Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 32)
Dan jangan kau lupa, sepanjang pengembaraanmu, kau berikan kebaikan dan pertolonganmu kepada siapa yang membutuhkan. Demikian pesan Dewi Sokawati kepada Sukrosono.

”Ibu, janganlah kau bersedih, karena kau melahirkan aku dari kepahitanmu. Tidakkah engkau juga melahirkan Sumantri, kakakku, dari kemanisanmu?”
”Tidak anakku, aku bahagia melahirkanmu, sebahagia seperti aku melahirkan Sumantri, kakakmu.”
”Ibu, itulah yang membahagiakan aku. Ternyata aku mempunyai saudara sedarah. Ternyata aku tidak sendiri, seperti selalu aku kira selama ini.”
”Benar, Sukrosono, kau tidak pernah boleh berpisah dengan Sumantri, kakakmu. Kau dan kakakmu tak terpisah, seperti kulit pisang dan buahnya. Maka, kau harus mencari dan menemuinya. Seperti ayahmu, kakakmu pasti mengira engkau sudah tiada. Temuilah mereka, anakku.”
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 29)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 30)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 31)
”Setelah aku mendengar ceritamu, Ibu, tak dapat lagi aku menahan keinginanku untuk menemui ayahku dan kakakku. Aku yakin, mereka pun merindukan aku.”
”Iya, Nak, tapi janganlah terburu-buru kau menemui kakakmu. Perjalananmu untuk bertemu kakakmu itu masih jauh. Kau masih harus mengembara agar kau belajar dari dunia yang kau lalui dan jumpai. Dan jangan kau lupa, sepanjang pengembaraanmu, kau berikan kebaikan dan pertolonganmu kepada siapa yang membutuhkan. Kau pasti akan mengakhiri pengembaraanmu, dan pada saat itu kau akan bertemu dengan Sumantri, kakakmu. Dan inilah pesanku, setelah kau bertemu dengan kakakmu, kau harus menyempatkan dirimu ke Gunung Taranggana Sekar, tempat di mana berada pisang emas yang kemudian kukunyah menjelang kelahiran kamu berdua.”
”Mengapa aku harus ke gunung itu, Ibu?” tanya Sukrosono.
”Sebab, di sanalah kau akan menemukan sesuatu yang kau perlukan untuk membantu hidup Sumantri, kakakmu,” jawab Dewi Sokawati.

Setelah berpesan demikian, terjadilah peristiwa yang tak terbayangkan di hadapan Sukrosono. Tiba-tiba ada segumpal awan turun dari langit. Warnanya keputih-putihan. Awan itu menyusup melewati pohon-pohon hutan. Cahaya bulan memantulkan warna pelbagai dedaunan pada awan itu. Bambu-bambu berderit. Dan awan itu menjadi selimut, yang menggulung badan Dewi Sokawati, lalu perlahan-lahan mengangkatnya ke atas. Sukrosono beranjak untuk menarik ibunya ke bawah, namun sia-sia usahanya.
”Ibu, janganlah pergi. Mengapa kau tega meninggalkan aku lagi?” jerit Sukrosono.
”Nak, lupakah kau akan ceritaku. Sesungguhnya aku sudah mati. Dan tempatku adalah di alam penantian. Aku diperbolehkan sejenak menemuimu, karena ratapan kerinduan dan kesendirianmu. Keabadian tak tega mendengar ratapanmu, dan menurunkan aku sejenak, untuk bertemu denganmu, dan bercerita tentang kisah hidupmu. Sekarang, aku harus kembali, Nak. Aku berterima kasih bahwa keabadian memperkenanku untuk sejenak menemuimu. Waktu yang diberikannya telah habis, dan aku mesti meninggalkanmu lagi, anakku,” kata Dewi Sokawati, sementara badannya terus membubung tinggi.
”Ibu….,” hanya jeritan itu yang terdengar dari mulut Sukrosono. Ia terus menatap ke atas, melihat selimut awan itu membawa ibunya naik ke tempat tinggi. Dan sayup-sayup ia mendengar kata-kata ibunya untuk terakhir kali, ”Nak, kutunggu kau di tempat aku menanti untuk boleh masuk ke tempat yang abadi.”
Sukrosono terduduk lemas. Semua yang terjadi berlalu seperti mimpi. Namun, semuanya terlalu nyata untuk tidak dipercaya. Apa yang dulunya gelap, sekarang menjadi terang benderang. Bila demikian, mana mungkin semuanya yang terjadi hanyalah mimpi? Baginya, seakan tiada lagi malam, yang ada hanyalah bulan. Telah menjadi jelas, siapa dirinya. Hanya sedihnya, mengapa sendiri dan sepi menariknya lagi dari segala kejadian yang demikian indah, di mana ia boleh berjumpa dengan ibunya, yang membukanya segala kisah tentang siapa dia. Terangnya bulan serasa gelapnya malam. Dia memperoleh dirinya, namun perolehan ini membuat dia kehilangan ibunya. Hanya sejenak saja ia boleh menikmati cinta ibunya. Dan sekarang ia harus terempas dalam kesendiriannya lagi. Cinta yang hanya sejenak saja hinggap pada kesendiriannya membuat kesendiriannya menjadi lebih perih. Bulan melengkung tajam. Sudah paro petang, cahayanya hanyalah remang-remang malam.
Binatang-binatang hutan tahu akan kesedihan Sukrosono. Mereka mencoba menghiburnya dengan segala cara. Kera-kera berceloteh, naik turun di pepohonan. Celotehnya adalah nyanyian tentang sulur jangga yang merambat naik, menunjukkan ke mana cinta harus berjalan. Burung merak mengepakkan sayapnya, menjadi payung berceplok-ceplok warna-warni. Burung kalangkyang berkicau tentang indahnya bulan, padahal biasanya ia hanya menyanyikan rindu sedihnya mengharapkan hujan. Gajah, badak, dan babi hutan menari-nari, segala geraknya adalah sukacita yang ingin menghibur temannya yang sedang berduka.
Haruskah kesedihan dan kesepiannya menghapus semua kehidupan, penghiburan, dan sukacita yang mereka berikan dengan setulus dan seikhlas-ikhlasnya?
Sukrosono tahu, betapa teman-temannya berusaha menghibur dia dengan segenap hati dan tenaga. Binatang, tumbuhan, dan segenap warga hutan adalah teman-temannya yang selalu dekat dengannya. Selama ini, mereka semua membuat Sukrosono tak pernah mengenal sepi. Maka, kali ini mereka pasti akan sedih dan kecewa jika Sukrosono menjadi sedih dan sepi karena ditinggal ibunya. Sukrosono segera sadar akan perasaan mereka. Haruskah kesedihan dan kesepiannya menghapus semua kehidupan, penghiburan, dan sukacita yang mereka berikan dengan setulus dan seikhlas-ikhlasnya? Mereka bukannya tidak tahu bahwa Sukrosono adalah anak yang terbuang di tepi hutan Jatisrana. Mereka tahu akan kesedihan itu, karena itu mereka memberikan segalanya untuk menghilangkan kesedihan itu, sampai Sukrosono, sebelum berjumpa dengan ibunya, sama sekali tidak mengetahui tentang kepedihan nasibnya. Akankah semua ini menjadi sia-sia?
Sukrosono tersadar akan hal itu. Ia pun membiarkan diri dihibur dan diresapi kegembiraan dan penghiburan mereka. Semangatnya bangkit, dan ia pun bersuka-suka lagi dengan hidupnya. Harapannya merekah, bersama datangnya fajar yang indah. Angin pagi berembus perlahan, melambai-lambaikan dedaunan hutan. Titik-titik embun turun, hinggap di rumpun-rumpun bunga jangga, dan bau wangi pun menebar di kala matahari memberikan senyumnya yang pertama.