Ekonomi Tumbuh, tetapi Belum Stabil dan Berkualitas
Kinerja ekonomi yang belum stabil bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang melambat sepanjang tahun 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati tumbuh 5,11 persen, pertumbuhan ekonomi awal tahun ini dinilai belum cukup stabil dan berkualitas. Kinerja ekonomi lebih banyak tertolong oleh faktor musiman, bukan ditopang sektor utama. Penciptaan lapangan kerja pun belum cukup masif sehingga mayoritas penduduk masih bekerja di sektor informal.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang triwulan I-2024 (Januari-Maret), nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku adalah Rp 5.288,3 triliun, sementara PDB atas dasar harga konstan sebesar Rp 3.112,9 triliun.
Dengan capaian itu, ekonomi Indonesia pada triwulan I-2024 tumbuh 5,11 persen secara tahunan meski terkontraksi 0,83 persen secara triwulanan. Secara historis, ini capaian pertumbuhan triwulan I tertinggi dalam sembilan tahun atau sejak 2015.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen di Triwulan I-2024, Tertinggi Selama Lima Tahun
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, kondisi ekonomi mampu tumbuh solid di tengah ketidakpastian global karena didukung geliat aktivitas dalam negeri yang dinamis di awal tahun. Hal itu, khususnya, akibat momen Pemilihan Umum 2024, Ramadhan, dan persiapan menjelang Idul Fitri.
”Di tengah penurunan harga komoditas produk utama ekspor, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh solid 5,11 persen secara year on year. Ini ditopang oleh kuatnya aktivitas ekonomi domestik kita,” kata Amalia dalam konferensi pers hibrida yang digelar di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Tertolong faktor sesaat
Aktivitas ekonomi yang menopang pertumbuhan di awal tahun itu umumnya bersifat musiman atau temporer, seperti pemilu dan Ramadhan. Jika dibedah, kontribusi faktor musiman itu terlihat baik dari sisi pengeluaran maupun lapangan usaha.
Dari sisi pengeluaran, komponen yang pertumbuhannya tertinggi adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh 19,9 persen, serta konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) yang tumbuh 24,29 persen akibat aktivitas pemilu. Biasanya, kedua komponen yang perannya kecil ini tumbuh hanya satu digit.
Secara kuantitas pertumbuhan ekonomi memang terhitung aman, tetapi secara kualitas, capaian itu dipertanyakan.
Sementara itu, kinerja komponen utama yang semestinya berkontribusi besar terhadap ekonomi justru cenderung moderat pada awal tahun. Itu terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya 4,91 persen alias di bawah level ideal 5 persen.
Demikian pula pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang menggambarkan kinerja investasi hanya tumbuh 3,79 persen. Komponen ekspor dan impor juga hanya tumbuh 0,50 persen dan 1,77 persen di tengah melambatnya perdagangan global.
Dari sisi lapangan usaha, sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah administrasi pemerintahan hingga 18,88 persen akibat peningkatan belanja pegawai lewat kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan tunjangan hari raya (THR).
Sektor jasa kesehatan juga tumbuh 11,64 persen karena didukung peningkatan belanja pegawai institusi kesehatan pemerintah, serta jasa perusahaan yang tumbuh 9,63 persen karena aktivitas penyelenggara acara (event organizer) untuk pemilu.
Baca juga: Banyak Gejolak di Awal Tahun, Daya Tahan Ekonomi Indonesia Diuji
Kinerja sektor utama yang semestinya berkontribusi besar terhadap ekonomi justru moderat, bahkan terkontraksi. Industri pengolahan hanya tumbuh 4,13 persen, perdagangan hanya tumbuh 4,58 persen, sedangkan pertanian justru terkontraksi -3,54 persen akibat penurunan produksi komoditas pangan yang terdampak El Nino.
Kesempatan kerja terbatas
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, secara kuantitas pertumbuhan ekonomi memang terhitung aman, tetapi secara kualitas capaian itu dipertanyakan.
Selain lebih banyak ditopang oleh faktor musiman dan dibayangi kinerja sektor utama yang lesu, pertumbuhan ekonomi dinilai belum mampu membuka kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat.
Hal itu tampak dari paparan kondisi ketenagakerjaan per Februari 2024 yang dirilis BPS. Angka pengangguran tercatat sebesar 7,2 juta jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 4,82 persen.
Ke depan, pertumbuhan ekonomi akan menghadapi tantangan yang lebih sulit sepanjang tahun.
Meskipun turun dibandingkan puncak pandemi pada 2021 (8,75 juta jiwa), jumlah penduduk menganggur per Februari 2024 justru lebih banyak ketimbang prapandemi. Pada 2018-2019, jumlah penganggur mencapai 6,87 juta jiwa (2018) dan 6,82 juta jiwa (2019).
Meski pengangguran turun, sebagian besar diduga terserap di sektor informal. BPS mencatat, per Februari 2024, proporsi pekerja informal naik dan mendominasi sebesar 59,17 persen. Komposisi pekerja informal ini lebih tinggi dibandingkan prapandemi atau 56,64 persen pada Februari 2020.
”Dorongannya lebih bersifat one off (satu kali). Jadi, pertumbuhan 5,11 persen itu baru tinggi secara nilai saja, tetapi elastisitas kesempatan kerja yang tercipta ada gap (selisih) yang tidak sejalan dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Risiko di sepanjang tahun
Faisal menilai, kinerja ekonomi yang tidak stabil itu bisa berdampak pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang melambat sepanjang tahun 2024 (full year). Apalagi, ada sejumlah risiko yang bisa menghambat pertumbuhan, seperti imbas ketegangan geopolitik dan gejolak di pasar keuangan global.
Baca juga: Proyeksi Tahun 2024, Ekonomi Dua Cerita
Ia memperkirakan, ekonomi RI sepanjang 2024 hanya akan tumbuh 4,9-5,0 persen. Ini sejalan dengan proyeksi sejumlah lembaga ekonomi internasional, seperti Bank Dunia, yang memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen pada 2024 dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memproyeksikan 5,0 persen.
Di sisi lain, tidak terlalu banyak faktor temporer lain yang bisa muncul di sisa tahun ini untuk menopang pertumbuhan ekonomi seperti pada triwulan I.
”Kemungkinan mulai triwulan III sampai IV tahun ini pertumbuhan ekonomi akan cukup sulit, bahkan bisa di bawah 5,1 persen. Itu pun belum mempertimbangkan faktor ekonomi global yang lagi tidak pasti,” kata Faisal.
Senada, ekonom Bank Danamon Irman Faiz menilai, ke depan, pertumbuhan ekonomi akan menghadapi tantangan yang lebih sulit sepanjang tahun akibat pengaruh kebijakan pengetatan moneter Amerika Serikat alias higher for longer. Tren tingkat suku bunga yang tinggi itu bisa memperlemah permintaan domestik ataupun global.
Ia juga menyoroti absennya faktor-faktor temporer, seperti Ramadhan, pemilu, dan penyaluran bantuan sosial yang tidak akan terulang lagi di sisa tahun ini.
”Permintaan global yang lesu itu bisa berdampak pada turunnya kinerja ekspor kita sepanjang tahun ini. Proyeksinya, pertumbuhan ekonomi bisa melambat jadi 4,9 persen di triwulan II dan 5,0 persen sepanjang tahun,” ucap Irman.