Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 29)
Nama bukan hanya mengingatkan akan kenangan, tapi juga membawa harapan. Tak ada yang bisa mengalahkan harapan. Harapan bahkan bisa mengalahkan kematian atau ketiadaan.
”Bagaimana mungkin kau bisa memastikan anak kita itu telah tiada?” Dewi Sokawati menukas dengan keras. ”Mungkin ia telah tiada. Tapi janganlah sampai ketiadaannya meniadakan namanya, Begawan.”
”Memberi dia nama hanya akan membuat dirimu tambah sedih, Sokawati. Kau hanya akan makin terkenang-kenangan akannya.”
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 26)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 27)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 28)
”Begawan, nama bukan hanya mengingatkan akan kenangan, tapi juga membawa harapan. Tak ada yang bisa mengalahkan harapan. Dalam batin aku yakin, harapan bahkan bisa mengalahkan kematian atau ketiadaan. Harapan melampaui hidup dan mati yang kau pikirkan, Begawan. Aku tak bisa memastikan, apakah anak yang telah kita buang bisa hidup atau sudah mati. Entah ia hidup atau mati, aku tetap mempunyai harapan akannya. Karena itu aku ingin tetap mempunyai nama untuk harapanku itu.”
Dewi Sokawati menuturkan kata-kata itu dengan penuh keyakinan, seakan harapannya sudah menjadi kenyataan. Sambil berkata demikian, dilihatnya di pelataran Jatisrana pohon asoka sedang merebak indah, bunga-bunganya memerah. Ia meletakkan harapannya di sana. Dan ia merasa, harapannya mekar bagaikan bunga asoka. Begawan Swandagni yang tak mempunyai harapan itu, tak bisa bisa juga melihat, betapa indah jika bunga asoka mau memekarkan diri, ketika pagi sedang bermanjakan dengan matahari pagi.
”Sokawati, aku tak mengerti pikiranmu. Aku hanya mau memberi nama pada anak kita yang sekarang ada bersama kita. Kuberi dia nama Sumantri, Sokawati,” kata Begawan Swandagni.
”Baik Begawan, dan aku akan memberi nama Sukrosono pada anakku yang hidup dalam harapanku,” sambung Dewi Sokawati.
Langit terang, markata, zamrud kehijau-hijauan bergemerlapan turun dari awan-awan, menghujankan harapan, ketika Dewi Sokawati mengucapkan kata-kata itu. Sejenak kesedihannya menghilang. Anaknya yang hilang sekarang telah ditemukannya dalam harapan. Ia tidak tahu, kapankah ia akan bertemu dengan anaknya itu. Namun sekarang ia yakin, sejauh anaknya yang satu, yang sekarang ada di sisinya ini hidup, akan hidup pulalah anaknya yang telah hilang. Ia tak tahu, mengapa ia bisa berkeyakinan demikian. Ia hanya tahu, kedua anak itu tak bisa dipisahkan. Sejauh yang satu masih hidup, yang lain pun akan tetap hidup, meski sekarang hilang.
Demikianlah, Dewi Sokawati pun mengasuh dan membesarkan anaknya, Sumantri. Sumantri lahir mendahului Sukrosono. Karena itu Dewi Sokawati menganggap, Sumantri sebagai kakak dari Sukrosono, walau mereka berdua sesungguhnya adalah saudara kembar. Ia sangat menyayangi Sumantri. Namun ia tidak dapat menipu perasaannya, ia menyayangi Sumantri, lebih karena ia ingin mencurahkan kasihnya pada Sukrosono, yang tak ada di hadapannya. Tiap kali ia memberikan air susunya, dilihatnya Sumantri yang tampan mukanya. Namun justru pada wajah anaknya yang tampan itu terbayanglah wajah anaknya yang jelek rupa. Tiap kali ia menyusui Sumantri, ia merasa memberikan susunya pada Sukrosono. Ia merasa, ia menghidupi yang tiada dengan yang ada. Maka baginya, yang tiada menjadi ada. Dengan demikian ia merasa pasti, Sukrosono yang telah hilang darinya pasti masih hidup karena Sumantri yang hidup di sampingnya.
Ia menghidupi yang tiada dengan yang ada. Maka baginya, yang tiada menjadi ada.
Waktu terus berjalan. Bersama jalannya waktu, Dewi Sokawati seperti dipaksa untuk menunggu sesuatu. Karena selalu menunggu, ia serasa tidak bisa menikmati apa yang sedang terjadi sekarang. Maka dirambatinya waktu dengan perlahan. Waktu seakan hanya menjadi jalan bagi sebuah penantian. Penantian memberinya harapan. Namun pada saat yang sama, penantian juga membenamkannya dalam ketidakpastian. Dalam penantian yang menyakitkan inilah ia memberikan kasih sayangnya pada Sumantri. Ia sering tersenyum bila memandang Sumantri yang tampan. Namun senyumnya segera menghilang, bila ia teringat akan Sukrosono yang hilang. ”Anakku, semoga kau tahu, sesungguhnya kau kubesarkan dalam penantianku akan adikmu yang telah hilang. Janganlah kau sia-siakan susu penantianku. Kau menjadi hidup dan besar, karena susu yang seharusnya juga kuberikan juga pada Sukrosono, adikmu, Sumantri,” demikianlah sering ia berkata, saat ia menyusui Sumantri.
Tibalah suatu malam, purnama sedang amat bundar. Dewi Sokawati sering membawa Sumantri keluar. Ia menyusuinya sambil menatapkan dadanya ke bulan. Dulu ia membiarkan bulan menikmati tubuhnya, ketika ia mandi di pancuran buluh bambu yang bergemercik segar itu. Sekarang dibiarkannya bulan melihatnya sekali lagi, ketika anaknya sedang menikmati air susunya. Ia menatap bulan, dan teringatlah ia akan air kelapa yang mengguyur tubuhnya, ketika ia mandi di pancuran buluh bambu pertapaan Jatisrana, beberapa saat setelah ia menjalani upacara tujuh bulan kandungannya.
”Sumantri, ayahmu melarang aku mengambil buah kelapa yang lain itu. Aku bersikeras mengambilnya, dan membawanya ke pancuran buluh bambu itu. Aku mendekapkannya ke dadaku, dan perasaanku terbawa kembali ke saat, di mana aku bergulingan dalam perbuatan asmara bersama ayahmu. Kelapa yang dipertahankan ayahmu adalah kau, Sumantri. Sedangkan kelapa yang kubawa mandi adalah adikmu, Sukrosono. Aku baru tahu kemudian, mengapa aku menginginkannya dengan sepenuh hatiku, walau ayahmu keras-keras melarang. Kau dan adikmu adalah dua buah kelapa yang tak terpisahkan, Sumantri,” kata Dewi Sokawati menimang-nimang anaknya.
Sesaat, bulan terang memberi sunyi yang mencekam. Sayup-sayup terdengar suara burung cangkilung, keluar dari cengkerung malam. Burung cangkilung itu seakan berbicara, dan meminjamkan kata-kata yang tiba-tiba meluncur dari kedalaman hati Dewi Sokawati, ”Sumantri, anakku, kau tampan luar biasa. Kau mempunyai adik, berwajah raksasa, jelek tak terkira. Aku tak tahu, apakah kelak kau akan berjumpa dengannya. Namun, jika kau akhirnya bertemu dengan dia, sayangilah dia sebagai aku menyayangi dia, sama seperti aku menyayangi kamu. Aku yakin, kalian berdua adalah saudara yang tak mungkin terpisahkan. Sumantri, janganlah tinggalkan dan sia-siakan Sukrosono, adikmu. Janganlah kau malu mempunyai adik yang buruk rupa. Karena dia adalah bagian dari dirimu sendiri.”