Berisiko GERD, Hindari Kebiasaan Berbaring Setelah Makan
Kebiasaan tidur setelah makan sebaiknya dihindari karena bisa memicu terjadinya GERD. Berikan jarak waktu setidaknya tiga jam setelah makan untuk mencegah gangguan saluran cerna tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pekerja proyek properti tidur di trotoar jalan Casablanca, Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Seusai makan kenyang, kebanyakan orang cenderung mengantuk sehingga tidak jarang akhirnya tidur atau hanya sekadar berbaring. Kebiasaan tersebut sebaiknya tidak lagi dilakukan karena berbaring setelah makan dapat memicu terjadinya GERD.
GERD merupakan kondisi adanya aliran balik dari isi lambung ke kerongkongan. Kondisi ini biasanya menimbulkan gejala yang mengganggu hingga komplikasi. Biasanya pada orang yang mengalami GERD akan merasakan nyeri dada seperti terbakar atau heartburn.
”Pada prinsipnya GERD itu berhubungan dengan peningkatan kapasitas lambung dan penurunan kemampuan klep (katup) kerongkongan. Jika setelah makan langsung berbaring, makanan yang seharusnya turun dan diproses di lambung menjadi balik arah ke kerongkongan sehingga bisa memicu GERD,” ujar Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam di Jakarta, Kamis (28/4/2022).
Ia menuturkan, setelah makan sebaiknya seseorang menunggu sekitar tiga jam untuk berbaring. Waktu ini merupakan waktu ideal untuk pengosongan lambung. Hal ini juga bergantung pada jenis dan porsi makanan yang dikonsumsi.
Risiko GERD dapat meningkat pada orang dengan obesitas. Selain itu, faktor risiko lainnya adalah merokok, mengonsumsi alkohol, mengonsumsi kopi, dan stres. ”GERD bisa semakin buruk pada orang yang punya kebiasaan setelah makan dan mengonsumsi alkohol langsung berbaring atau tidur telentang,” kata Ari yang juga Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jika setelah makan langsung berbaring, makanan yang seharusnya turun dan diproses di lambung menjadi balik arah ke kerongkongan sehingga bisa memicu GERD.
Jurnal yang disusun Zhang dkk dalam Dove Medical Press Limited pada 2021 menyebutkan, GERD sangat terkait dengan faktor diet dan gaya hidup yang tidak teratur. Risiko GERD semakin besar pada seseorang yang memiliki kebiasaan mengudap atau makan di malam hari, melewatkan sarapan, makan makanan yang sangat panas, dan makan berlebihan. GERD juga dipicu dari kebiasaan tidur kurang dari tiga jam setelah makan malam, mengonsumsi daging setiap hari, dan mengonsumsi makanan yang tinggi lemak.
Dalam jurnal itu disebutkan pula bahwa risiko GERD lebih kecil pada orang dengan pola makan vegetarian, menjalani latihan fisik lebih dari 30 menit setidaknya tiga kali seminggu, dan pada orang dengan asupan antioksidan yang cukup. Oleh sebab itu, faktor makanan dan gaya hidup dinilai dapat memengaruhi timbulnya GERD.
Hubungan antara diet dan gaya hidup serta risiko GERD juga tergambar dari survei yang dilakukan secara daring pada aplikasi GERDQ. Dari survei pada aplikasi yang dikembangkan oleh FKUI-RS Cipto Mangunkusumo tersebut, ditemukan 57,6 persen dari 2.045 responden mengalami GERD. Kasus GERD banyak ditemukan pada responden laki-laki, orang dengan obesitas, dan perokok.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Aneka makanan, seperti ketupat, opor ayam, sayur labu, dan sambal goreng hati menjadi menu yang dihidangkan saat Lebaran di sebuah keluarga di Lengkong Gudang Timur, Serpong, Tangerang Selatan, Minggu (24/5/2020).
Ari menyampaikan, GERD perlu diatasi sejak dini untuk mencegah terjadinya komplikasi. Selain rasa panas pada dada, umumnya GERD menimbulkan gejala seperti mulut yang terasa pahit dan merasa seperti ada sesuatu yang berbalik arah ke kerongkongan.
Jika tidak segera ditangani, kondisi tersebut bisa menyebabkan iritasi dan peradangan pada dinding dalam kerongkongan. Komplikasi yang lebih buruk bisa terjadi seperti luka kronis pada kerongkongan, penyempitan pada kerongkongan bagian bawah, hingga kanker esofagus.
Mengantuk
Secara terpisah, Staf Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Em Yunir menuturkan, rasa kantuk yang muncul setelah makan, terutama makan kenyang, sebenarnya normal. Sebelum makan, energi seseorang biasanya sudah habis.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para pekerja pembangunan proyek MRT memanfaatkan keteduhan pohon di Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, untuk melepas lelah, Kamis (15/3/2018).
Sementara saat sedang makan, makanan harus dicerna di lambung. Distribusi aliran darah pun akan lebih banyak menuju ke tubuh bagian bawah dan porsi aliran ke otak menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan aliran oksigen pun berkurang ke otak. ”Itu sebabnya kita menjadi mudah mengantuk setelah makan kenyang,” katanya.