Survei ”Kompas” merekam citra partai masih rendah. Partai politik perlu memformulasikan peta jalan baru di tengah masyarakat. Suara dari kalangan muda menuntut perhatian. Mampukah partai mewujudkannya?
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Bendera partai politik terpasang di pinggir jalan di kawasan Karangrejo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Sabtu (8/2/2014).
Survei Litbang Kompas merekam, citra positif partai politik berada di kisaran 36,7 persen hingga 55,3 persen selama Januari 2015 hingga Oktober 2019. Angka ini menempatkan partai sebagai lembaga dengan citra paling rendah jika dibandingkan dengan lembaga politik dan kenegaraan lainnya.
Gambaran partai di mata publik ini juga masih kental diwakili oleh kampanye-kampanye jargon. Hal ini setidaknya tecermin dari suasana pusat-pusat aktivitas warga yang tak sepi dari deretan lambang parpol di pinggiran ataupun median jalan.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Bendera, spanduk, dan baliho memang masih menyisakan keajaiban di tengah era digital. Media ini menyentuh masyarakat yang duduk di mobil paling mewah hingga masyarakat terbawah. Alat kampanye ini melekatkan imaji partai di benak masyarakat dan perlahan mendongkrak popularitas. Cara kerja popularitas lewat media konvensional ini pun terus menjadi andalan partai politik.
Popularitas pun memang menjadi aspek yang dipertimbangkan publik dalam memilih partai politik. Hasil Survei Kompas pada Januari 2022 merekam 76,5 persen mempertimbangkan popularitas partai. Sepertiga dari jumlah tersebut bahkan menyatakan sangat mempertimbangkan.
Pendapat yang tebal tampak pada publik senior. Di kalangan baby boomers terpotret 85,2 persen mempertimbangkan popularitas. Begitu pula pada gen Y-tua sebesar 78,4 persen. Tingkat persetujuan pada aspek ini makin menipis pada kelompok usia muda. Hanya 71,5 persen kalangan gen Z yang memperhitungkan keterkenalan partai.
Meskipun penting, popularitas ternyata merupakan aspek dengan tingkat pertimbangan terendah dibandingkan dengan aspek lainnya. Ada faktor-faktor lain yang dianggap lebih genting untuk ditonjolkan partai politik.
Upaya partai politik untuk menegaskan visi, misi, dan program kerja dianggap lebih penting dibandingkan dengan mendongkrak popularitas. Sembilan dari 10 responden menyatakan aspek visi-misi dan aspek program kerja dipertimbangkan dalam memilih parpol. Bahkan tiga dari 10 responden menyatakan sangat mempertimbangkan.
Generasi X, Y, dan Z menunjukkan keseragaman opini pada pentingnya visi dan misi partai. Perbedaan sedikit terlihat pada gen Y-tua yang tebal pada pertimbangan program kerja partai. Meskipun demikian, secara umum tiga generasi ini condong pada kinerja partai alih-alih popularitas.
Di sisi lain, generasi baby boomers menunjukkan kecenderungan pada citra partai berlandaskan popularitas dan ketokohan. Dalam hal popularitas partai, babyboomers paling mempertimbangkan aspek ini dibandingkan generasi lainnya.
Sementara aspek ketokohan dalam organisasi partai tercatat mendapatkan hasil suara terbanyak di antara aspek lainnya. Sebanyak 90,2 persen generasi baby boomers mempertimbangkan ketokohan. Sama halnya dengan popularitas, ketokohan dalam organisasi partai juga semakin rendah dipertimbangkan oleh kalangan muda.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Bendera partai politik peserta pemilu serentak 2019 menghiasi jalan layang Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2019).
Benang merah dari survei ini menunjukkan bahwa aspek visi, misi, dan program kerja lebih dipertimbangkan dibandingkan popularitas. Kalangan muda menunjukkan opini yang tebal pada aspek kinerja partai alih-alih popularitas.
Respons kalangan muda diharapkan dapat mengubah haluan partai yang condong meningkatkan elektabilitas dengan popularitas. Kalangan muda tidak menunjukkan preferensi yang sama dengan kalangan senior dalam melihat partai politik.
Kalangan muda tidak menunjukkan preferensi yang sama dengan kalangan senior dalam melihat partai politik.
Kerja-kerja partai politik diupayakan selaras dengan apa yang diharapkan publik. Artinya, energi partai baiknya disalurkan untuk melaksanakan program kerja yang selaras dengan visi dan misi yang dibuat. Akhirnya, media tidak hanya menjembatani kampanye jargon, tetapi juga etalase kinerja nyata.
Upaya menyinambungkan harapan publik ini pun akan memperbaiki kerenggangan antara masyarakat dan partai politik. Hasil SNK merekam rendahnya kedekatan publik dengan partai politik. Meskipun lebih dari 80 persen responden menyebut nama parpol yang akan dipilih jika pemilu dilakukan saat ini, 67,1 persen mengaku tidak memiliki kedekatan dan kesamaan dengan parpol.
Hasil survei melihat kecenderungan sosok yang diharapkan diusung oleh partai politik sebagai calon presiden. Kecenderungan ini dirangkum dari pilihan separuh lebih responden yang menemukan bahwa calon presiden ideal yang diusung parpol adalah laki-laki, petinggi parpol, kalangan sipil, dan menjabat sebagai gubernur.
Hampir seluruh publik (94,9 persen) mengharapkan parpol mengusung calon presiden laki-laki. Pendapat ini merata di setiap kelompok usia. Bahkan suara bulat 100 persen didapatkan dari kalangan baby boomers.
Sebanyak 65 persen berharap parpol diusung ketua atau petinggi parpol dibandingkan kader partai. Sementara 58,6 persen berharap parpol mengusung nama calon dari kalangan sipil dibandingkan kalangan militer.
Pilihan lainnya seperti sosok menteri muncul di peringkat kedua dengan suara cukup kuat dari Gen Z. Sementara di peringkat ketiga adalah ketua atau anggota DPR yang cukup tinggi disuarakan oleh gen X.
Preferensi masyarakat pada calon presiden di Pemilihan Umum 2024 ini serupa dengan preferensi publik pada Pemilu 2014 dan 2019. Kala itu Joko Widodo yang memiliki kualitas sebagai gubernur dan berasal dari kalangan sipil menang dari pesaingnya yang berasal dari militer dan tidak memiliki rekam jejak sebagai kepala daerah.
KOMPAS/AMANDA PUTRI
Pemilih muda melakukan simulasi pemilu di halaman perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, Minggu (4/12/2016).
Meski demikian, kriteria terpenting yang diharapkan publik adalah integritas calon itu sendiri. Hasil survei menegaskan bahwa kemampuan lebih penting dibandingkan popularitas tokoh. Sebanyak 87,8 persen responden berharap parpol memprioritaskan mengusung nama calon presiden yang memiliki integritas, dari kemampuan intelektual maupun kepemimpinan.
Keinginan ini tajam pada generasi muda. Sembilan dari 10 pada tiap generasi Z dan Y berharap parpol akan memilih integritas dibanding popularitas sosok. Harapan ini mengecil pada kelompok gen X dengan hanya 84,7 persen dan baby boomers dengan 79 persen.
Ceruk potensial pada generasi muda diharapkan menjadi acuan penting. Parpol diharapkan mampu mengambil langkah berani untuk memilih calon yang memiliki kompetensi. Dengan formulasi langkah baru ini, tak pelak partai semakin layak dipilih. (LITBANG KOMPAS)