Berebut Air dengan Kawanan Sapi, Cerita Lama NTT yang Masih Terjadi Kini
Krisis air bersih pada sejumlah wilayah di NTT berlangsung lebih dari enam bulan setiap tahunnya. Ada warga yang sampai harus berebut air dengan kawanan sapi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Seorang bocah sikat gigi menggunakan air keruh. Sejumlah warga di Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, menggunakan air keruh di Kali Babeko untuk mandi dan cuci seperti pada Rabu (21/10/2020). Daerah itu mengalami krisis air bersih sejak lama.
Musim kemarau seperti momok yang menakutkan bagi sejumlah perempuan lanjut usia di Kampung Fatubesi, Desa Manulea, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Persediaan air di rumah, khusus untuk mandi dan cuci yang ditampung saat musim hujan, habis. Mereka harus pergi ke kali setiap sore hari.
Kondisi jalan ke kali berupa jalan setapak berbatuan dengan turunan yang agak terjal. Ada yang berjalan dengan bantuan tongkat. Di kali sana masih ada sisa aliran air yang hampir kering akibat kamarau panjang. Hingga akhir awal September 2021 ini, sudah lima bulan daerah itu tidak diguyur hujan lebat.
Setiap hari, mereka sudah harus tiba di kali paling lambat pukul 15.30, sebelum datang kawanan sapi yang juga meminum air di sungai itu. Jika terlambat, mereka akan mendapati kotoraan sapi berseliweran di aliran air. Air semakin keruh, kotor, dan bau. Butuh berjam-jam menunggu hingga air sudah boleh digunakan.
Mereka menggunakan air itu untuk mencuci pakaian, mandi, dan dibawa pulang untuk kebutuhan toilet. ”Jadi, setiap hari begitu terus. Mereka seperti berebutan air dengan kawanan sapi. Seperti berlomba, siapa yang cepat, dia yang dapat. Kasihan, di permukiman itu banyak perempuan lanjut usia, termasuk mertua saya,” kata Joseph Astro (38), warga Manulea, Jumat (3/9/2021).
KOMPAS/SANDRO LAMANEPA
Hingga Sabtu (4/9/2021), kali di Kampung Fatubesi, Desa Manulea, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi tempat mandi dan cuci bagi warga setempat. Pengguna kali ini kebanyakan perempuan lanjut usia.
Untuk air minum, mereka harus berjalan kaki ke sumber terdekat, menjinjing jeriken sambil menjujung ember. Terkadang, mereka patungan untuk membeli air dengan harga Rp 300.000 per tangki ukuran 5.000 liter. Mereka membeli air ketika keadaan terdesak atau akan menggelar hajatan.
Masalah ini bukan baru kemarin. Ini sudah dari dulu. Sepertinya tidak ada kepedulian dari pemerintah
Harga itu tergolong sangat mahal untuk ukuran mereka yang tidak memiliki penghasilan tetap. Sehari-hari, mereka bertani, menenun, dan mengambil hasil dari hutan sepeti buah asam. Ada yang tidak bisa bekerja lebih berat lagi lantaran termakan usia. Semua mereka hidup di bawah garis kemiskinan.
Padahal, menurut Joseph, tak jauh dari Fatubesi itu terdapat sumber mata air Tabonat. Air dari sana harusnya bisa alirkan ke Fatubesi. Karena itu butuh kepedulian dari pemerintah daerah. ”Masalah ini bukan baru kemarin. Ini sudah dari dulu. Sepertinya tidak ada kepedulian dari pemerintah,” kata Joseph.
Kompas pernah mendatangi tempat itu pada Oktober 2020. Selain orangtua, anak balita juga ikut mandi di kali tersebut selama lebih dari setengah tahun. Daerah itu dilanda krisis air bersih selama lebih dari setengah tahun. Padahal, penyediaan air bersih untuk mendukung sanitasi lingkungan sangat menentukan tumbuh kembang anak.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Seorang bocah mandi menggunakan air keruh. Sejumlah warga di Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, menggunakan air keruh di Kali Babeko untuk mandi dan cuci seperti pada Rabu (21/10/2020). Daerah itu mengalami krisis air bersih sejak lama.
Banyak anak mengalami tengkes (pertumbuhan terganggu) lantaran buruknya sanitasi. Berdasarkan data yang dihimpun dari Yayasan Pijar Timur Indonesia, hingga 2020, sebanyak 114 desa atau sekitar 90 persen dari total 127 desa di Kabupaten Malaka belum memenuhi standar sanitasi total berbasis masyarakat. Desa yang baru memenuhi standar hanya 13 desa.
Anak yang mengalami tengkes, 70 persen disebabkan oleh sanitasi lingkungan. Faktor gizi hanya 30 persen. Tahun 2000 saja, angka tengkes anak balita di Malaka hampir mendekati 5.000 atau hampir mendekati 25 persen dari total anak balita di daerah itu. Di NTT, angka stunting atau tengkes mencapai 23,20 persen dari total 660.000 anak balita.
Nasib peternakan
Musim kemarau juga menjadi bencana bagi peternakan sapi di NTT. Para peternak kesulitan mencari pakan ternak berupa rumput. Sapi dilepas begitu saja, mengais daun-daun kering di tengah areal yang gersang. Untuk kebutuhan minum sapi, peternak terpaksa harus membeli air dari mobil tangki.
Goris Sikas (48), warga Desa Kaubele, Kabupaten Timor Tengah Utara, menuturkan, setiap hari, puluhan ekor sapi miliknya membutuhkan air sekitar 200 liter untuk minum. Selama beberapa bulan lalu, ia mengandalkan air sumur namun kini sebagian sumur sudah kering. Ia akhirnya membeli air dari mobil tanki dengan harga Rp 350.000 untuk ukuran 5.000 liter.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Musim kemarau melanda Nusa Tenggara Timur menyababkan kekeringan terjadi di sejumlah wilayah termasuk Pulau Timor. Cuaca panas, debit air menyusut, dan tanaman meranggas. Sapi mencari makan di antara rumput kering di Desa Bena, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan pada Sabtu (26/9/2020).
Menurut dia, banyak peternak kewalahan sehingga pemberian pakan dan air pun tidak maksimal. Banyak sapi kurus, bahkan ada yang mati gara-gara kekurangan air. Peternak pun merugi. Saat ini, harga satu ekor sapi siap potong berkisar Rp 9 juta.
Kondisi ini membuat bisnis ternak sapi di NTT tidak bisa maju dengan pesat. NTT digadang-gadang menjadi provinsi ternak sapi. Sapi dari NTT akan dikirim ke sejumlah daerah di Indonesia, termasuk DKI Jakarta. ”Mau kirim sapi yang bagus agak susah. Banyak sapi kurang gizi,” ujar Goris.
Menurut data Dinas Peternakan Provinsi NTT, pada 2020, populasi sapi di NTT sebanyak 1,1 juta ekor sapi. Jumlah itu masih di bawah target 1,3 juta ekor per tahun. Ketersediaan pakan, terutama air, menjadi faktor utama kemajuan bisnis peternakan di suatu daerah.
Ancaman pertanian
Krisis air juga mengancam sektor pertanian di NTT. Areal pertanian di Kabupaten Kupang, di sisi jalan Timor Raya, jalan yang membelah Pulau Timor dari Kota Kupang ke Negara Timor Leste, banyak yang dibiarkan. Petani tak berdaya. Sebagian dari mereka bekerja serabutan. ”Tunggu musim hujan dulu baru balik lagi ke kebun,” kata Emu Ndun (55), petani di Desa Oesao.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Areal pertanian di Oesao Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur mulai mengalami kekeringan seperti terpantau pada Senin (21/6/2021). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, mengingatkan ancaman kekeringan di hampir semua wilayah NTT.
Kondisi ini dapat mengancam ketahanan pangan warga setempat. Program Pemprov NTT bertajuk Tanam Jagung 1.000 hektar dan Panen Sapi 1.000 ekor bakal sulit terwujud. Program itu dirancanakan berlangsung sepanjang tahun, semantara musim kemarau berlangsung selama lebih dari enam bulan.
Sekretaris Daerah NTT Benediktus Polo Maing mengatakan, solusi persoalan krisis air bersih sempat dibahas dalam rapat lintas dinas pada Rabu (1/9) lalu. Sejumlah langkah teknis sedang disiapkan. Saat ditanya mengenai langkah teknis apa yang mungkin bisa dilakukan, Polo tak bisa menjelaskan secara konkret. Ia malah mengatakan, persalan krisis air bukan lagi hal baru bagi NTT.
Direktur Circle of Imagine Society (CIS) Timor Haris Oematan beberapa waktu lalu mengapresiasi langkah yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menangani persoalan air bersih di NTT, yakni membangun bendungan. Saat ini di NTT terdapat 19 bendungan dan embung yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang misalnya, sudah mulai memberi manfaat bagi masyarakat setempat, terutama mengairi areal pertanian. Namun, di luar itu, masih banyak daerah di NTT yang belum terlayani minimal untuk kebutuhan air bersih, seperti di kampung Fatubesi. Sampai kapan warga masih terus berebut air dengan kawanan sapi?