Marti & Sandra (Bagian 3)
Di depan lemari es tidak ada lagi kaki Marti. Hanya sepatu lelaki yang menyeret celana melorot dan segaris cahaya dari pintu yang lenyap setelah pintu tertutup.
4 Menyeret Celana Melorot
Kelas begitu sunyi. Hanya suara sepatu Ibu Guru Tati melangkah sepanjang gang di antara bangku. Sandra memandangi kertasnya yang masih kosong. Ia menoleh ke sana kemari. Semua murid lain kertasnya semakin terisi.
Tidakkah pelajaran mengarang ini cukup mudah jika setiap anak tinggal menuliskan ingatan yang terdapat dalam kepalanya? Setiap anak memang tinggal mengingatnya.
”Ayo sini! Foto dulu!”
Seorang murid mengingat dirinya berlari dan bergabung dengan keluarganya.
”Ayo! Sudah lengkap sekarang. Satuuu ….”
Pastilah ini aba-aba Bapak yang memegang kamera.
Jegerèk!
Setiap anak punya kenangan, bahkan kenangan itu tercetak.
Mata Sandra berkedip-kedip memandang kertasnya yang masih kosong. Tangannya yang memegang pena tampak diam di atas kertas putih.
”Kertasmu masih kosong, Sandra?”
Sandra mendongak. Wajahnya lucu. Namun, menerbitkan iba.
Ibu Guru Tati menengok jam dinding.
”Ini sudah dua puluh menit.”
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 2)
Langkah Ibu Guru Tati seperti terdengar lebih keras. Namun, Sandra seperti tidak terpengaruh sama sekali. Suara sepatu lainlah yang didengarnya. Saat ia tidur di lantai, wajahnya terkena cahaya televisi yang acaranya sudah habis. Suara langkah yang sangat dikenalnya. Disusul bunyi pintu terbuka dan tertutup.
Suara langkah sepatu mendekat.
”Ah, Sandra, selalu tertidur di depan tivi.”
Bunyi tak jelas dari pesawat televisi hilang, dan cahayanya yang menimpa wajah Sandra pun hilang. Kini wajahnya hanya terkena segaris cahaya, seperti cahaya dari celah pintu.
Sepatu tinggi Marti yang kakinya ber-stocking hitam melangkah ke lemari es. Terdengar suara lemari es dibuka, lantas cahaya dari lemari es menerangi kaki Marti.
Namun, ada suara sepatu lain juga.
”Ada bir, mau?”
”Maunya sih kamu.”
Suara lelaki menjawabnya, sambil memeluk Marti dari belakang. Marti seperti mau melepas tangan itu, tapi tidak jadi.
”Kenapa aku?”
”Kamu cantik.”
Lemari es tertutup. Marti melepas sepatunya dengan kaki. Cahaya tinggal datang dari celah pintu.
”Ah, aku sudah tua.”
”Biarin tua.”
Kaki Marti berbalik, dan kini kaki yang satu terangkat. Marti tertindih di lemari es.
”Jadi aku memang tua?”
”Enggak ….”
Marti melepas stocking dengan sebelah tangan. Mula-mula yang kanan, lantas yang kiri.
Kaki Marti terangkat lagi, kali ini karena Marti melepas stocking dengan sebelah tangan. Mula-mula yang kanan, lantas yang kiri. Sembari susah payah meladeni laki-laki yang merangseknya di lemari es.
”Aduh, kamu sudah mabuk ….”
”Enggak, aku tidak mabuk .…”
”Bau mulut seperti itu, kok, tidak mabuk ….”
Stocking itu sudah tergeletak di lantai. Juga rok mini, dan seterusnya.
”Jangan di sini.”
”Di sini saja.”
”Jangan, ada Sandra ….”
Terdengar gumam kejengkelan.
”Ayolah …,” kata Marti.
Di depan lemari es tidak ada lagi kaki Marti. Hanya sepatu lelaki yang menyeret celana melorot dan segaris cahaya dari pintu yang lenyap setelah pintu tertutup, masih ada sisa cahaya dari celah di bawah pintu di lantai.
”Lampunya matiin ….”
Cahaya dari bawah pintu itu pun lenyap. Tinggal kegelapan. Meski terdengar suara-suara dari kamar itu.
Sandra membalikkan badan, tetap tertidur dalam kegelapan, yang merajai alam sampai ayam berkokok, dan tukang sayur melewati rumahnya.
Dengan mata masih terpicing, Sandra membuka jendela. Didengarnya burung-burung berkicau di pohon rambutan. Lantas menuju kamar ibunya, membuka pintu, tapi segera menutupnya lagi. Saat berbalik, ia tertegun sebentar melihat baju-baju dalam berserakan.