Perlu Uji Forensik Digital untuk Ungkap Pelaku Peretasan Aktivis
Aktivis pengkritik pemerintah yang mengalami serangan siber diimbau bersatu untuk melakukan proses investigasi saintifik. Investigasi dengan uji forensik digital bisa oleh aparat penegak hukum atau pihak profesional.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
Kompas
ilustrasi peretasan
JAKARTA, KOMPAS — Serangan siber berulang yang mendera sejumlah aktivis pengkritik kebijakan pemerintah perlu dibuktikan dengan uji forensik digital. Metode itu mampu menunjukkan waktu dan teknik peretasan yang digunakan sehingga peristiwa yang terjadi bisa terungkap secara jelas.
Praktisi forensik digital, Ruby Alamsyah, dihubungi dari Jakarta, Selasa (29/6/2021), mendorong agar para aktivis menggunakan metode investigasi saintifik untuk membuktikan serangan siber yang telah terjadi pada mereka. Investigasi yang dimaksud dilakukan dengan uji forensik digital terhadap ponsel untuk mengungkap teknik peretasan dan melacak siapa peretasnya. Saat ini, uji forensik digital bisa dilakukan oleh penegak hukum atau pihak profesional.
Ia melanjutkan, pengungkapan dengan metodologi ilmiah penting agar peretasan itu tidak sekadar menjadi asumsi. Hasil pengujian nantinya juga menjadi bahan untuk dipaparkan ke publik untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
Berdasarkan modus yang digunakan peretas, menurut Ruby, penyerangan terhadap akun media sosial para aktivis merupakan cara yang umum dilakukan, baik oleh kelompok kejahatan siber yang bermotif ekonomi maupun yang lain. Teknik itu juga bisa dilakukan oleh siapa saja, mulai dari peretas dengan keahlian rendah hingga tinggi.
Kelompok kejahatan siber yang ada saat ini menyerang masyarakat setiap hari secara acak. Mereka menyasar siapa pun yang sudah masuk dalam basis data dengan modus yang sama dengan penyerangan yang dialami para aktivis.
”Para korban semestinya bersatu untuk melakukan proses investigasi saintifik sehingga bisa dipaparkan ke publik bahwa telah terjadi peretasan dengan teknik ini, dilakukan oleh siapa yang didasarkan pada data ilmiah,” ujarnya.
Serangan siber pada aktivis pengkritik pemerintah terakhir terjadi pada Minggu-Senin (27-28/6/2021). Akun media sosial milik lima anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) diduga diretas pihak asing. Akun yang dimaksud terdiri dari 3 akun Whatsapp, 1 akun Telegram, dan 1 akun Instagram.
Rentetan serangan terjadi setelah BEM UI mengunggah gambar Presiden Joko Widodo disertai kritik terhadap rekam jejak pernyataan yang berlawanan dengan kebijakannya di Instagram pada Sabtu (26/6/2021). Unggahan tersebut diberi judul ”Jokowi: The King of Lip Service”.
DOKUMENTASI BEM UNIVERSITAS INDONESIA
Surat pemanggilan pegiat BEM UI oleh rektorat untuk menjelaskan unggahan di media sosial. Unggahan yang dimaksud menggunakan foto Presiden Joko Widodo disertai kritik terhadap konsistensi pernyataan dan kebijakannya.
Menyusul unggahan tersebut, rektorat UI memanggil tujuh anggota BEM dan tiga anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) pada Minggu (27/6/2021). Rektorat yang salah satunya diwakili Direktur Kemahasiswaan UI Tito Latif Indra meminta keterangan dan penjelasan mahasiswa tentang narasi yang disampaikan dalam unggahan tersebut.
Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra mengatakan telah melaporkan dan meminta pendampingan untuk kasus peretasan ini kepada Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet). Namun, belum ada rencana untuk melaporkannya ke aparat penegak hukum. ”Belum ada pembahasan ke sana (melapor ke kepolisian),” kata dia.
Dalam sebulan terakhir, setidaknya ada dua kasus penyerangan siber pada aktivis. Pada pertengahan Mei lalu, akun media sosial pegiat Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan Lokataru juga diteror ketika sedang menggelar konferensi pers yang mengkritisi tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai salah satu syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN). Serangan serupa juga mendera beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Namun, tidak satu pun dari mereka melaporkan dugaan tersebut ke penegak hukum. Sebelumnya, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, tidak ada jaminan transparansi dalam pengusutan oleh kepolisian. Pelaporan dikhawatirkan menjadi bumerang bagi mereka.
Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto mengatakan selalu menyarankan para korban peretasan yang didampingi untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
Pelaporan ke penegak hukum diakui merupakan jalan terbaik karena peretasan adalah pelanggaran hukum yang serius. Pelakunya harus diungkap agar penegakan hukum bisa dilaksanakan.
Namun, kata dia, tidak bisa dimungkiri kasus-kasus yang selama ini dilaporkan ke kepolisian masih menggantung. Safenet setidaknya pernah mendampingi Ravio Patra, pegiat Aliansi Jurnalis Independen Lampung Hendrik, dan pegiat Serikat Jurnalis untuk Keberagaman Thowik untuk melaporkan serangan siber yang mendera mereka. Hingga saat ini, tidak pernah ada kabar perkembangan kasus tersebut, apalagi penangkapan pelaku yang diungkap penegak hukum.