Muhammadiyah Minta Presiden Terapkan Kembali PSBB untuk Pulau Jawa
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti pada masa awal pandemi diminta untuk diterapkan selama tiga pekan, khusus Pulau Jawa, mengingat kasus Covid-19 terbesar disumbang dari Pulau Jawa.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Muhammadiyah meminta Presiden Joko Widodo agar menerapkan kembali kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB seperti di masa awal pandemi Covid-19. PSBB setidaknya perlu diterapkan di seluruh Pulau Jawa selama tiga pekan disertai penegakan hukum yang tegas.
Permintaan tersebut disampaikan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui surat resmi kepada Presiden Joko Widodo. Surat disampaikan dua kali pada Selasa dan Rabu, 29 dan 30 Juni 2021.
Ketua MCCC PP Muhammadiyah Agus Samsudin, di Jakarta, Rabu (30/6/2021), mengatakan, pandemi Covid-19 di Pulau Jawa sangat mengkhawatirkan. Penambahan kasus harian terbesar selalu disumbang oleh lima provinsi di Pulau Jawa. Akibatnya, terjadi peningkatan kasus secara tajam dan berisiko membuat fasilitas kesehatan kolaps karena tidak mampu menampung pasien. Tingkat keterisian tempat tidur pun sudah mencapai lebih dari 90 persen, sedangkan fasilitas isolasi mandiri sangat terbatas.
”Keterbatasan fasilitas isolasi mandiri ini menyebabkan banyaknya angka kunjungan ke rumah sakit dan menyebabkan rumah sakit tidak mampu menampung serta merawat pasien secara optimal. Banyak pasien harus menunggu di instalasi gawat darurat, bahkan banyak yang tidak bisa mendapat perawatan di rumah sakit karena rumah sakit sudah tidak bisa lagi menerima pasien Covid,” ucapnya.
Oleh sebab itu, lanjut Agus, Muhammadiyah memberikan tiga rekomendasi penanganan Covid-19 kepada Presiden Joko Widodo. Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu menerapkan kembali kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seperti pada awal pandemi. Kebijakan ini setidaknya perlu diterapkan di semua provinsi di Pulau Jawa selama minimal tiga pekan.
Dalam pelaksanaan PSBB harus disertai dengan penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Aparat penegak hukum harus memberikan tindakan tegas kepada penyebar informasi yang menyesatkan dan kabar bohong atau hoaks. ”Pemerintah harus memberikan jaminan sosial bagi warga terdampak secara ekonomi selama PSBB tersebut diberlakukan,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Agus, pemerintah harus menjamin ketersediaan fasillitas layanan kesehatan untuk pasien Covid-19 dengan memastikan ketersediaan ruang perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas isolasi pasien tanpa gejala di luar fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Rumah sakit darurat juga mendesak dibangun karena banyak rumah sakit yang sudah tidak mampu lagi menerima pasien karena kapasitasnya sudah penuh.
”Disertai dengan jaminan ketersediaan perangkat medis, alat pelindung diri, pasokan oksigen medis, dan obat-obatan yang diperlukan untuk pasien Covid-19,” tutur Agus.
Sementara rekomendasi ketiga, pemerintah bersama tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan, dan media massa harus bersatu dalam menggerakkan solidaritas sosial bagi warga terdampak ekonomi kebijakan pembatasan mobilitas.
Tokoh-tokoh masyarakat harus bergotong royong menggerakkan ketaatan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan. Mereka harus menggerakkan kesadaran masyarakat untuk mengikuti vaksinasi dan meredam beredarnya informasi menyesatkan di kalangan masyarakat.
Dosen dan peneliti di Departemen Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Yordan Khaedir, menambahkan, kebijakan PSBB saat ini merupakan yang paling tepat, bahkan harus diperketat agar bisa membendung penularan yang masif. Pembatasan terutama harus dilakukan dalam kegiatan berkumpul di satu ruangan dan pembatasan mobilitas di luar rumah.
”Semua varian kemungkinan sudah masuk ke Indonesia, termasuk varian Delta yang penularannya cepat, jadi sudah masuk fase penularan dari transmisi lokal,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Junimart Girsang mengingatkan, insentif untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 harus segera disalurkan. Apalagi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga telah meminta pemerintah daerah untuk mempercepat realisasi penyalurannya.
Menurut dia, pemerintah pusat perlu mengawasi penyaluran insentif ini dengan membangun komunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan audit ke daerah-daerah. Hal ini penting agar tidak ada tenaga kesehatan yang dirugikan setelah berjuang menolong masyarakat yang terpapar Covid-19.
”Jangan hanya masalah presensi yang menjadi tanggung jawab rumah sakit, para tenaga kesehatan juga harus mengembalikan hak insentif yang didapat,” kata Junimart.
Selain itu, ia meminta pemerintah pusat ikut mengawasi penggunaan bantuan dana Covid-19 ke daerah-daerah. Sebab, kepala daerah sangat rentan menyalahgunakan anggaran ini dan berujung pada praktik-praktik korupsi.