Manda termasuk desa yang miskin di Papua Niugini. Namun, posisi Manda yang lebih dekat dengan Indonesia membuat warga desa itu bangga dan merasa lebih ”beradab” daripada orang Papua Niugini lainnya.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Kedatangan saya di Desa Manda, Papua Niugini. disambut kewaspadaan tinggi para penghuninya. Letak desa itu yang dekat dengan perbatasan Indonesia dan keberadaan kamp-kamp OPM di sepanjang Sungai Fly membuat penduduk Manda mencurigai kedatangan saya.
Saya seorang diri di desa ini, di hadapan para lelaki desa yang tak mau menjawab pertanyaan saya. Mereka terus memandangi saya dengan tatapan memicing tak bersahabat dan terus berkasak-kusuk dalam bahasa mereka sendiri.
Tiba-tiba saya teringat pada surat yang teronggok di ransel saya. Surat itu dikeluarkan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Port Moresby, yang menyatakan bahwa saya adalah ”fotografer Indonesia yang ingin mengabadikan keindahan alam dan budaya Papua Niugini”.
Kepada para lelaki Manda itu, saya menunjukkan surat itu, lengkap dengan paspor saya. Mereka mengamati dokumen saya lekat-lekat. Ketegangan seketika mereda. Senyum mulai tersungging di wajah mereka.
”Tadi kami kira kau mata-mata. Apalagi kau tanya soal OPM. Kami mesti hati-hati,” kata seorang dari mereka.
Kini sudah tidak ada lagi saling curiga. Mereka pun mengajak saya jalan-jalan berkeliling kampung.
Desa Manda tak besar, hanya ada dua puluhan rumah panggung yang tersebar cukup berjauhan satu sama lain. Semua rumahnya terbuat dari gedek dan berukuran cukup besar. Rumah terbesar dihuni dua keluarga beranggotakan 23 orang, dibangun selama delapan tahun dan butuh 250 tiang penyangga. Pemiliknya, Benny Gradus, bisa dikatakan sebagai keluarga terkaya di Manda, dan rumahnya bagaikan istana di desa miskin ini. Dia adalah pemburu buaya dan punya satu genset plus satu galon bensin.
Pakaian mereka hampir semuanya berasal dari Indonesia, umumnya bergambar lambang partai politik, foto calon kepala daerah, atau iklan produk. Semua adalah kaus yang biasanya dibagikan gratis di Indonesia. Semua pakaian itu dalam kondisi kumal dan penuh lubang.
Walaupun desa mereka teramat miskin, penduduk Manda justru bangga bahwa mereka lebih ”beradab” daripada orang PNG lainnya. Itu karena posisi mereka yang lebih dekat dengan Indonesia.
Di Manda, banyak laki-laki bisa bicara bahasa Indonesia dengan cukup baik walaupun kosakatanya terbatas. Ketika mereka bicara dalam bahasa mereka, Buazi, juga sering terdengar kata-kata bahasa Indonesia, seperti: parang, pisau, belanja, piring, sendok, dan kapak. Mereka tidak menyebut bahasa itu sebagai ”bahasa Indonesia”, melainkan ”Bahasa” atau ”Malay”.
”Bagaimana kalian bisa bicara Bahasa?” tanya saya.
”Karena kami orang perbatasan,” kata pemuda bernama Johny Atabakai.
Johny pertama kali ke Indonesia tahun 1993. Sebelum itu, dia terlalu takut, bahkan untuk membayangkan tentara Indonesia. ”Banyak pengungsi kasih tahu kami, tentara Indonesia sangat kejam,” katanya. Yang dimaksudnya dengan pengungsi adalah orang-orang yang datang dari Papua di sisi Indonesia, dan kebanyakan pendukung gerakan OPM. ”Tapi, setelah saya lihat sendiri Indonesia, ternyata tentara baik-baik,” ujar Johny.
Belakangan ini, hampir tiap bulan Johny pergi ke Indonesia. Di Indonesia, dia mengaku banyak berteman dengan ”orang putih”, yaitu orang Jawa dan Tionghoa yang tinggal di Papua. Dari mereka, ia belajar gaya hidup orang Indonesia, yang baginya simbol kemodernan.
Contoh paling nyata adalah soal makanan. Keluarganya kini sudah bisa menggoreng mujair, dengan membuang sisiknya terlebih dulu, sementara kebanyakan orang PNG di daerah ini hanya tahu merebus dan membakar tanpa bumbu, tanpa membuang sisik. Johny juga sudah bisa makan cabai dan membuat sambal.
”Waktu kecil kitorang makan tak ada rasa. Sekarang sudah tahu enaknya makanan Indonesia, jadi saya tak mau lagi makan kalau tak ada rasa,” katanya.
Johny menjamu saya makan malam dengan ikan gurami goreng, yang memang sudah persis cara memasak orang Jawa. Di PNG, makanan itu sudah cukup menggetarkan keharuan saya, membuat saya merindukan Indonesia dan kelezatan makanan kampung halaman.
Saat kami bersantap, datang seorang kerabat Johnny yang berbicara bahasa Indonesia selancar orang Indonesia. Perempuan itu bernama Sule. Dia mengaku pernah tinggal dan kerja di Merauke selama dua tahun.
Mengatahui saya dari Jawa, raut muka Sule langsung semringah. ”Di Indonesia, saya cuma mau tinggal dengan orang Jawa. Orang Jawa sering bagi ilmu, bikin saya pintar,” ucapnya
Selama di Papua, Indonesia, Sule tinggal di kamp transmigrasi. Di situ katanya hanya ada orang Jawa, sama sekali tidak ada orang Papua.
”Siapa orang Jawa yang paling kamu suka?” saya bertanya.
Sule tidak perlu waktu berpikir. Dia menjerit. ”Jokowi!”