Kampung Turis Penopang Pariwisata Malioboro
Jalan Malioboro adalah magnet penarik kunjungan wisatawan. Kampung-kampung turis pun berkembang di sekitarnya megungkit perekonomian warga.
Malioboro bukan sekadar ruas utama yang terbentang dari Stasiun Tugu hingga titik nol kilometer Kota Yogyakarta. Peradaban jalur legendaris itu ditopang geliat ekonomi sirip-sirip jalan di sekitarnya.
Banyak losmen di Jalan Sosrowijayan memajang papan penanda ”penuh”, Minggu (8/5/2022). Ruas di barat Malioboro ini jadi jujugan pelancong yang ingin menikmati jantung Kota Yogyakarta sepanjang hari.
Di Kampung Sosrowijayan, Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta, banyak warga menjadikan rumahnya sebagai homestay atau penginapan. Jumlahnya diperkirakan lebih dari 100 rumah. Dalam konsep homestay, wisatawan biasanya menginap di kamar-kamar yang disediakan pemilik rumah dengan tarif ramah di kantong. Tak seperti hotel-hotel berbintang.
Sekilas, kampung itu terlihat seperti permukiman padat penduduk pada umumnya. Rumah-rumah warga saling berdempetan. Yang membedakan dari kampung itu adalah terpasangnya papan-papan bertuliskan homestay dan penginapan pada rumah-rumah tersebut.
”Wisatawan yang menginap di kampung ini biasanya para backpaker. Sebelum pandemi Covid-19, banyak wisatawan mancanegara. Rata-rata dari Eropa, Australia, dan Amerika Utara. Sekarang didominasi wisatawan domestik saja,” kata Wawan Kusumo (45), pemilik Rejeki Homestay, saat ditemui di kediamannya.
Wawan menceritakan, homestay miliknya memanfaatkan bekas bangunan galeri lukisan batik milik keluarganya. Galeri tersebut mulai dijadikan homestay sejak 1995. Saat itu, mereka melihat peluang setelah mengetahui turis asing lebih suka bermalam di penginapan yang basisnya rumah-rumah warga. Namun, sejumlah tetangganya sudah lebih dahulu memulai menjadikan rumahnya sebagai homestay awal 1990-an.
Total ada 10 kamar yang disewakan Wawan. Namun, hanya enam kamar yang dioperasikan sehari-hari. Empat kamar lain diaktifkan jika permintaan tinggi. Harga yang dibanderol untuk satu kamar seharga Rp 150.000 per malam, tetapi saat musim liburan menjadi Rp 200.000.
“Lebaran ini, 10 kamar terpakai semua. Sempat penuh dari 3 Mei (hari kedua Lebaran) sampai 8 Mei 2022. Sebelumnya, rata-rata wisatawan domestik itu menginap semalam saja di akhir pekan,” kata Wawan.
Sudarmaji (72), pemilik Hotel Sakura di Sosrwowijayan, mengaku mendirikan penginapan tersebut karena melihat besarnya potensi wisatawan di kawasan tersebut. Hotelnya memiliki 30 kamar. Bangunannya bertingkat dua dan berlokasi di dalam kampung. Meski demikian, hampir setiap akhir pekan banyak kamar terisi. Lebih-lebih jika sedang musim libur panjang.
”Kalau liburan, banyak hotel menolak tamu. Sudah penuh. Apalagi kamar-kamar di sini relatif murah harganya,” kata Sudarmaji, yang sudah mengelola hotel tersebut sejak 2000.
Baca juga: Rencana Uji Coba Pembukaan Destinasi Wisata di DIY Simpang Siur
Selain menyediakan kamar, Sudarmaji juga menyediakan fasilitas peminjaman sepeda motor atau mobil kepada para tamunya. Itu dikarenakan banyak tamunya terdiri dari wisatawan backpaker, yang tidak membawa kendaraan pribadi. Hanya saja kendaraan yang disewakan tidak berasal dari hotel miliknya. Ia bekerja sama dengan usaha persewaan kendaraan milik warga setempat.
”Ini, kan, sudah lama juga jadi kampung turis. Jadi, apa-apa saja yang dibutuhkan wisatawan sudah lumayan lengkap. Tinggal saling berkolaborasi saja,” ucap Sudarmaji.
Kuliner dan parkir
Dari sektor kuliner, Gudeg Basah Bu Lindu menjadi andalan bagi para wisatawan di wilayah Sosrowijayan. Olahan sayur nangka itu tergolong sebagai hidangan legendaris. Sebab, sudah dijajakan sejak 1930-an. Sang Maestro Gudeg, Mbah Lindu berpulang di usia 100 tahun. Konon, ia telah berjualan di kawasan tersebut sejak masih berusia 13 tahun.
Saat ini, warung gudeg itu diteruskan salah seorang anak Mbah Lindu, yakni Ratiyah (54). Dahulu, Mbah Lindu berjualan keliling kampung. Lalu, ia memangkal di Jalan Sosrowijayan. Semula, pelanggannya adalah para penumpang kereta api atau orang yang berpelesir ke Malioboro.
”Sekarang, malah jadi sasaran wisatawan. Tidak jarang, wisatawan yang menginap malah sarapan sekalian di sini. Masa liburan seperti ini bisa habis lebih dari 200 porsi per hari,” kata Ratiyah.
Sebagai bentuk pengembangan, sebut Ratiyah, sejak 1,5 tahun lalu, Gudeg Basah Mbah Lindu menyediakan pula gudeg beku. Inovasi tersebut hadir menjawab kebutuhan wisatawan yang ingin membawa gudeg tersebut sebagai oleh-oleh bagi kerabat di tempat asalnya. Harga gudeg beku terentang dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per paketnya. Paket paling murah setidaknya bisa dikonsumsi tiga sampai empat orang.
”Lumayan juga itu yang suka. Kemarin ini sempat kirim-kirim juga. Paling banyak pernah mengirim sampai 60 paket sehari,”ka ta Ratiyah.
Ruas-ruas lain seperti Jalan Dagen dan Pajeksan juga penuh dengan usaha pendukung pariwisata. Di dalam gang, muncul bisnis pengelolaan lahan kosong menjadi areal parkir. Selain pengunjung Malioboro, area parkir juga dimanfaatkan tamu hotel di sekitarnya.
Yanto (40), salah seorang pengelola lahan parkir di Jalan Dagen, mengatakan, sama seperti harga kamar hotel, tarif parkir pun bisa naik turun mengikuti keramaian kunjungan. Di areanya sendiri, misalnya, tarif parkir mobil yang biasanya Rp 20.000, pada libur Lebaran dinaikkan menjadi Rp 70.000.
Prawirotaman
Kampung turis tak hanya Sosrowijayan. Ke arah selatan, di sekitar Jalan Parangtritis, ada Kampung Prawirotaman yang juga jadi jujugan turis asing.
Sri Yantini (58), pemilik Parikesit Hotel, mengatakan, di masa libur Lebaran, semua penginapan di Prawirotaman penuh. ”Sebelum pandemi, kunjungan wisatawan yang menginap, biasanya masih akan terasa dua minggu setelah Lebaran,” ujarnya.
Baca juga: Menjaga Asa Pariwisata Yogyakarta di Tengah Pandemi dan “Klitih”
Adapun tingginya tingkat hunian kamar tersebut mulai terasa pada H-2 Lebaran. Mulai saat itu, 13 kamar di Parikesit Hotel selalu terisi.
Kondisi serupa terjadi di puluhan penginapan lain di Prawirotaman. Selain mereka yang sudah memesan kamar jauh-jauh hari, hanya keberuntungan dan nasib baik yang membuat sebagian pengunjung.
Di Prawirotaman terdapat berbagai ragam penginapan, mulai dari kelas melati, guest house, homestay, hostel, hotel bintang 1 hingga bintang 5. Saat ramai seperti ini, kenaikan tarif tak terbendung. Jika sebelumnya banyak penginapan kecil menawarkan harga Rp 50.000 hingga Rp 80.000 per malam, selama libur Lebaran, hampir semua harga dibanderol di atas Rp 100.000 per malam.
Alex Tangkeallo, pemilik Oke Baik Hostel, mengatakan, tarif menginap di penginapannya mengikuti ramainya tingkat permintaan. Ia mencontohkan, jika kamar jenis private room ditawarkan Rp 250.000 pada kondisi normal, kini menjadi Rp 750.000.
”Tarif kamar memang saya tetapkan tinggi. Namun, di musim ramai seperti sekarang, tetap saja tingkat hunian kamar 100 persen penuh,” ujarnya.
Adapun, tarif menginap di dormitory atau kamar berbagi yang biasanya ditawarkan Rp 50.000 per orang, menjadi Rp 150.000 per orang. Satu ruangan kamar berbagi bisa dipakai beramai-ramai dengan kapasitas 18 tempat tidur.
Mengacu catatan sejarah dalam buku Dinamika Kampung Kota; Prawirotaman dalam Perspektif Sejarah dan Budaya, karya Sumintarsih dan Ambar Adrianto, Kampung Prawirotaman yang pertama kali dihuni oleh trah Prawirotama, semula dikenal sebagai ”Kampung Batik”. Namun, seiring waktu, identitas kampung pun berubah, sempat dikenal sebagai kampung indekos, sentra penjualan telur, dan terakhir kampung turis dengan banyak hotel dan penginapan.
Maraknya turis asing yang menginap membuat Prawirotaman juga dikenal sebagai ”Kampung Bule”. Aktivitas para bule ini jelas terlihat di malam hari. Mereka biasa menghabiskan waktu di kafe atau bar di sekitar kawasan Prawirotaman, sembari menikmati live music dan menenggak bir. Di salah satu kafe, Jumat (6/5/2022) malam, misalnya, beberapa warga asing dengan akrab menawarkan minuman kepada tukang parkir. Mereka seperti sudah terbiasa berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Semua aktivitas wisata tersebut seolah menenggelamkan cerita sejarah perihal kampung Prawirotaman. Tidak ada lagi jejak yang tersisa karena kebanyakan bangunan lama sudah direnovasi berganti desain modern.
Latar sejarah hanya bisa diketahui jika kebetulan berjumpa dengan pemilik hotel, yang masih keturunan atau kerabat trah Prawirotama. Sri Yantini adalah salah satunya. Parikesit Hotel yang dikelolanya saat ini juga bermula dari usaha batik yang dijalankan mertuanya, pasangan Prawiro Pranoto dan Sarjiah. Ketika itu, banyak keluarga lain, termasuk kakak dan adik dari mertuanya, juga menjalankan usaha serupa.
Adapun, mertuanya memproduksi batik berlabel Kemonggo. Namun, seiring masa, banyak usaha batik beralih menjadi usaha penginapan. Tanpa mengetahui kronologisnya secara jelas, Sri sebatas mendengar peralihan usaha terjadi ketika ada pelaku usaha batik yang kemudian sukses membuka usaha penginapan di kawasan Malioboro.
”Ketika ada yang berhasil membuka penginapan, maka pelaku usaha yang lain, termasuk mertua saya, ingin ikut meniru,” ujarnya.
Sejak 1990, Sri sudah terbiasa melayani tamu, termasuk turis asing. ”Saya ingat, ketika itu sering merebus dua kilogram telur untuk sarapan mereka,” ujarnya.
Seiring waktu, banyak perintis atau keluarga dekat pendiri usaha batik ataupun penginapan meninggal dunia. Sebagian keturunannya yang kini menjalankan usaha berstatus cucu atau menantu. Namun, banyak pula keturunan dari mereka menjual aset rumahnya di Prawirotaman. Para investor dari luar pun berdatangan, termasuk warga asing yang menikahi penduduk setempat dan kemudian membeli tanah di Prawirotaman.
Besarnya magnet Malioboro bagi wisatawan ikut menumbuhkan perekonomian daerah-daerah di sekitarnya. Meski demikian, sebagai daerah yang menganut budaya Jawa yang kuat, kearifan lokal diharapkan tetap terjaga.