Di Balik Senyum Bocah ”Joyful” di TPA Bantar Gebang
Senyum bahagia bocah pemulung di tengah kehidupan keras di TPA Bantar Gebang menyentuh hati fotografer ”Kompas”, Eddy Hasby. Foto itu belakangan memenangi lomba foto UNESCO. Hadiahnya, kamera dan kunjungan ke Tokyo.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211024ED12_1635072689.jpg)
Foto lima anak di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, yang diberi judul ”Joyful”.
Pengujung Maret 1995. Kabut asap pembakaran gunung sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, terlihat mengambang. Saat itu sinar matahari sudah mulai condong ke barat.
Di atas gunung sampah, para pemulung, baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda, berebut sampah segar yang dituangkan oleh truk-truk sampah yang baru saja berdatangan dari Jakarta. Dengan cekatan, mereka berebut sampah di antara deru suara mesin buldoser yang tengah meratakan gundukan sampah.
Plastik dan potongan sampah mereka pulung dan pindahkan ke dalam keranjang di punggung. Sampah-sampah itu akan dijual dan menghasilkan uang.
Tanpa terasa, sepatu di kaki mulai terasa basah karena menginjak sampah yang mulai membusuk dan membuat saya hampir tak kuasa menahan muntah.
Pemandangan semacam ini bukan hal baru bagi masyarakat di sekitar TPA Bantar Gerbang. Tetapi tidak bagi saya. Di mata saya, pemandangan yang saya saksikan begitu menyentuh hati, dramatis, dan kolosal tentang jalan nasib kehidupan manusia.
Setelah menutup hidung dengan sapu tangan yang terikat ke belakang kepala, saya mencoba berbaur dengan para pemulung. Bau khas sampah menyengat hidung. Ratusan lalat bergelintar dan berkerubung.
Tanpa terasa, sepatu di kaki mulai terasa basah karena menginjak sampah yang mulai membusuk. Membuat saya hampir tak kuasa menahan muntah. Maklum, kali ini saya mengunjungi lokasi terbesar pembuangan sampah ini.
Baca juga: Ketika Harus Mengabadikan ”Ajeb-ajeb” di Tengah Lumpur
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211024ED15_1635073051.jpg)
Pemulung di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Setelah beberapa kali jepretan foto merekam para pemulung yang tengah bekerja, saya menuruni gunungan sampah. Lalu berjalan kaki menuju kampung pemulung di dekat TPA, yakni di Ciketing Udik, tak jauh dari kawasan pembuangan sampah.
Di kampung kecil ini, bilik-bilik rumah dibangun seadanya, dari sisa kayu ataupun kardus bekas dengan atap dari seng atau terpal bekas, serta berlantai tanah.
Sebagian rumah-rumah di sana dimanfaatkan pengepul sebagai tempat mengolah remah sampah, selain sebagai tempat tinggal sementara para pemulung. Maklum, sebagian besar merupakan kaum urban. Kebanyakan adalah buruh tani dari Jawa Barat yang datang secara musiman.
Sambil berjalan, saya menyaksikan ibu-ibu pemulung tengah menimang anak mereka di balai bambu reyot di depan rumah. Mereka tersenyum saat saya melintas menyandang kamera.
Di sudut salah satu rumah terlihat anak-anak tengah bermain dan bercanda dengan teman sebayanya. ”Om, potret kita dong,” pinta salah seorang di antaranya.
Rupanya mereka tahu kalau saya tengah mengamati mereka. Padahal, sebelumnya saya mengincar gerak-gerik mereka dari kejauhan dengan lensa tele 70-200 mm. Sengaja saya merekam aktivitas anak-anak yang tengah bermain itu secara sembunyi-sembunyi agar telihat natural.
”Kalian berjajar di sana yah,” ujarku menunjuk suatu tempat.
Baca juga: Piala Thomas Mengingatkanku pada...
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211024ED14_1635073040.jpg)
Kampung pemulung Ciketing Udik di sekitar TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Dengan cekatan mereka langsung berjejer, siap dipotret dengan gayanya masing-masing. Dari balik jendela bidik kamera, nurani saya tersentuh ketika melihat pose dan senyum tulus lima bocah tersebut.
Senyum anak-anak ini menampakkan kebahagiaan tersendiri di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh gejolak perjuangan hidup melawan impitan ekonomi di hamparan ladang sampah.
Dalam perjalanan pulang menuju kantor, dengan bau sampah yang masih melekat di pakaian dan tubuh, saya berpikir keras menyusun keterangan foto anak-anak di Bantar Gebang itu.
Senyum anak-anak ini menampakkan kebahagiaan tersendiri di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh gejolak perjuangan hidup melawan impitan ekonomi di hamparan ladang sampah.
Dibantu Pak Saeran (almarhum), petugas kamar gelap, saya memilih beberapa frame foto negatif dari film hitam putih hasil pemotretan untuk saya cetak sendiri di kamar gelap.
Tiga lembar foto yang dipilih telah tercetak lengkap dalam ukuran 10R, lengkap dengan keterangan foto. Kepada editor foto Mas Kartono Ryadi (almarhum), saya paparkan kekuatan foto lima anak tersenyum yang menjadi ”andalan” saya, lengkap dengan alasan dan apa yang saya rasakan di lapangan. Meskipun dua foto lain, menurut saya, juga cukup baik dan menggambarkan suasana di Bantar Gebang.
Hasil rapat redaksi akhirnya memilih foto bernuansa pictorial, yaknisiluet bocah tengah berjalan menuju gunungan sampah. Foto itu menjadi foto lepas atau daily life yang berdiri sendiri tanpa tulisan berita dan dimuat di halaman muka harian Kompas.
Baca juga: Merasakan Bali nan Sepi di Tengah Erupsi

Foto karya fotografer Kompas, Eddy Hasby, tentang anak-anak dan kehidupan di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, yang dimuat di halaman 1 harian Kompas edisi 28 Maret 1995.
Ada rasa bangga sebagai ”anak baru” yang baru setahun bergabung dengan Redaksi Harian Kompas. Foto hasil jerih payah di lapangan diterbitkan di halaman satu. Meskipun di sisi lain, ada sedikit rasa kecewa karena foto lima bocah yang saya potret dengan penuh perasaan itu tidak terpilih untuk terbit.
Foto itu kemudian sengaja saya tempel di papan tulis putih Desk Foto yang biasa digunakan untuk menempelkan catatan rapat dan perencanaan liputan. Selama berhari-hari foto lima bocah itu terpampang di sana.
Suatu hari saya melihat tumpukan formulir lomba foto ACCU (Asia/Pacific Cultural Centre for UNESCO) World Photo Contest 1995 yang diselenggarakan UNESCO. Formulir itu diletakkan di meja sekretaris redaksi, tempat karyawan saban hari mengisi daftar hadir di kantor.
Setelah membaca tema dan syarat lomba, saya teringat kembali dengan foto lima bocah di Bantar Gebang. Sepertinya foto itu memenuhi kriteria lomba yang mengusung tema ”Living Together” (Hidup Bersama).
Lomba foto UNESCO kali itu cukup menarik karena bertepatan dengan ulang tahun ke-50 badan PBB yang mengurusi kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan itu. Hadiahnya, sebuah kamera dan kunjungan ke Tokyo, Jepang, untuk menerima penghargaan. Lomba yang patut dicoba.
Tengah malam ketika kesibukan di ruang redaksi mereda, saya kembali mencetak foto lima bocah tersebut untuk mendapatkan hasil yang lebih prima. Saya beri judul ”Joyful”. Setelah mendapat izin dari kantor untuk ikut serta, foto berukuran 10R berikut formulir keikutsertaan lomba saya kirimkan melalui pos. Setelah itu, lupakan!
Baca juga: ”Abang Jago” Membuat Saya Mempertanyakan Pilihan Hidup
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211024ED6_1635072643.jpg)
Tempat pembuangan akhir sampah warga Ibu Kota di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, merupakan ladang nafkah bagi banyak manusia. Anak-anak dan ibu-ibu bergelut mencari apa yang bisa didaur ulang dari berbagai jenis sampah ini. Bahkan ketika senja akan berakhir, seorang bocah masih coba mencari sesuatu yang bisa dijual untuk biaya sekolah dan makan. Pernahkah terpikirkan kehadiran mereka ini?
Meraih ”grand prix”
Sebuah faksimile mengejutkan tiba di bulan November. Pengirimnya, panitia lomba foto UNESCO dengan kabar, foto berjudul ”Joyful” yang saya kirimkan meraih penghargaan President of the Asia/Pacific Cultural Centre for UNESCO.
Foto tersebut meraih penghargaan pertama sejajar dengan karya empat fotografer lainnya, yakni Susanna Burton asal Selandia Baru, Nguyen Xuan Binh (Vietnam), Mohamed Nour El Din Abdalla (Sudan), dan Oishi Osamu (Jepang).

Peraih grand prix lomba foto ACCU World Photo Contest 1995, dari kiri ke kanan, Eddy Hasby, Oishi Osamu asal Jepang, Nguyen Xuan Binh (Vietnam), Mohamed Nour El Din Abdalla (Sudan), dan Susanna Burton (Selandia Baru). Kelimanya berpose seusai menerima penghargaan dari UNESCO di Tokyo, Jepang.
Lima foto ini berhasil menyisihkan 6.000 foto karya para peserta dari 102 negara. Kelima pemenang peraih grand prix kemudian diundang ke Tokyo untuk menerima penghargaaan.
Seusai acara penerimaan penghargaan, para pemenang diajak pelesir sambil hunting foto ke Kuil Kiyomizudera di Kyoto. Saya sempat mengalami gagap budaya di Tokyo dan Kyoto. Maklum, ini perjalanan pertama ke luar negeri.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211024ED9_1635072665.jpg)
Katalog pemenang lomba foto ACCU World Photo Contest 1995.
Kekaguman akan keindahan ”Negeri Sakura” saya rekam lewat kamera dan terbit di rubrik Foto Cerita pada awal Desember 1995. Kami sempat dua hari di Kyoto. Saat itu bertepatan dengan musim gugur menjelang musim dingin.
Udaranya dingin, berkisar 11 derajat celsius. Untungnya, masih ada sinar mentari. Indah sekali terlihat saat menembus celah rerimbunan daun pohon mapel yang warnanya mulai menguning dan memerah.

Peraih grand prix lomba foto ACCU berpose di pintu gerbang Kuil Kiyomizudera, Kyoto, Jepang.
Kuil Kiyomizudera yang terletak di sebelah timur Kyoto saat itu dibanjiri wisatawan, baik dari mancanegara maupun lokal. Dari atas Kiyomizudera, pemandangan kota Kyoto terlihat jelas.
Seperti kuil pada umumnya, Kuil Kiyomizudera juga dianggap sebagai tempat suci. Banyak pelancong berdoa atau mencatatkan namanya pada sekeping papan yang digantungkan di tempat khusus agar mendapatkan berkah ataupun jodoh.

Rubrik Foto Cerita tentang Kuil Koyomizudera di Kyoto yang terbit Sabtu, 2 Desember 1995.
Setengah tahun kemudian tepatnya pada 27 Juni 1996, foto-foto pemenang lomba ini dipamerkan dalam Pameran Foto Keliling UNESCO yang bertempat di Bentara Budaya Jakarta. Sebanyak 108 karya foto pemenang dan nominator ajang lomba foto ini dipamerkan di dalamnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro didampingi Pemimpin Redaksi Harian Kompas saat itu, Jakob Oetama (almarhum), membuka pameran secara resmi.
Ada rasa bahagia dan haru ketika karya jurnalistik kita mendapat apresiasi lebih, tak hanya dari pembaca, tetapi juga dari masyarakat yang lebih luas.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211024ED13_1635072696.jpg)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, didampingi Pemimpin Redaksi Harian Kompas Jakob Oetama, membuka Pameran Foto Keliling UNESCO, ”Living Together”, Kamis (27/6/1996). Dalam pameran yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta ini, dipamerkan 108 foto karya nominator dan pemenang Grand Prix ACCU World Photo Contest 1995. Salah satunya foto karya fotografer Kompas, Eddy Hasby, yang berjudul ”Joyful”, satu dari lima pemenang grand prix.