Kamis, 14 April 2022, Badai Geomagnetik Kecil Menghantam Bumi
Pada Kamis (14/4/2022) ini, Bumi akan dihantam badai geomagnetik akibat ledakan di bintik Matahari pada Senin (11/4/2022). Meski badai ini tak berdampak langsung pada manusia, teknologi manusia bisa terganggu.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
NASA/SDO
Suar Matahari dan ledakan material Matahari dilepaskan ke sekitar lingkungan Matahari saat terjadi peningkatan aktivitas Matahari pada 20 Juni 2013.
Bintik Matahari atau sunspot AR2987 meledak pada Senin (11/4/2022). Ledakan itu memicu terjadinya suar Matahari dan lontaran massa korona. Materi ledakan itu akan sampai di Bumi pada Kamis (14/4/2022) ini dan memicu terjadinya badai geomagnetik yang meningkatkan intensitas cahaya aurora di sekitar wilayah kutub Bumi.
Bintik Matahari adalah daerah gelap di bagian fotosfer atau permukaan Matahari. Kemunculan bintik ini menjadi pertanda meningkatnya aktivitas Matahari. Bintik ini terbentuk akibat adanya fluks atau aliran magnet yang sangat kuat dari bagian dalam Matahari sehingga bintik Matahari memiliki medan magnet yang lebih besar dibandingkan wilayah sekitarnya.
Selain lebih kuat medan magnetnya, bintik Matahari terlihat lebih gelap dibandingkan sekitarnya karena medan magnet yang mengelilingi bintik tersebut membelokkan panas hingga bagian tengah bintik menjadi lebih dingin. Kerapatan bintik Matahari juga lebih rendah daripada daerah sekitarnya. Bintik Matahari ini bisa bertahan beberapa jam hingga berbulan-bulan.
Sementara itu, AR2987 adalah kelompok bintik Matahari yang terletak di belahan selatan Matahari. Kelompok bintik ini disebut sebagai bintik Matahari ”mati”. Namun, ahli fisika Matahari di Pusat Riset Atmosfer Nasional, Observatorium High Altitude di Boulder, Colorado, Amerika Serikat, Philip Judge menilai istilah itu hanya sebutan puitis, bukan gambaran ilmiah.
Menurut Judge seperti dikutip Livescience, Selasa (12/4/2022), bintik Matahari mati terjadi karena adanya konveksi Matahari yang memecah bintik-bintik tersebut. Hasilnya, aliran magnetik itu terdistribusi ke sejumlah bagian sehingga menjadi lebih lemah.
”Terkadang, bintik Matahari tidak langsung muncul dengan medan magnet yang kuat. Bisa jadi, medan magnet kuat itu baru muncul beberapa hari atau minggu kemudian pada daerah yang sama,” katanya.
Kondisi itu terjadi karena adanya kelemahan di zona konveksi Matahari atau ada daerah tidak stabil di bawah permukaan Matahari yang memicu meningkatnya medan magnet.
Bintik Matahari AR2987 itu meledak pada Senin (11/4/2022) pukul 12.21 WIB dan menghasilkan suar atau flare Matahari. Suar terjadi saat plasma dan medan magnet di atas permukaan bintik Matahari yang tertekan dilepaskan ke luar Matahari. Plasma itu tidak turun ke bawah ke bagian dalam Matahari karena akan menabrak material yang lebih padat.
Ledakan bintik AR2987 juga memicu lontaran massa korona atau coronal mass ejection (CME), yaitu pelepasan plasma yang terdiri dari partikel bermuatan dan medan magnet dalam jumlah sangat besar dan kecepatan tinggi ke lingkungan Tata Surya. Lontaran partikel bermuatan itu bisa menempuh jarak hingga ratusan juta kilometer dari Matahari.
NASA
Matahari memancarkan energi elektromagnetiknya dalam jumlah besar ke segala arah. Bumi hanyalah satu obyek kecil yang menerima energi Matahari itu. Perbedaan jarak Bumi dan Matahari saat Bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari (aphelion) atau Bumi ada di titik terdekatnya dari Matahari (perihelion) hanya memengaruhi perbedaan paparan sinar Matahari sebesar 3,5 persen.
Dalam kondisi normal, Matahari sebenarnya terus-menerus memancarkan partikel bermuatan ke lingkungan. Namun, saat terjadi ledakan Matahari yang disertai munculnya suar dan CME, jumlah partikel bermuatan yang dilepaskan meningkat drastis. Lonjakan partikel bermuatan dari Matahari itulah yang disebut badai Matahari.
Selain energi, dikutip dari Kompas, 10 Maret 2011, lontaran massa korona juga membawa medan magnet hingga menimbulkan radiasi elektromagnetik dalam jumlah besar hingga menjadi badai magnetik. Badai magnetik ini akan memengaruhi medan magnet antarplanet dan juga medan magnet Bumi.
Namun, suar yang dihasilkan akibat ledakan AR2987 pada Senin (11/4/2022) itu hanya masuk kelas C. Dikutip dari situs NASA, 9 Agustus 2011, dari lima tipe kelas suar Matahari, kelas C termasuk suar dengan kekuatan menengah. Kelas suar terlemah adalah A, diikuti kelas B, C, M, dan kelas X sebagai kelas suar terkuat.
Suar kelas C memiliki kekuatan 100 kali suar kelas A, tetapi kekuatannya itu hanya seperseratus dari kekuatan suar kelas X. Suar kelas C cukup sering di terjadi Matahari dan jarang menimbulkan dampak langsung pada Bumi. Suar tipe C juga jarang memicu CME. Kalaupun terjadi CME, umumnya lemah dan kecepatannya rendah.
Interaksi dengan Bumi
Jika lontaran partikel bermuatan dari Matahari itu mengarah ke Bumi, artikel bermuatan itu akan sampai ke Bumi dalam 1-3 hari sejak terjadi ledakan. Namun, untuk radiasi elektromagnetik, baik berupa sinar X, sinar gamma, maupun cahaya visual akan tiba di Bumi dalam waktu 8 menit.
Saat tiba di Bumi, partikel bermuatan dan berenergi tinggi itu akan menumbuk medan magnet Bumi yang melingkupi planet Bumi. Partikel dari Matahari itu akan diarahkan oleh medan magnet Bumi untuk bergerak sesuai garis medan magnet Bumi yang bergerak menuju kutub utara dan kutub selatan magnet Bumi. Kutub magnet Bumi itu terletak di dekat kutub geografis Bumi, tidak berimpitan.
Selain itu, ketika partikel berenergi tinggi itu berbenturan dengan partikel di atmosfer Bumi, maka partikel di udara, khususnya nitrogen, akan terionisasi. Proses ionisasi ini akan mewujud dalam garis cahaya warna-warni di langit yang disebut aurora dan bisa dinikmati masyarakat yang tinggi di dekat kutub Bumi.
AFP/MARINA SUAREZ
Aurora borealis dilihat dari air terjun Gudafoss di Thingeyjarsveit, Eslandia, Minggu (14/10/2018).
Ketika aktivitas Matahari normal, aliran partikel dari Matahari akan menimbulkan angin Matahari yang bisa memicu terjadinya aurora hanya di sekitar kutub Bumi. Namun, saat terjadi ledakan Matahari yang diikuti lontaran massa korona, gangguan pada medan magnet Bumi akan menjadi makin luas atau besar hingga bisa memicu munculnya aurora di wilayah Bumi yang cukup jauh dari kutub Bumi.
Pantaun Space Weather menunjukkan, lontaran massa korona yang dilepaskan Matahari pada Senin (11/4/2022) akan memicu badai geomagnetik kecil atau kelas G1 di Bumi pada Kamis (14/2/2022) ini. Dari lima kelas badai geomagnetik, Kelas G1 adalah badai geomagnetik dengan kekuatan terendah.
Meski intensitasnya rendah atau lemah, badai geomagnetik level G1 tetap bisa mengganggu operasi satelit ataupun mengganggu jaringan listrik di wilayah Bumi lintang tinggi. Sementara aurora yang dihasilkan diprediksi bisa terlihat hingga ke wilayah utara AS.
Pusat Analisis Data Pengaruh Matahari dari Observatorium Kerajaan Belgia menyebut, ledakan pada AR2987 terkait dengan peningkatan aktivitas Matahari yang tengah berlangsung. Bintang terdekat dengan Bumi itu memiliki siklus 11 tahunan yang menandai peningkatan aktivitas Matahari. Kondisi itu akan memunculkan makin banyak bintik Matahari hingga meningkatkan peluang terbentuknya suar dan lontaran massa korona yang bisa menimbulkan badai geomagnetik di Bumi.
Peningkatan aktivitas Matahari itu diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2025. Karena itu, mitigasi dampak dari peningkatan aktivitas Matahari itu, khususnya dalam operasionalisasi satelit, perlu diwaspadai sejak dini. Partikel energetik itu bisa memengaruhi komponen elektronik satelit. Sementara radiasi elektromagnetiknya bisa mengubah kerapatan dan temperatur atmosfer hingga memengaruhi masa guna satelit.
Jika lontaran partikel bermuatan dari Matahari itu mengarah ke Bumi, partikel bermuatan itu akan sampai ke Bumi dalam 1-3 hari sejak terjadi ledakan. Namun, untuk radiasi elektromagnetik, baik berupa sinar X, sinar gamma, maupun cahaya visual, akan tiba di Bumi dalam waktu 8 menit.
SPACEX/SPACE.SKYROCKET.DE
Ilustrasi satelit Starlink yang akan menjadi satelit penyedia internet di seluruh penjuru Bumi. Starlink adalah perusahaan satelit milik SpaceX yang berambisi untuk membentuk megakonstelasi satelit yang terdiri atas 42.000 satelit Starlink. Saat ini, sudah ada 1.800-an satelit Starlink yang mengorbit di ketinggian 550 kilometer dari Bumi.
Sementara untuk gangguan kelistrikan, relatif jarang terjadi. Badai geomagnetik memang pernah mengakibatkan terbakarnya sejumlah trafo perusahaan listrik milik Ontario Hydro di Kanada pada 1989 hingga menyebabkan padamnya listrik di seluruh Quebec, Kanada, selama beberapa jam. Hal serupa pernah terjadi di Swedia pada 2003.
Untuk manusia, partikel energetik dan badai geomagnetik itu tidak akan berdampak langsung. Namun, jika teknologi manusia terganggu, khususnya satelit, dampaknya terhadap kehidupan manusia menjadi sangat besar. Karena itu, pemantauan cuaca antariksa yang dilakukan jejaring sejumlah lembaga antariksa sangat diperlukan untuk menentukan kapan badai geomagnetik terjadi dan seberapa besar dampaknya bagi Bumi.