksi film kungfu dan cerita silat terbaik, terinspirasi dari China. Kata sutradara Wong Jing, sinema Hong Kong merupakan hasil perpaduan ”semangat Timur dalam kemasan Barat”.
Meskipun ukuran kotanya kecil, sinema Hong Kong sempat mendominasi Asia hingga hijrah ke Barat. Di Hollywood, sinema Hong Kong mendapat reputasi baik dan penggemar fanatik. Sinema Hong Kong menginspirasi film seperti The Matrix (1999), The Departed (2006), dan film-film karya Quentin Tarantino.
Bagaimana Hong Kong bisa menjadi markas industri film raksasa Asia?
”Beberapa jawaban terletak pada sejarah dan budaya, tetapi banyak lainnya dapat ditemukan dalam film itu sendiri. Sejak 1970-an, industri film bioskop Hong Kong bisa dibilang sebagai sinema populer yang paling energik dan imajinatif di dunia,” tulis sejarawan film David Bordwell dalam Planet Hong Kong (2000).
Namun, takhta industri film Hong Kong tak bertahan lama. Hong Kong mengalami masalah over produksi. Pada awal 1990-an, Hong Kong merupakan industri film paling aktif di Bumi. Namun, kualitas film yang dibuat menurun. Formula, genre, tema, dan bintang yang tampil kerap berulang atau malahan terlalu bereksperimen. Pasar pun jenuh.
Tantangan lainnya adalah perkembangan teknologi. Sinema Hong Kong tertatih untuk beradaptasi. Selain masalah pembajakan VCD yang begitu masif, pasar film seperti Taiwan mulai beralih ke televisi kabel. Penonton jadi malas pergi ke bioskop.
Di saat yang sama, Hollywood mulai ekspansi ke Asia dengan meluncurkan film box office, seperti Jurassic Park (1993), The Fugitive (1993), dan Speed (1994). Minat menonton film-film Barat terus bertumbuh.
Kondisi diperparah dengan gejolak sosial politik yang datang membayangi. Krisis keuangan Asia terjadi pada 1997. Produksi film dibeli dengan mata uang yang sangat terdevaluasi. Ditambah lagi, pada tahun yang sama, Inggris menyerahkan Hong Kong ke China.
Dampak dari semua tantangan itu terlihat jelas. Hong Kong menjual 65 juta tiket bioskop pada 1988, lalu turun menjadi 22 juta tiket pada 1996. Jumlah film yang diproduksi pernah mencapai 400 film per tahun, lalu berkurang menjadi 238 film pada 1993 dan hanya 40 film pada 1999. Kepercayaan diri sinema Hong Kong jelas ambruk.
Regenerasi talenta
Ada faktor lain yang berkontribusi pada kejatuhan sinema Hong Kong. Selain sutradara ternama, Hong Kong merupakan rumah dari aktor, aktris, dan seniman bela diri legendaris.
Nama Jackie Chan, Tony Leung, Maggie Cheung, Andy Lau, Chow Yun-fat, dan Donnie Yen sudah tak asing terdengar. Legenda seperti Anita Mui, Leslie Cheung, dan Bruce Lee akan selalu tercatat sejarah. Mereka mengubah alur sejarah perfilman Hong Kong.
Masalahnya, sudah dua dekade berlalu, belum ada sosok yang melanjutkan warisan para tokoh ikonik ini.
Sutradara Wong Kar-wai telah berusia 63 tahun dan Johnnie To menuju 67 tahun. Lalu aktor Chow Yun-fat sekarang berusia 66 tahun, Andy Lau berusia 60 tahun, dan Jackie Chan berusia 67 tahun. Maggie Cheung sudah lama pensiun. Hong Kong tidak sigap mempersiapkan regenerasi talenta.
Sejak dulu, pilihan akan aktor atau aktris kerap terbatas. Tak jarang mereka terlibat dalam bejibun produksi film dan memainkan karakter berulang. Andy Lau, misalnya, sampai sekarang telah tampil di lebih dari 180 film. Penonton tentu jemu melihat pemeran yang itu-itu saja.
Namun, bisnis adalah bisnis. Investor terus menuntut film baru, tetapi enggan berinvestasi pada talenta baru. Kondisi ini juga pemicu over produksi film pada tahun 1990-an. Sineas kehabisan akal, akhirnya formula film box office dan wajah lama yang terus dipakai.
”Sebagian besar perusahaan produksi menggunakan aktor yang sama sepanjang waktu, tetapi saya ingin mengubah ini dan memberi kesempatan kepada aktor, sutradara, dan pembuat film baru untuk masuk ke industri ini,” kata aktor sekaligus produser film, Gordon Lam, pada 2017, dikutip dari China Daily.
Dominasi baru
Memasuki awal tahun 2000, film Taiwan dan Jepang mendominasi pasar Asia, tetapi tak lama memudar. Tongkat estafet sekarang tengah dipegang Korea Selatan berkat Gelombang Korea. Korsel mendominasi, baik dalam produksi film maupun drama serial, selama 20 tahun terakhir.
Jumlah produksi film Korsel meningkat pesat belakangan, didorong dengan keberadaan platform streaming. Dikutip dari Statista, Negara Ginseng ini memproduksi 116 film pada 2005, 584 film pada 2015, dan 1.168 film pada 2021, tetap tumbuh di tengah pandemi Covid-19.
Secara umum, regenerasi talenta di Korsel cukup sehat sejak bertumbuh dari akhir 1990-an sampai sekarang. Untuk sineas, Korsel saat ini memiliki sutradara legendaris seperti Park Chan-wook (The Vengeance Trilogy) dan Lee Chang-dong (Burning, 2018). Bong Joon-ho bahkan menjadi sineas pertama yang membawa pulang Piala Oscar untuk Parasite(2019).
Korsel juga memiliki aktris lintas generasi yang masih eksis hingga saat ini. Contohnya adalah Youn Yuh-jung (debut 1966), Kim Hye-soo (debut 1986), Kim Soo-hyun (debut 2007), dan si kecil Seo Woo-jin (debut 2016). Regenerasi talenta tanpa henti itu menyajikan film dengan kisah menarik dan baru.
Pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Marselli Sumarno, mengatakan, regenerasi bakat muda saat ini terdongkrak oleh kebutuhan zaman. Apalagi, di era digital seperti ini, format media semakin bervariasi, baik dalam bentuk seri web, iklan, podcast, maupun konten media sosial.
”Ada kebutuhan yang didukung perkembangan teknologi. Contohnya film pendek Tilik dan videoklip Lathi (Weird Genius) yang meramu kemampuan akting dan unsur estetika audio visual. Ini diamplifikasi dengan media penyebaran yang cenderung mengglobal,” kata sutradara ini saat dihubungi, Jumat (25/2/2022).
Baca juga : Wajah Segar Amerika Latin di Hollywood
Di Indonesia, tutur Marselli, regenerasi talenta di Indonesia umumnya berasal dari lingkungan keluarga seni, kelompok teater, komunitas seni, dan sekolah formal. Teater IKJ, umpamanya, melahirkan Didi Petet dan Mathias Muchus.
Industri film Indonesia juga tengah diramaikan oleh kehadiran para talenta muda berbakat, seperti sutradara Kamila Andini, aktor Iqbaal Ramadhan, dan aktris Shenina Cinnamon. Sutradara Wregas Bhanuteja meraih Piala Citra 2021 untuk Sutradara Terbaik di usia 29 tahun.
”Regenerasi di Indonesia lumayan sehat, baik dari yang hasil belajar formal maupun informal bisa beriringan. Banyaknya komunitas film di daerah menunjukkan bahwa bakat kreativitas mereka terasah lewat banyak menonton, misalnya via Youtube,” kata Marselli. (SCMP/The Guardian)