Putusan Ringan Pinangki, Komitmen dan Sensitivitas Hakim Dipertanyakan
Pemangkasan hukuman Jaksa Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dinilai berlebihan. Putusan itu menunjukkan korupsi tak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Bekas Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Pinangki Sirna Malasari kembali menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (4/11/2020). Agenda persidangan hari itu adalah pemeriksaan sejumlah saksi. Pinangki diduga menerima hadiah sebesar 500.000 dollar AS atau Rp 7 milliar dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra.
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas hukuman terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari dinilai menunjukkan tidak adanya sensitivitas dalam melihat kecenderungan penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Semestinya, penegak hukum yang menyelewengkan jabatan ataupun korupsi diberi hukuman yang dapat memberikan efek jera.
Sebelumnya dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas vonis hukuman terhadap Pinangki, dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara. Ini dinilai membuat pemberantasan korupsi jadi mengkhawatirkan. Terlebih, saat terlibat dalam perkara itu, Pinangki berprofesi sebagai jaksa dan menjabat Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, saat dihubungi, Selasa (15/6/2021), mengatakan, vonis terhadap Pinangki menunjukkan majelis hakim pengadilan tinggi tidak memiliki sensitivitas dalam melihat fenomena kecenderungan penyimpangan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Penegak hukum seharusnya berwenang menegakkan hukum dan keadilan, tetapi mereka justru memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dengan cara korupsi. Hal itu seharusnya bisa dilihat sebagai faktor pemberat hukuman. Sebab, korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum bertentangan dengan tugas dan kewajibannya.
”Hakim tidak punya sense of crisis untuk melihat fenomena korupsi pada aparat penegak hukum sehingga putusannya melukai rasa keadilan masyarakat,” kata Fickar.
Seperti diberitakan sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diketuai Muhammad Yusuf bersama hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik menilai Pinangki tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu primer dan ketiga primer. Atas pertimbangan itu, vonis 10 tahun penjara yang telah dijatuhkan majelis hakim pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada Pinangki dipangkas menjadi empat tahun penjara (Kompas, 15 Juni 2021).
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta berpendapat, Pinangki hanya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan kesatu subsider. Pinangki juga terbukti bersalah melakukan pencucian uang dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan ketiga subsider.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menilai, pidana 10 tahun penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terlalu berat. Hal-hal yang meringankan terdakwa adalah mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Oleh karena itu, Pinangki dinilai masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik. Selain itu, majelis juga berpandangan perbuatan terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan itu.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Acara diskusi dengan tema "KPK Dalam Ancaman 60 Hari pasca Penyerangan Novel Baswedan Hingga Hak Angket DPR", berlangsung di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, (11/6). Hadir sebagai pembicara (dari kiri ke kanan) Abdul Fickar Hadjar (akademisi), Almas Sjafrina (peneliti (ICW), Kurnia Ramadhana (ICW), Roy Salam (Direktur Indonesia Budget).
Menurut Fickar, pemotongan lebih dari setengah hukuman dalam putusan Pinangki sangat berlebihan. Selain itu, putusan juga menjadi indikator bahwa majelis hakim tidak melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi dinilai hanya sebagai kejahatan biasa sehingga tidak ada alasan logis yang digunakan untuk memperberat hukuman. Padahal, menurut dia, tindak pidana korupsi lebih jahat karena dilakukan bukan karena faktor kebutuhan, tetapi keserakahan untuk menumpuk harta.
”Miris sekali karena seolah perbuatan korupsi penegak hukum dilihat sebagai kejahatan biasa seperti maling ayam. Masyarakat harus terus mengawasi agar pemberantasan korupsi tidak seperti ini,” kata Fickar.
Terkait dengan putusan itu, Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting mengatakan, sesuai UU KY, KY tidak diberi kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya sebuah putusan. KY hanya berwenang mengawasi apabila ada pelanggaran perilaku hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Menurut Miko, UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY memang memberikan kewenangan KY untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, itu hanya untuk merekomendasikan mutasi hakim. Di luar tujuan itu, kewenangan KY terbatas.
”Keresahan publik terhadap putusan ini sebenarnya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi. Dari situ, dapat diperoleh analisis yang cukup obyektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan,” kata Miko. (DEA)