Dibanding PSBB Ketat, Kota Bogor Pilih PSBMK dan Penguatan Edukasi Warga
Pemerintah Kota Bogor menilai, menerapkan PSBB ketat yang berdampak hebat pada ekonomi berpotensi memicu gejolak sosial. Pemprov Banten menyatakan selama ini melaksanakan PSBB secara kontinu karena memang diperlukan.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga melewati sekitar Tugu Kujang, Kota Bogor, yang sepi, Rabu (15/4/2020).
JAKARTA, KOMPAS—Sebagai salah satu daerah penyangga DKI Jakarta, Kota Bogor untuk saat ini tidak akan mengikuti langkah Ibu Kota menerapkan pembatasan sosial berskala besar seperti awal mula diberlakukan. Pemerintah Kota Bogor memilih menerapkan pembatasan sosial berskala mikro dan komunitas atau PSBMK, serta memperkuat edukasi ke warga.
“Apakah hanya ada satu solusi tunggal? Apakah PSBB total jawaban segalanya? Saya kira tidak,” tutur Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, dalam diskusi yang disiarkan secara daring oleh Radio Smart FM, Sabtu (12/9/2020). Belajar dari PSBB awal, terdapat perhitungan-perhitungan matang terlebih dahulu jika ingin menerapkan kembali.
Bima mencontohkan, personel untuk pengamanan selama PSBB mesti siap, sedangkan jumlah anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor hanya 200-an orang dan ia belum tahu kesiapan dari TNI dan Polri. Pertanyaan lainnya, soal kemampuan untuk membantu ekonomi warga yang dipaksa hanya di rumah. Sebab, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tidak cukup.
Bima merujuk pada Survei Persepsi Risiko Covid-19 Kota Bogor yang dikerjakan LaporCovid-19 bersama Social Resilience Lab, Nanyang Technological University (NTU). Studi berjalan tanggal 15 Agustus-1 September dengan total 21.544 responden yang valid.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto saat meninjau kesiapan paviliun Pemping di lingkungan Rumah Sakit Umum dr H Marzuki Mahdi, Kota Bogor, Jawa Barat, yang akan digunakan sebagai ruang isolasi dan penanganan pasien korona, Rabu (2/9/2020).
Hasilnya, 40,26 persen responden menyatakan penghasilan mereka berkurang sangat besar akibat pandemi, 21,82 persen menyatakan penghasilan berkurang besar, dan 27,96 persen menyatakan cukup besar. Dengan demikian, menurut Bima, perekonomian 90 persen warga terdampak Covid-19.
Selain itu, skor indeks persepsi risiko (RPI) warga Kota Bogor berdasarkan survei itu sebesar 3,21 atau agak rendah. Skor itu lebih rendah dari milik DKI (3,30) dan Surabaya, Jawa Timur (3,42). Sebanyak 41,97 persen responden di Kota Bogor menyatakan sangat kecil kemungkinan dirinya terpapar Covid-19, dan 23,29 persen responden menyatakan kecil kemungkinan.
“Jadi, poinnya, satu, dampak ekonomi demikian dahsyat. Kedua, persepsi risiko Covid-19 di warga rendah sekali. Dalam kondisi warga seperti ini, tindakan melakukan lockdown terhadap aktivitas ekonomi warga tanpa cukup sumber daya dan logistik saya kira tidak pas,” ujar Bima.
Namun, dalam pemaparan hasil survei hari Jumat (11/9/2020), profesor di Social Resilience Lab NTU Sulfikar Amir malah menyebutkan, warga Kota Bogor sebenarnya siap jika pemerintah daerahnya menerapkan pembatasan sosial yang lebih ketat. Ini sesuai hasil penggunaan instrumen untuk melihat kondisi psikososial responden yang baru diaplikasikan dalam riset di Bogor, yaitu Covidmood.
Terdapat empat kuadran berdasarkan instrumen Covidmood, yaitu bimbang (responden mempersepsikan kondisi sosial ekonomi jelek tetapi puas dengan kinerja pemerintah), depresif (sosial ekonomi jelek dan tidak puas dengan kinerja pemerintah), apatis (sosial ekonomi bagus dan kinerja pemerintah tidak memuaskan), serta yang paling tinggi yaitu optimis (sosial ekonomi bagus dan kinerja pemerintah memuaskan).
Hampir semua kelurahan tempat responden berada masuk dalam kuadran optimis. “Kalau misalnya Pemkot Bogor ingin melakukan pembatasan sosial secara lebih ketat, masyarakatnya siap. Beda kalau sebagian besar warga berada di kuadran depresif, bisa menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan,” ujar Sulfikar.
Meski demikian, Pemkot Bogor tidak ingin ambil risiko. Bagi Bima, menerapkan PSBB ketat yang berdampak hebat pada ekonomi di tengah kondisi sebagian besar warga belum paham risiko Covid-19 berpotensi memicu gejolak sosial.
“Tidak mungkin kami menutup kafe, restoran, tempat makan, ketika mereka bilang lurah datang ngawasin enggak? Dinkes edukasi enggak? Begitu lockdown, enggak gajian, kengga dikasih bansos,” katanya.
Bima menyatakan pemkot memilih PSBMK dengan titik berat di tingkat kecamatan. Ia mencontohkan, RW siaga Covid-19 diperkuat, dan RW-RW zona merah dibantu dengan logistik serta vitamin. Pelaksanaan teknis PSBMK bakal dijelaskan lagi hari Senin (14/9/2020).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Seorang warga yang terjaring Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor saat menggelar razia bagi warga yang tidak mengenakan masker di Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/9/2020).
Hasil survei dalam pandangan Bima juga mempertegas kelemahan Pemkot Bogor dalam sosialisasi dan edukasi tentang bahaya Covid-19. Ini jadi bahan evaluasi guna mengefektifkan komunikasi. Salah satu terobosan yang rencananya ditempuh yakni semakin intens melibatkan dokter dan tokoh agama, karena survei menunjukkan, dokter atau pakar kesehatan menempati urutan pertama sumber informasi yang paling dipercaya, dan tokoh agama urutan kedua.
Kenaikan kasus positif Covid-19 di Kota Bogor tergolong tinggi hingga membuat daerah ini masuk zona merah pada 29 Agustus. Ketika awal pandemi dan belum ada PSBB pada Maret-April, ada 107 persen kasus positif. Persentase kasus cukup tinggi karena pada bulan pertama belum ada PSBB. Setelah ada kebijakan PSBB pada April-Mei, kasus positif turun 50 persen.
Namun, setelah ada pelonggaran dengan kebijakan relaksasi pada Mei-Juni, kasus positif naik 154 persen. Jumlah kasus naik drastis pada Agustus sebesar 215 persen (Kompas.id, 10/9/2020).
Data hari Jumat, ada 856 kasus terkonfirmasi positif di Kota Bogor sejak awal wabah, bertambah 19 kasus dibanding data sehari sebelumnya. Dari jumlah itu, ada 530 orang yang sudah sembuh, bertambah enam orang dibanding Jumat.
Kompas/Wawan H Prabowo
Kunjungan warga saat menjelang senja di tepi pantai Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Sabtu (12/9/2020).
Bima menambahkan, kepastian penerapan PSBB ketat DKI pun masih dalam finalisasi antara Pemerintah Provinsi DKI dan pemerintah pusat. “Saya kira belum ada keputusan dari DKI,” ujarnya saat dihubungi lewat pesan singkat, Sabtu sore.
Kita tidak mengenal ‘rem darurat’ tapi terus menjalankan PSBB secara kontinyu dalam penanganan Covid-19 di Banten. (Wahidin Halim)
Sementara itu, Banten terus menjalankan PSBB sesuai yang sudah ditetapkan Gubernur Wahidin Halom, entah DKI jadi memberlakukan PSBB seperti awal lagi atau tidak. "Banten sejak awal terus melanjutkan PSBB, yang membedakannya saat ini adalah lebih luas ke wilayah kabupaten/kota selain wilayah Tangerang," ucap Wahidin dalam siaran pers.
Mulanya, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang saja di provinsi itu yang mulai April menjalankan PSBB, mengingat ketiganya berbatasan dengan DKI. Namun, per 7 September, PSBB diperluas ke seluruh kota dan kabupaten di Banten.
Kompas/Priyombodo
Penumpang kereta komuter keluar dari stasiun Sudirman di Jakarta, Jumat (11/9/2020).
"Kita tidak mengenal ‘rem darurat’ tapi terus menjalankan PSBB secara kontinyu dalam penanganan Covid-19 di Banten," ujar Wahidin. Istilahnya pun menurut dia PSBB saja, tidak ada istilah PSBB total. Namun, ada ketentuan-ketentuan yang bisa dipertegas sesuai kesepakatan dengan bupati dan wali kota.