Kewaspadaan penuh harus dilakukan, khususnya di sektor keuangan dan sektor usaha rintisan berbasis teknologi. Agar, kalaupun muncul kejutan, situasi fundamentalnya terjaga. Respons cepat juga diperlukan.
Oleh
A Prasetyantoko
·4 menit baca
AFP/JUSTIN SULLIVAN
Seorang pekerja mengabarkan bahwa kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) tutup pada Jumat (10/3/2023) di Santa Clara, California.
Penutupan Silicon Valley Bank oleh regulator California, Amerika Serikat, Jumat (10/3/2023), merupakan kebangkrutan perbankan terbesar sejak krisis finansial global 2008. Dengan total aset sebesar 209 miliar dollar AS, SVB merupakan tulang punggung pendanaan perusahaan rintisan berbasis teknologi.
Sinyal kepanikan pun menyebar ke pasar keuangan global, ditandai dengan koreksi harga saham sektor perbankan dan sektor industri berbasis teknologi. Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) seakan bagian dari meredupnya inovasi (keuangan). Ini dimulai dengan kolapsnya harga aset kripto (Crypto Winter), gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor usaha rintisan (start-up) serta koreksi valuasi perusahaan berbasis teknologi.
Di dalam negeri, belum lama ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan ada 25 perusahaan peer-to-peer (p2p) lending dengan rasio kredit macet melebihi 5 persen. Selain itu, terdapat 19 perusahaan finansial berbasis teknologi yang ekuitasnya di bawah Rp 2,5 miliar.
Padahal, sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2022 mengenai Layanan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, pendanaan modal semua perusahaan teknologi finansial (tekfin/fintech) harus di atas Rp 2,5 miliar mulai Juli 2023. Sepertinya, akan ada perusahaan tekfin yang harus gulung tikar karena tidak memenuhi ketentuan.
Meski secara makro perekonomian kita relatif aman, beberapa sektor mikro perlu mendapat perhatian ekstra ketat.
Musim gugur sektor teknologi (keuangan) semakin terasa ganas dengan kolabsnya SVB, sementara risiko resesi global masih tetap menghantui. Meski secara makro perekonomian kita relatif aman, beberapa sektor mikro perlu mendapat perhatian ekstra ketat. Jangan sampai kegagalan di satu sektor berubah menjadi bola salju yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik bagi perekonomian kita.
Kenaikan suku bunga
Rentetan kerontokan sektor keuangan berbasis teknologi dan perusahaan rintisan lain belakangan ini merupakan imbas kebijakan utang ketat yang sudah dijalankan sejak pertengahan tahun lalu.
Selama ini banyak sektor usaha dalam ekonomi, terutama berbagai usaha rintisan berbasis teknologi, menikmati melimpahnya likuiditas murah akibat kebijakan moneter ekstra longgar (ultra-easy monetary policy) yang sudah dijalankan sejak krisis finansial global 2008 dan semakin intensif sejak pandemi Covid-19.
Papan penanda kantor cabang Silicon Valley Bank di Frankfurt, Jerman, Senin 13 Maret 2023.
Kebijakan uang longgar kini telah usai. Sejak pertengahan 2022, otoritas moneter bergulat dengan fenomena inflasi tinggi menyusul krisis Ukraina. Di AS, inflasi mencapai 9,1 persen pada Juni 2022, sementara di kawasan Eropa di atas 10 persen.
Menyikapi situasi itu, suku bunga dinaikkan secara cepat dalam besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Efek kenaikan suku bunga secara mendadak bagaikan rangkaian kereta yang porak-poranda akibat rem mendadak.
Inflasi di AS pada Januari 2023 sudah mereda pada 6,4 persen, sementara angka penyerapan tenaga kerja mencapai 311.000 tenaga kerja sehingga angka pengangguran cukup rendah pada 3,6 persen. Melihat data ini, Bank Sentral AS (The Fed) kembali bersiap menaikkan suku bunga secara signifikan. Maret ini, The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi sekitar 5,25 persen.
Sebagaimana diatur dalam konstitusi, kebijakan moneter di AS bertugas menekan pengangguran, menciptakan stabilitas harga, serta menjaga suku bunga moderat dalam jangka panjang. Mengingat tingkat penyerapan tenaga kerja baik, kebijakan moneter difokuskan untuk menurunkan inflasi menuju 2 persen sebagai rujukan keberhasilan.
Kebijakan uang longgar kini telah usai. Sejak pertengahan 2022, otoritas moneter bergulat dengan fenomena inflasi tinggi menyusul krisis Ukraina.
Arah kebijakan moneter di AS ini akan punya beberapa implikasi. Pertama, bagi negara berkembang seperti kita, situasinya akan menantang. Menyusul pengumuman rencana kenaikan suku bunga The Fed, rupiah langsung tersungkur pada kisaran Rp 15.500 per dollar AS.
Bayangkan, jika suku bunga The Fed berada pada kisaran 5,5-6 persen sampai akhir tahun ini, tentu suku bunga acuan kita harus dinaikkan paling kurang menjadi 6,5 persen atau bahkan 7 persen agar rupiah tak tertekan terlalu dalam.
Suasana para pedagang di Bursa Efek New York mengamati konferensi pers Federal Reserve Chair Jerome Powell, di New York, Rabu, 1 Februari 2023.
Kedua, kenaikan suku bunga akan segera diikuti dengan kenaikan kredit macet di sektor yang selama ini menikmati suku bunga rendah. Semakin tinggi kenaikan suku bunga, fenomena kegagalan seperti terjadi pada perusahaan pinjaman daring akan semakin luas. Sektor keuangan yang selama ini menyalurkan likuiditas begitu longgar akan terkena imbasnya. Secara umum, kredit macet diperkirakan meningkat seiring kenaikan suku bunga.
Ketiga, sektor produktif yang selama ini mengandalkan pendanaan murah juga akan terkena. Sektor rintisan berbasis teknologi yang selama ini diguyur dana murah mulai terdampak. Investor makin selektif menyediakan pendanaan hanya pada sektor usaha yang terbukti menguntungkan. Pendekatan investasi yang mengandalkan tingkat keuntungan di masa depan atau dikenal sebagai strategi ”bakar uang” tak lagi diminati investor. Apalagi, pasca-kebangkrutan SVB, pendanaan sektor usaha rintisan berbasis teknologi akan semakin ketat.
Keempat, jika investasi di berbagai sektor meredup, produksi akan melemah dan pada gilirannya daya beli masyarakat juga merosot. Pada titik ini, pertumbuhan ekonomi mengalami koreksi. Jika koreksi terjadi secara dalam, disebut resesi.
Sepertinya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tak akan setinggi pertumbuhan 2022 sebesar 5,31 persen. Meski koreksi besaran pertumbuhan ekonomi secara makro tampaknya akan marjinal, dampaknya pada beberapa sektor mikro akan fundamental, khususnya di sektor keuangan nonbank serta sektor berbasis teknologi.
Pendekatan investasi yang mengandalkan tingkat keuntungan di masa depan atau dikenal sebagai strategi ’bakar uang’ tak lagi diminati investor.
Situasi ini tak terlepas dari pergeseran arah kebijakan moneter di seluruh dunia, dari kebijakan pelonggaran likuiditas (quantitative easing) menuju pengetatan (quantitative tightening). Dalam proses transisi, selalu terjadi berbagai kejutan yang dengan cepat bisa berubah menjadi krisis. Biasanya, faktor pemicu (trigger) yang bisa berupa kejadian atau informasi menyulut situasi fundamental yang sudah rapuh.
Sepanjang tahun ini, tampaknya kewaspadaan penuh harus dilakukan, khususnya di sektor keuangan dan sektor usaha rintisan berbasis teknologi. Agar, kalaupun muncul kejutan, situasi fundamentalnya terjaga. Respons cepat juga diperlukan agar kejutan sekecil apa pun bisa segera dimitigasi sehingga tidak menyebar dan berpotensi menimbulkan dampak sistemik.