Tantangan Dunia Arab dari 2021 Menuju 2022
Beban berat dipikul dunia Arab saat memasuki tahun 2022. Beban berat itu muncul akibat masa transisi di banyak negara Arab yang diciptakan gelombang Musim Semi Arab tahun 2011.
Tahun 2021 segera berlalu dan dunia memasuki tahun baru, tahun 2022. Semua berharap tahun 2022 lebih baik daripada 2021. Dunia Arab pun juga sangat berharap tahun 2022 bisa lebih baik daripada 2021.
Bagi dunia Arab, tentu tidak mudah mewujudkan harapan tersebut. Dunia Arab memasuki tahun 2022 masih memikul beban semua persoalan yang belum terurai pada tahun 2021.
Beban berat yang dipikul dunia Arab memasuki tahun 2022 merupakan akibat masa transisi di banyak negara Arab yang diciptakan gelombang Musim Semi Arab tahun 2011. Di banyak negara Arab, masa transisi itu masih belum selesai.
Beberapa negara malah terseok-seok. Bahkan, Musim Semi Arab juga melanda Sudan, Irak, Aljazair, dan Lebanon pada tahun 2019, yang kemudian dikenal dengan sebutan musim semi Arab gelombang kedua.
Baca juga: Menuju Timur Tengah Baru
Hanya Mesir yang berhasil melampaui masa sulit proses transisi dengan memberi kepercayaan kembali kepada militer untuk mengontrol negara. Tampilnya kembali militer ke tampuk kekuasaan di Mesir akibat kekuatan politik sipil gagal mengelola konflik di antara mereka saat mendapat kesempatan memimpin negara pada era 2012-2013.
Militer kemudian berhasil membuktikan kemampuannya menciptakan stabilitas dan melakukan pembangunan secara masif. Mesir pun menjadi negara paling stabil di dunia Arab saat ini di luar negara-negara Arab Teluk yang kaya.
Adapun polarisasi geopolitik di dunia Arab akibat Musim Semi Arab tersebut telah berhasil dicairkan melalui forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Arab Saudi, pada 5 Januari 2021. KTT GCC di Al-Ula itu melahirkan rekonsiliasi antara Qatar di satu pihak dan kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab/UEA, dan Mesir) di pihak lain. Rekonsiliasi tersebut berandil besar dalam menurunkan ketegangan politik di dunia Arab.
Baca juga: Dinamika Timur Tengah, dari Kota Al-Ula hingga Vienna
Kini, tinggal menunggu solusi politik internal di masing-masing negara Arab yang dilanda gelombang Musim Semi Arab, seperti Libya, Suriah, Yaman, Sudan, Irak, Lebanon, dan Tunisia. Negara-negara Arab itu masih harus berjuang keras untuk mengakhiri perang saudara dan krisis politik untuk bisa beranjak menjadi negara modern, makmur, dan berkeadilan sesuai dengan harapan rakyatnya.
Isu Tunisia menjadi kejutan dunia Arab pada tahun 2021. Tunisia yang selama ini menjadi kebanggaan dunia Arab sebagai satu-satunya negara Arab yang sukses melakukan transformasi ke sistem demokrasi terjerumus ke dalam krisis politik akut yang mengancam kehidupan demokrasi di negara itu.
Semua persoalan tersebut menjadi beban dunia Arab pada tahun 2022. Banyak pengamat menyebut, fenomena krisis politik dan perang saudara di dunia Arab saat ini, yang sangat sulit menemukan titik terang solusinya, akibat gagalnya membangun negara-bangsa setelah meraih kemerdekaan dari kolonial pada abad lalu.
Krisis negara-bangsa di dunia Arab tidak segera tampak di permukaan. Ini karena, tidak lama setelah meraih kemerdekaan, banyak negara Arab jatuh ke rezim diktator militer yang mengelola negara dengan tangan besi, seperti Aljazair, Tunisia, Libya, Sudan, Mesir, Suriah, Yaman, dan Irak.
Para rezim militer tersebut lebih sibuk mempertahankan kekuasaan mereka daripada berjuang membangun negaranya dengan sistem modern yang membawa kemajuan, kemakmuran, dan keadilan. Ini yang mengantarkan para rezim militer tersebut bertahan cukup lama hingga beberapa dekade di tampuk kekuasaan. Mereka membiarkan sendi-sendi negara begitu rapuh tanpa ada sistem dan platform ideologi yang menjadi payung semua elemen bangsa di negara-negara tersebut.
Baca juga: Dunia Arab yang Selalu Menunggu Dokter Asing untuk Mengobati Sakitnya
Platform yang sengaja dibentuk pada era rezim militer berkuasa adalah figur penguasa militer sendiri, seperti figur Moammar Khadafy di Libya, keluarga besar Assad di Suriah, Saddam Hussein di Irak, Ali Abdullah Saleh di Yaman, Omar Hassan Bashir di Sudan, dan Zain Abidin Ben Ali di Tunisia.
Maka, seperti tidak ada garis pemisah antara negara dan pemimpin militer yang berkuasa. Para pemimpin militer tersebut dan negara menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ini yang menyebabkan pengultusan luar biasa terhadap pemimpin militer tersebut di dunia Arab.
Ketika musim semi Arab melanda Libya pada tahun 2011 dan rezim Moammar Khadafy ambruk, negara Libya ikut runtuh pula. Hal yang sama terjadi di Mesir, Tunisia, Suriah, dan Yaman pada tahun 2011 serta di Sudan dan Irak pada tahun 2019. Pascaambruknya rezim militer akibat musim semi Arab tahun 2011 dan 2019, segera mengemuka krisis negara-bangsa di kawasan Arab. Situasi itu berandil besar pada sulitnya mencari solusi atas krisis politik dan perang saudara di banyak negara Arab saat ini.
Gagalnya mencari platform ideologi negara dan sistem politik yang bisa diterima oleh segenap elemen bangsa di sebuah negara Arab sampai saat ini menyebabkan krisis politik yang berlarut-larut dan perang saudara di banyak negara Arab. Akibat tiadanya landasan platform ideologi negara dan sistem politik tersebut, yang terjadi menonjolnya egoisme kesukuan, etnis, ideologi kelompok, dan mazhab agama di banyak negara Arab.
Dampaknya kemudian menyulut perang saudara, seperti di Yaman, Suriah, Libya, atau semi-perang saudara, seperti di Irak, atau persaingan politik tidak sehat, seperti di Lebanon, Sudan dan Tunisia.
Dampaknya pula adalah banyak faksi politik di negara-negara Arab lebih loyal kepada negara lain yang seideologi atau semazhab agama atau seetnis daripada kepada negara mereka sendiri atau bekerja sama dengan elemen lain di negara tersebut untuk membangun bersama-sama sebuah negara yang kuat dan modern. Di Yaman, kelompok Houthi lebih loyal kepada Iran yang sama-sama bermazhab Syiah daripada kepada negara Yaman atau mengajak elemen masyarakat lain di Yaman untuk bekerja sama membangun negara Yaman yang kuat dan modern.
Di Irak, banyak faksi politik Syiah di negara itu lebih loyal kepada Iran dari pada kepada negara Irak. Presiden Irak Barham Salih dalam rangka memperingati 100 tahun negeri Irak pada 11 Desember lalu menyerukan diadakan kontrak sosial dan politik baru di Irak. Menurut Salih, sistem politik yang dibangun pasca-era Saddam Hussein sudah gagal membawa stabilitas, keadilan, kesejahteraan, dan pemerintahan yang bersih.
Baca juga: Rakyat Irak Tangisi Peringatan 100 Tahun Negerinya
Di Libya dan Tunisia, faksi Islamis di dua negara tersebut lebih nyaman dan percaya berkomunikasi dengan Turki untuk membahas masa depan di dua negara Arab tersebut. Sebaliknya kubu nasionalis di dua negara itu lebih nyaman berkonsultasi dengan Mesir untuk berbicara soal masa depan dua negara tersebut.
Di Suriah, kelompok oposisi Islamis juga lebih memilih minta bantuan kepada Turki sehingga mereka bisa tetap menguasai Provinsi Idlib dan area lain di Suriah Utara daripada bekerja sama dengan elemen masyarakat lain di Suriah untuk bersama membangun negara Suriah yang kuat dan modern.
Itulah persoalan akut di dunia Arab selama satu dekade terakhir ini, dan tentunya menjadi pekerjaan rumah besar dunia Arab pada tahun 2022. Selain isu negara-bangsa di dunia Arab, isu klasik, seperti proses perundingan Palestina-Israel yang diharapkan bergulir lagi pada tahun 2021, ternyata juga tidak bergerak.
Sempat muncul harapan perundingan damai Israel-Palestina yang macet total sejak tahun 2014 bisa segera dimulai lagi menyusul tampilnya Joe Biden sebagai presiden AS sejak Januari 2021 dan meletusnya perang Gaza pada Mei lalu. Namun, harapan itu hanya tinggal harapan yang tidak terwujud, sekaligus menambah tantangan tersendiri pada tahun 2022.