Akhir Penantian 19 Tahun
Tim Indonesia mengakhiri penantian 19 tahun untuk membawa pulang Piala Thomas ke Tanah Air. Kemenangan 3-0 atas China membuktikan kekuatan bulu tangkis Indonesia layak diperhitungkan.
AARHUS, MINGGU — Menjadi juara ajang beregu tingkat dunia adalah momen spesial di arena bulu tangkis. Indonesia baru melakukannya lagi berselang 19 tahun setelah menjuarai kejuaraan beregu putra Piala Thomas 2002.
Gelar yang membuat pemain, pelatih, serta semua ofisial bersorak, tertawa, dan terharu ini didapat di Ceres Arena, Aarhus, Denmark, Minggu (17/10/2021). Indonesia menang atas China 3-0.
Begitu Jonatan Christie meraih poin terakhir, yang memastikan kemenangan atas Li Shi Feng, 21-14, 18-21, 21-14, pada partai ketiga, pemain dan pelatih Indonesia berlari ke lapangan untuk merayakan kemenangan.
Mereka merupakan gabungan pemain senior, seperti Hendra Setiawan, Mohammad Ahsan, hingga pemain muda, seperti Leo Rolly Carnando dan Daniel Marthin. Hendra, sebagai kapten tim, menerima trofi yang diserahkan Presiden Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) Poul-Erik Hoyer Larsen.
Namun, pada upacara pemberian penghargaan tak ada bendera Merah Putih yang mewakili Indonesia meski lagu ”Indonesia Raya” diperdengarkan. Ini terjadi karena adanya sanksi Badan Antidoping Dunia (WADA) kepada Indonesia akibat ketidakpatuhan Lembaga Antidoping Indonesia (LADI) dalam menerapkan program pengujian yang efektif. Bendera Merah Putih diganti bendera Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI).
Ketidakpatuhan itu memunculkan berbagai konsekuensi, salah satunya tidak boleh ada bendera Merah Putih dalam kejuaraan tingkat regional, kontinental, atau dunia. Peristiwa di Aarhus pun menjadi wujud pertama berlakunya sanksi setelah WADA mengeluarkan keputusan pada 7 Oktober.
Baca juga : Mengenang Terakhir Kali Piala Thomas Singgah di Indonesia
Meski demikian, momen tersebut tak menutup kebahagiaan semua anggota tim serta warga Indonesia yang menyaksikan di stadion. Penggemar bulu tangkis dan para mantan atlet di Indonesia juga turut merayakan momen bersejarah itu. Apalagi, dua pekan sebelumnya, Indonesia gagal menjuarai kejuaraan beregu campuran Piala Sudirman di Vantaa, Finlandia.
Luar biasa. Bisa menang 3-0 atas China adalah pencapaian luar biasa.
”Luar biasa. Bisa menang 3-0 atas China adalah pencapaian luar biasa,” ujar legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata.
”Akhirnya, momen kebersamaan dalam perbedaan di NKRI melalui Piala Thomas terulang kembali untuk Indonesia,” komentar mantan pemain Marlev Mainaky, yang menjadi bagian dari tim Indonesia ketika menjuarai Piala Thomas 1998, 2000, dan 2002.
Para mantan pebulu tangkis lainnya memberi ucapan selamat melalui akun media sosial masing-masing.
Selain Piala Sudirman, yang digelar sejak 1989, bulu tangkis memiliki kejuaraan beregu putri Piala Uber yang pertama kali diselenggarakan pada 1957, sementara Piala Thomas digelar sejak 1949. Tak seperti kejuaraan beregu di arena tenis, ketiga ajang tersebut memiliki prestise tinggi di bulu tangkis.
Piala Thomas, yang namanya diambil dari tokoh bulu tangkis Inggris, Sir George Alan Thomas, sebenarnya paling sering dibawa pulang tim Indonesia. Sebelum Piala Thomas 2020, yang dimundurkan setahun akibat pandemi Covid-19, diselenggarakan, Indonesia 13 kali juara.
Baca juga : Peluang Baru ”Merah Putih”
Selain tujuh kali juara dalam rentang 1958-1979, saat Piala Thomas diselenggarakan tiga tahun sekali, tim putra mencatatkan hasil fenomenal lain. Mereka lima kali juara beruntun, pada 1994-2002, saat turnamen digelar dua tahun sekali sejak 1984.
Namun, setelah Hendrawan dan kawan-kawan menjadi juara di Guangzhou 2002, era kejayaan bulu tangkis Indonesia dalam ajang beregu berakhir. Christian beberapa kali mengatakan, fenomena penurunan prestasi Indonesia dalam Piala Thomas terjadi karena kekuatan sektor tunggal menurun.
Situasi yang disebut Christian itu sangat berpengaruh dalam kejuaraan Piala Thomas. Padahal, dalam kejuaraan besar individu, banyak gelar dikumpulkan pemain Indonesia. Dalam rentang 19 tahun, Indonesia mengumpulkan 23 gelar juara dunia, Olimpiade, dan All England, tiga ajang besar yang selalu menjadi patokan prestasi pebulu tangkis.
Setelah Piala Thomas 2002, hanya dua kali tim ”Merah Putih” lolos ke final, yaitu pada 2010 dan 2016. Namun, Taufik Hidayat dan kawan-kawan ditaklukkan China, 0-3, pada 2010.
Enam tahun kemudian, giliran Denmark yang menggagalkan kesempatan emas Indonesia untuk juara. Hendra Setiawan dan kawan-kawan kalah 2-3.
Baca juga : Kali Ini, Indonesia Lebih Baik
Maka, lolosnya skuad Indonesia ke final tahun ini disambut antusias komunitas bulu tangkis Indonesia, termasuk para mantan atlet. ”Sudah 19 tahun Piala Thomas keliling dunia. Mari kita satukan doa buat Tim Thomas Cup Indonesia untuk membawa pulang Piala Thomas,” kata Hariyanto Arbi dalam akun Instagram.
Tony Gunawan, yang menjadi pelatih lalu membuat akademi bulu tangkis di Amerika Serikat sejak 2002, juga, memberikan ucapan selamat. ”Selamat Indonesia, melaju ke final setelah mengalahkan Denmark 3-1. Satu pertandingan lagi. Selamat berjuang tim Indonesia!” ujar Tony, peraih medali emas ganda putra Olimpiade Sydney 2000 bersama Candra Wijaya.
Pembuktian diri
Doa dan harapan itu akhirnya diwujudkan generasi penerus Hariyanto dan Tony di Aarhus. Apalagi, kesempatan Indonesia untuk menjuarai Piala Thomas cukup besar.
Skuad Indonesia terbilang merata pada semua partai. Nilai tiga pemain tunggal dan dua ganda terbaik dalam peringkat dunia, bahkan, menempatkan Indonesia sebagai unggulan pertama.
Skuad Indonesia pun membuktikan diri layak ditempatkan sebagai unggulan pertama meski perjalanan menuju juara tak mudah. Indonesia memenangi semua pertandingan penyisihan grup meski beberapa pemain, seperti Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie, tak selalu tampil solid. Performa tim secara umum membaik sejak memasuki fase sistem gugur dan menjadi modal berharga untuk menjalani final.
Kesempatan di final lebih terbuka karena China tak diperkuat tunggal putra terbaik mereka, Shi Yuqi, yang cedera saat melawan Kento Momota (Jepang) pada semifinal. Sejak awal turnamen, tim juara bertahan ini juga tak diperkuat ganda putra peringkat keempat dunia, Li Junhui/Liu Yuchen.
Peluang tersebut dimanfaatkan semua pemain yang dipilih untuk tampil. Anthony bisa mengatasi ketegangan sejak sebelum memasuki lapangan hingga gim pertama dengan mengalahkan Lu Guangzou, 18-21, 21-14, 21-16. ”Memasuki gim kedua, saya hanya berusaha tenang dan menikmati pertandingan. Cara itu akhirnya berhasil,” ujarnya.
Meski selalu menang pada dua pertemuan lain dengan Lu, tunggal putra peringkat kelima dunia tersebut mengantisipasi laga sulit karena pertemuan ini terjadi pada momen teramat penting. Anthony, bahkan, mengantisipasi pertemuan dengan Shi yang berdasarkan peraturan masih boleh bertanding meski tak menyelesaikan laga pada semifinal.
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto membuktikan diri layak diberi kesempatan tampil sebagai ganda pertama pada laga puncak. Mereka mengalahkan He Ji Ting/Zhao Hao Dong, 21-12, 21-19.
”Ini pembuktian kami karena dipercaya menjadi tulang punggung tim Indonesia. Kami membuktikan bahwa ganda putra Indonesia tidak hanya memiliki Kevin/Marcus dan Hendra/Ahsan. Kami senang bisa menyumbangkan kemenangan karena bermain di Piala Thomas menjadi cita-cita sejak kecil,” kata Fajar.
Ini pembuktian kami karena dipercaya menjadi tulang punggung tim Indonesia. (Fajar Alfian)
Fajar/Rian dipilih menggantikan peran pasangan nomor satu dunia Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon. Itu dilakukan pelatih ganda putra Herry Iman Pierngadi karena Marcus tak berada dalam kondisi bugar. Dia kelelahan hingga kondisinya tak memungkinkan tampil di final yang menuntut kebugaran penuh.
Jonatan membuat Indonesia menang dalam tiga partai langsung dengan mengalahkan Li Shi Feng, 21-14, 18-21, 21-14. Laga ini berlangsung cukup menegangkan karena persaingan berlangsung ketat hingga 13-13 pada gim ketiga. Setelah itu, barulah Jonatan bisa melesat dan memastikan Piala Thomas kembali ke Tanah Air.