Di ujung kegelapan ini tampak bulan sedang turun dengan serendah-rendahnya, menghamparkan remang-remang terangnya. Betapa bahagia raksasa bajang ketika ia kembali melihat sinar bulan setelah sekian lama terbenam tanpa jalan keluar dalam kegelapan. Dengan helai-helai sinar bulan, ia mengamati sekelilingnya. Ia mendapati dirinya sedang berdiri di tengah hamparan kembang campaka yang membentang jadi pelataran bulan purnama. Bulan tiba-tiba menjadi penuh, cahayanya memecah kesunyian, dan gugurlah daun-daun malam yang bergemeresik, membangunkan kesepian raksasa bajang.
Tiba-tiba seberkas cahaya turun dari langit. Ketika menyentuh bumi, berubahlah cahaya itu menjadi sosok yang berjalan menuju raksasa bajang. Tak pernah raksasa bajang mengenal makhluk lain selain dirinya sendiri. Maka terheran-heranlah ia mengamati sesosok makhluk yang sedang menghampirinya.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Sesosok makhluk itu ternyata seorang perempuan. Seperti tiada sabar lagi, ia segera mendekap raksasa bajang. Dipeluknya raksasa bajang seerat-eratnya. Air matanya turun bercucuran. Diterpa cahaya bulan, tetesan air mata itu seperti permata-permata yang memancarkan kesedihan di tengah keremangan malam. Makin erat ia memeluk raksasa bajang dan bintang-bintang pun ikut memudar terlarut dalam keharuan.
Raksasa bajang tak memberontak. Ia justru membiarkan dirinya pasrah dalam dekapan itu. Ia merasakan kehangatan yang luar biasa. Betapa ia sering merindukan dekapan seperti ini, tapi tak pernah ia merasakannya. Baru sekarang kerinduannya itu terpuaskan. Waktu itu belum musim hujan, tapi di telinga raksasa bajang, burung cataka terdengar berkicau riang, bernyanyi tentang hujan yang mendadak turun bagaikan kekasih yang tiba-tiba datang. Tiada titik-titik hujan malam itu. Yang ada hanyalah air mata yang menetesi pipi raksasa bajang. Dan bagi raksasa bajang, air mata itu bagaikan titik-titik terang yang memuaskan kerinduannya.
Seperti bulan yang menyelinap dalam awan kelam dan mengoyak kelamnya menjadi terang, demikian kesepiannya yang mencekam serasa terenggut seketika ketika ia melesapkan kepalanya di dada perempuan itu. Raksasa bajang merasa amat bahagia. Kebahagiaan macam itu pernah sungguh ada, hanya tak pernah ia bisa memilikinya. Kendati tak pernah memilikinya, ia bisa merasakan kehilangannya.
Sekarang ia telah menemukan kembali apa yang hilang darinya, walau ia tak pernah memilikinya. Ia tak ingin kehilangan lagi. Maka diulurkanlah tangannya, dan dipeluklah perempuan itu sekencang-kencangnya. Merasakan pelukan yang demikian mesra, makin deraslah perempuan itu mencucurkan air matanya. Ia tak dapat berkata-kata, kecuali menciumi pipi raksasa bajang itu dengan tak kalah mesranya.
Raksasa bajang ingin menumpahkan perasaannya tapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa bicara. Bahasa pun tak ada padanya. Kalau ia mempunyainya, bahasa itu adalah bahasa hewan-hewan, bahasa pohon-pohon, bahasa bunga-bunga. Raksasa bajang ingin menyapa makhluk itu seperti ketika ia menyapa gajah, harimau, badak, atau kera, atau seperti ia menyapa bunga angsana, campaka, atau asoka, atau seperti menyapa pohon gadung, beringin, atau kanaka. Tapi ia tak punya kata-kata. Ia hanya punya perasaan untuk makin menyerah ke dalam dekapan perempuan itu.
Berada dalam dekapan perempuan itu, raksasa bajang merasakan kehangatan yang sering ia rindukan, di kala ia melihat anak-anak binatang menyusu pada induknya. Ia sering membayangkan, betapa nikmat rasanya bila ia bisa menyusu seperti mereka. Tapi pada siapakah ia boleh merasakan nikmatnya menyusu seperti mereka? Malam ini, ketika ia boleh mendekap di dada perempuan itu, betapa ia ingin memuaskan kerinduannya untuk menyusu seperti mereka itu. Ia merasa saat inilah kerinduan itu harus dipuaskan.
“Apakah aku boleh menyusu padamu?” tanya raksasa bajang tanpa malu-malu. Ia ragu, apakah perempuan itu mengerti apa yang dikatakannya. Ternyata perempuan itu bisa menangkap hasratnya dan mengerti apa yang diinginkannya. Ia segera membuka kain yang menutup dadanya dan tampaklah buah dadanya bagaikan sepasang kelapa gading yang indah. Bulan yang ikut melihatnya menerpakan cahaya, dan buah dada itu pun memancar dengan temaram purnama.
Tanpa tahu apa arti kata seorang ibu, raksasa bajang segera merasakan dan mengalami sendiri bagaimana rasanya mempunyai seorang ibu.
“Menyusulah, anakku, maka kau akan tahu, aku adalah ibumu,” kata perempuan itu. Raksasa bajang segera membenamkan mulutnya ke dalam buah dada itu dan menyusulah ia sepuas-puasnya. Tanpa tahu apa arti kata seorang ibu, raksasa bajang segera merasakan dan mengalami sendiri bagaimana rasanya mempunyai seorang ibu. Makin ia tenggelam dalam susu itu, makin ia merasa, susu itu pernah dirasakannya. Ia tidak ingat, kapan itu terjadi. Selama ini ia selalu sendiri, mana mungkin ada makhluk yang bisa memberinya susu sehangat ini. Tapi ia yakin, ia sungguh pernah tenggelam dalam susu itu. Susu itu memberinya ingatan akan kehangatan yang pernah ia peroleh. Dan sekarang kehangatan itu kembali diperolehnya lagi. Ia tidak ingin kehilangan lagi, maka ia pun menyusu seperti bayi yang tak mau terlepas dari buah dada perempuan itu.
Rembulan makin bundar. Cahayanya seakan ingin berkasih-kasihan dengan malam. Bagaikan bulan yang ingin berlama-lama bersama malam, demikian pula raksasa bajang ingin berlama-lama tenggelam dalam kehangatan dada perempuan itu. Namun fajar keburu datang dan raksasa bajang pun terjaga.
Baca juga: Sindhunata, Sang Carik Anak Bajang