Kehidupan para pemulung kian terimpit saat pandemi Covid-19. Penghasilan yang menurun bersamaan dengan risiko terjangkit wabah penyakit.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
Pada awal pandemi Covid-19, cairan antiseptik dan gel pembersih tangan menjadi dua benda yang banyak diburu warga. Namun, tidak demikian halnya dengan para pemulung. Mereka tak perlu keduanya meskipun masih terus bergumul dengan sampah demi tetap mengais rupiah.
”Untuk apa cari benda seperti itu bagi saya yang setiap hari berkotor-kotor? Kalau botolnya boleh, deh, lumayan bisa dijual,” kata Riani (47), pemulung asal Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Rabu (6/5/2020).
Menjadi kotor karena bergumul dengan sampah bukan masalah bagi orangtua tunggal empat anak tersebut. Yang penting bagi Riani adalah bagaimana dirinya dan anak-anaknya bisa tetap makan.
Para pemulung kerap terserang penyakit seperti diare, tipus, dan tetanus.
Ibu yang sudah 25 tahun menjadi pemulung itu mengaku tidak benar-benar memahami apa itu Covid-19. Yang dia tahu, Covid-19 sudah membuat dunianya semakin morat-marit. Kehadiran Covid-19 sudah membuat anak sulungnya yang biasanya bekerja dirumahkan dan membuat ketiga anaknya yang semestinya belajar di sekolah terpaksa belajar di rumah.
Sebulan belakangan, kondisi keuangan Riani semakin berantakan. Riani yang biasanya hanya menghabiskan uang Rp 25.000 untuk membeli pulsa, kini harus mengeluarkan hingga Rp 100.000. Kebutuhan akses internet di keluarga melonjak drastis karena ketiga anak Riani harus belajar daring setiap hari.
Di tengah bertambahnya kebutuhan, pemulung seperti Riani kian terpukul akibat jatuhnya harga sampah. Botol, kertas, kardus, besi, dan plastik yang biasanya dihargai Rp 2.300 per kilogram, kini hanya laku Rp 1.000 per kilogram.
Kebijakan Pemerintah Kota Tegal memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat akses masuk ke kota tersebut terbatas. Akibatnya, truk-truk pengepul sampah yang kebanyakan bernomor polisi luar daerah itu tidak bebas masuk Kota Tegal. Riani yang biasanya menjual sampah kepada seorang pengepul sampah di Cirebon, Jawa Barat, mau tidak mau harus menjual ke pengepul sampah lokal.
Untuk menambah pemasukan, Riani akhirnya mengamen. Jika hasilnya tidak cukup untuk membeli makanan, ia menjual piring, gelas, sendok, ember, atau perabotan lain di rumahnya kepada tetangganya.
”Mereka sudah tahu kalau barang yang saya jual itu adalah barang yang saya temukan di bak sampah. Tetapi mereka tetap mau membelinya, mungkin karena mereka kasihan kepada saya,” katanya.
Perlindungan minim
Di tengah pandemi Covid-19, Riani pun bekerja dengan alat perlindungan diri yang sangat minim. Ketika ditemui di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bandeng Sari, Kelurahan Tegalsari, Selasa (5/5/2020), ia hanya memakai kaus lengan pendek, sandal jepit, dan masker kain. Ia tak punya cukup uang untuk membeli sepatu bot dan sarung tangan untuk melindungi kaki dan tangannya yang kurus itu saat bekerja.
Berdasarkan pantauan Kompas, sepekan belakangan, sebagian pemulung di sejumlah wilayah di Kota Tegal bekerja tanpa masker. Padahal, dalam Peraturan Wali Kota Tegal Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan PSBB disebutkan, seluruh masyarakat yang beraktivitas di luar rumah diwajibkan memakai masker.
Bekerja dengan alat perlindungan diri yang minim juga terjadi pada Rudi Hartono (50), pemulung lain asal Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Rudi tak pernah memakai sarung tangan dan sering lupa memakai masker saat bekerja.
Namun, menurut Rudi, setiap selesai bekerja, dirinya tidak langsung pulang ke rumah. Ia selalu mampir ke mushala untuk mandi dan membersihkan diri sebelum bertemu istri, anak, dan cucunya. ”Yang penting yakin dan tidak berpikiran negatif, insya Allah, virus-virus akan takut kepada kita,” ucapnya.
Bapak empat anak itu mengaku, dirinya tidak begitu mengerti apa itu Covid-19. Saat ditanya oleh anak keduanya yang masih duduk di bangku kelas VI, Rudi hanya menjawab bahwa Covid-19 adalah penyakit. Tamatan sekolah dasar di Kota Tegal itu menyarankan kepada anaknya untuk berdoa, makan teratur, dan beristirahat teratur agar tidak tertular penyakit itu.
Sehari-hari, Rudi tinggal di sebuah rumah dengan ukuran 4 meter x 11 meter. Di rumah tersebut ia tinggal bersama delapan anggota keluarganya. Rumah tersebut menempel dengan dinding rumah-rumah di sebelahnya.
Rumah Rudi tidak mendapat sinar matahari langsung. Satu-satunya jendela di rumah tersebut juga tidak bisa dibuka karena engselnya rusak. Untuk mengusir pengap, Rudi memasang tiga kipas angin ukuran sedang di rumahnya.
Risiko
Secara terpisah, Kepala Bidang Koperasi dan Usaha Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Cabang Tegal Rohmat Budi Sanjoyo mengatakan, belum semua pemulung paham ancaman Covid-19 dan bagaimana menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Perlu bahasa dan analogi sesederhana mungkin untuk memberi pengertian kepada mereka.
Rohmat mengatakan, pemulung sangat berisiko tertular virus SARS-CoV-2, terlebih karena pekerjaan mereka jauh dari perilaku hidup bersih dan sehat. Hal itu membuat para pemulung kerap terserang penyakit seperti diare, tipus, dan tetanus.
Pemulung adalah salah satu kelompok yang rentan terhadap infeksi virus dan bakteri, terutama pada masa pandemi. Mereka pun kerap terlupa, bahkan dihalau dari jalanan tempat mereka mencari makan. Saatnya, pemerintah lebih memperhatikan mereka.