”Aku adalah Dewi Luhwati. Batara Guru, dewa segala dewa, menugaskan aku untuk menjaga tempat ini,” jawab wanita yang memang menyerupai dewi itu.
”Apakah nama tempat yang indah ini?” tanya Begawan Swandagni lagi.
”Ini adalah Gunung Taranggana Sekar. Di gunung ini bintang-bintang turun menjadi bunga-bunga berpendaran,” jawab wanita itu.
Sejenak Begawan Swandagni mengamati lagi keadaan di sekitarnya. Memang di tempat ini tampak bunga-bunga berpendaran. Dan bunga-bunga itu bukanlah bunga-bunga, tapi bintang-bintang serupa bunga yang berjatuhan dari angkasa menjadi pendaran-pendaran indah.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
”Swandagni, tak mungkin kau dapat datang ke tempat ini, bila bukan bintang-bintang di langit Taranggana Sekar ini yang mengundang dan membimbingmu,” kata Dewi Luhwati menyela Begawan Swandagni yang sedang terpesona.
”Duh Dewi, berbulan-bulan lamanya aku mencari pisang emas buat istriku yang sedang mengidam, mengapa aku justru tiba di tempat di mana hanya ada bintang-bintang yang berjatuhan menjadi bunga?” tanya Begawan Swandagni yang belum juga hilang keheranannya.
”Swandagni, pandangan matamu belum terbiasa dengan alam di Taranggana Sekar ini. Pandanglah tempat ini dengan mata bintang-bintang yang terang menyala di kelopak bunga-bunga yang berpendaran di tempat ini, dan segera akan kau temukan apa yang kau cari selama ini,” kata Dewi Luhwati.
”Mungkinkah aku meminjam mata dari bunga-bunga itu, supaya aku dapat melihat buah idaman yang diinginkan istriku,” Begawan Swandagni bertanya tak percaya.
”Mungkin, bila kau menyatukan hatimu dengan mata bunga-bunga itu,” jawab Dewi Luhwati.
Begawan Swandagni memandang dalam-dalam bunga-bunga di sekitarnya. Bunga-bunga itu tak bermata. Jika ada matanya, mata-mata itu adalah bintang-bintang yang terang bersinar di angkasa. Begawan Swandagni pun memejamkan mata, lalu meminta, biarlah hanya bintang-bintang itu yang menjadi terang bagi alam di hadapannya. Perlahan-lahan ia merasa sedang melihat dengan mata bintang-bintang, justru ketika matanya terpejam. Ia melihat alam di sekitarnya menjadi tak terkatakan indahnya.
Swandagni, tak mungkin kau dapat menemukan tempat ini bila kau tidak dibimbing oleh niatmu yang suci dan tulus.
Begawan Swandagni terpesona. Tenggelam dalam keindahan itu, matanya jadi terbuka. Dan ia pun melihat seberkas cahaya, tegak seperti menantang langit. Warnanya hijau berselimut emas. Dalam cahaya indah itu ia merasa, segala kerinduannya terserap. Dan ia pun terkesiap. Dalam sejenak, ia pun segera melihat, Dewi Luhwati sudah berdiri di hadapannya lagi.
”Swandagni, tak mungkin kau dapat menemukan tempat ini bila kau tidak dibimbing oleh niatmu yang suci dan tulus,” kata Dewi Luhwati.
”Ya Dewi, hamba mencari pisang emas yang diidamkan istri hamba yang sedang mengandung. Hamba tak ingin melihat ia gelisah selama hamba menantikan kelahiran anaknya. Dan kegelisahannya takkan bisa diredakan, bila ia belum menikmati pisang emas, idamannya itu,” kata Begawan Swandagni.
”Pisang emas itu ada di sini, Swandagni. Akulah yang ditugaskan Batara Guru untuk merawat pohonnya, hingga aku diutusnya tinggal di tempat ini.”
”Oh Dewi, bersusah-susah hamba berjalan. Lama hamba mencari apa yang hamba inginkan. Ternyata pisang emas itu ada di tangan Paduka sekarang. Sudilah Paduka melunaskan kerinduan hamba. Bolehkah, hamba memiliki pisang emas, idaman istri hamba itu?” pinta Begawan Swandagni penuh harapan.
”Swandagni, lihatlah ke sana.” Dewi Luhwati lalu beringsut, dan menunjukkan jari ke utara.
Begawan Swandagni menurut perintah itu, dan berpaling ke utara. Dilihatnya di sana berkas-berkas cahaya jatuh dari langit, seperti hujan yang sedang turun. Tak lama kemudian cahaya itu meredup, dan tampaklah sebatang pohon pisang. Perlahan-lahan pohon pisang itu menjadi terang, warnanya emas kehijau-hijauan. Begawan Swandagni tak dapat berkata-kata. Seumur hidupnya belum pernah ia melihat pohon pisang yang seindah itu. Anehnya, tak ada tandan buah pisang di pohon itu. Adanya hanya sebuah pisang saja. Satu-satunya buah yang tergantung padanya. Menggantung bagaikan sarang lebah yang hijau keemasan warnanya.
”Duh Dewi, mengapa pohon itu hanya berbuah pisang sebuah saja?” tanya Begawan Swandagni.
”Karena buah pisang itu hanya diperuntukkan bagimu saja, Swandagni.” ”Betapa hamba beruntung boleh menerima anugerah itu.”

”Benar, Swandagni, kau harus bersyukur boleh memilikinya. Aku merawat dan menjaganya, seakan hanya untuk menunggu kedatanganmu, sampai engkau sendiri yang memetiknya. Tapi hendaklah kau tahu dan ingat, bagaimana buah pisang ini harus disantap.”
”Apa yang harus hamba lakukan?”
”Janganlah pisang ini dimakan hanya buahnya saja.”
”Maksudnya, pisang ini harus dimakan sekulit-kulitnya?”
”Ya, Swandagni, istrimu harus menyantap baik buah maupun kulitnya sekaligus.”
”Tidakkah biasanya kulit pisang itu sepat?” tanya Begawan Swandagni tak habis mengerti.
”Ya, betapapun istimewa, pisang ini tetap sepat kulitnya. Tapi biarlah istrimu memakan baik buah maupun kulitnya. Pergilah ke pohon pisang emas itu, dan petiklah sekarang buahnya,” perintah Dewi Luhwati.