Bermitra dengan Kecerdasan Buatan dalam Karya Sastra
Karya sastra hasil kecerdasan buatan sangat mungkin dipakai penulis untuk menambah perbendaharaan bahasa yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia sastra tidak luput dari kekhawatiran akan tantangan kecerdasan buatan yang bisa menggerus kreativitas para penulis dalam memproduksi karya sastra. Fakta ini tidak boleh dinafikan oleh para penulis. Mereka harus bisa mengubah tantangan ini menjadi peluang baru untuk tetap relevan bersama perkembangan zaman.
Penulis filsafat sekaligus pengajar Institut Kesenian Jakarta, Martin Suryajaya, menilai, keberadaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan mengubah cara penulis dalam bekerja. Sebab, perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Ia akan terus berjalan maju dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan manusia itu sendiri.
Awalnya, Martin berpikir bahwa tren penggunaan AI hanya sementara, tetapi kemudian AI bertransformasi menjadi pengubah keadaan (game changer). AI bahkan perlahan mengubah aspek fundamental dalam kehidupan manusia karena teknologinya akan semakin pintar dan akurat, bahkan bisa diandalkan.
”Bahwa AI bisa membantu kita dalam menulis dan berpikir lebih kritis, saya percaya, tetapi subyektif manusia dalam kehidupan sehari-hari itu tidak bisa dititipkan ke AI. Dia (AI) akan tetap menjadi mitra dalam penciptaan karya sastra. Kita harus bekerja sama dengan AI,” kata Martin dalam diskusi ”Kecerdasan Buatan, Batasan dan Pengaruhnya dalam Khazanah Sastra” dalam Festival Kata yang diselenggarakan Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Diri kita memiliki batasan dan teknologi memungkinkan kita untuk bisa menggapai di luar batasan itu.
Martin telah membuktikan itu dalam bukunya yang berjudul Penyair sebagai Mesin pada pertengahan 2023. Dalam salah satu bab bukunya, Martin membahas eksperimennya dalam mengumpulkan korpus puisi-puisi Indonesia dan melatih mesin AI untuk melihat AI membuat karya serupa. Tujuannya untuk membantu melihat sejarah puisi alternatif.
Hasilnya, gaya puisi yang dihasilkan AI ternyata memiliki karakteristik yang cukup berbeda dengan puisi karya manusia. Namun, kosakata yang dimunculkan dalam puisi karya AI bisa menjadi referensi baru bagi penulis yang bisa digunakan dalam karyanya, maka terjadilah kerja sama antara manusia dan mesin AI.
Sementara itu, wartawan senior Kompas, Bre Redana, menilai AI tidak akan pernah bisa menggantikan ”nyawa” tulisan yang hanya dimiliki oleh masing-masing penulis. Nyawa penulis ini hanya bisa didapat dengan kekayaan bahasa yang dimiliki dari membaca pengetahuan. Jika proses membaca dan memahami pengetahuan itu terputus karena AI, karyanya tidak akan bernyawa.
”Salah satu fungsi bahasa itu adalah fungsi kognisi. Merawat kebudayaan itu adalah memfungsikan bahasa dan kesadaran bahasa sebagai fungsi kognisi. Peradaban manusia itu berkembang karena bahasa. Tanpa bahasa, manusia sama seperti spesies lainnya. Namun, dengan bahasa terjadilah evolusi pada otak manusia lalu menjadi insan manusia,” ucap Bre.
Oleh karena itu, dosen filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Saras Dewi, berpandangan, AI memang memiliki banyak manfaat untuk membantu pekerjaan manusia. Namun, bekerja sama dengan AI tetap harus memperhatikan aspek etika sebagai manusia sosial.
”Diri kita memiliki batasan dan teknologi memungkinkan kita untuk bisa menggapai di luar batasan itu. Masalahnya kemudian, apakah batasan itu bisa ditembus dan terkait konsekuensi etis, di situ perdebatan filosofisnya,” ucap penulis cerpen berjudul ”Nirwana” ini.
Anugerah Cerpen ”Kompas”
Saras Dewi termasuk satu dari 20 cerpenis yang menjadi nomine Anugerah Cerpen Kompas 2022. Selain Saras, ada pula cerpenis Muram Batu, T Agus Khaidir, Meutia Swarna Maharani, Surya Gemilang, Ranang Aji SP, Artie Ahmad, Risda Nur Widia, dan Kiki Sulistyo. Kemudian Supartika, A Muttaqin, Yulizar Lubay, Agus Dermawan T, Atta Verin, Mashdar Zainal, Rizqi Turama, Ahda Imran, Ahimsa Marga, Damhuri Muhammad, dan Silvester Petara Hurit.
Setelah tiga tahun digelar secara virtual, Malam Anugerah Cerpen Kompas kembali hadir di halaman Bentara Budaya Jakarta, Jumat (27/10/2023), sebagai wujud apresiasi kepada karya-karya cerita pendek Indonesia. Sebanyak 20 cerpen masuk nominasi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2022. Cerpen terbaik akan diumumkan Jumat (27/10/2023) ini mulai pukul 19.00.
Malam Anugerah Cerpen yang sudah menganugerahi 26 penulis cerpen Nusantara ini menjadi acara puncak dari rangkaian Festival Kata yang mengusung tema ”Merawat Literasi, Merawat Kebudayaan”. Festival Kata didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai sponsor utama dan UOB serta Indosat sebagai sponsor pendamping.
Sepanjang 2022, ada 3.017 cerpen yang dikirimkan kepada Redaksi Harian Kompas untuk dimuat. Setelah melalui proses kurasi yang ketat, hanya 49 cerpen yang diterbitkan di harian Kompas pada 2022. Dari 49 cerpen yang diterbitkan di Kompas itu, lima juri memilih 20 cerpen yang masuk nominasi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2022.
Latar belakang para juri yang terlibat kali ini cukup beragam. Mereka ialah Andreas Maryoto, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas yang juga pencinta sastra dan teater; Susy Berindra yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi kurator cerpen digital untuk dimuat di Kompas.id; serta Budi Suwarna, Kepala Desk Budaya Kompas.
Ada pula Sarie Febriane yang setidaknya dalam tujuh tahun terakhir menjadi juri cerpen pilihan Kompas dan menyukai seni rupa, kemudian Hilmi Faiq, penulis fiksi dan nonfiksi, editor gaya hidup dan seni, serta kurator cerpen Kompas.
Festival Kata dan Malam Anugerah Cerpen Kompas menjadi upaya Kompas menjaga komitmen sebagai media massa yang terus memberikan penghargaan terhadap karya-karya cerpen terbaik setiap tahun. Penghargaan ini merupakan upaya untuk merawat dan mengangkat beragam hal terkait literasi, terutama yang berhubungan dengan dunia baca tulis, di antaranya perbukuan, cerpen, puisi, teater, dan tradisi lisan.