Kapal Motor Amboina Star menurunkan dan menaikkan penumpang serta barang di lepas pantai Pulau Obi, Maluku Utara, dibantu perahu motor setempat, Senin (9/4/2018). Sebanyak 5 dari 10 desa di Pulau Obi yang disinggahi kapal tersebut tidak memiliki tambatan perahu.
Daerah Pemilihan Maluku Utara merupakan wilayah politik paling miskin di Indonesia. Nilai kegiatan ekonominya hanya seperlima dari nilai rerata produk domestik regional bruto atau PDRB 80 dapil di Indonesia. Carut-marut politik sejak dulu sampai sekarang ditengarai menjadi penyebab tidak berkembangnya perekonomian di salah satu dapil dengan partisipasi politik terbaik ini.
Angka kegiatan ekonomi Dapil Maluku Utara tahun 2017 hanya Rp 32,27 triliun. Angka yang rendah itu diperparah pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil. Laju pertumbuhan ekonomi 2013-2016 cenderung turun dari 6,28 persen menjadi 5,77 persen. Bahkan laju pertumbuhan sektor pertanian sebagai penopang utama perekonomian pun ikut turun.
Meski demikian, perekonomian Dapil Maluku Utara ini mulai membaik pada 2017 dengan angka pertumbuhan menyentuh 7,67 persen. Peningkatan tersebut disebabkan industri pengolahan smelter nikel di Pulau Obi Halmahera Selatan yang mendongkrak PDRB Halmahera Selatan dari 5,67 persen pada 2016 menjadi 11,67 persen di tahun berikutnya.
Rendahnya perekonomian juga diikuti kualitas manusia di dapil yang terdiri dari delapan kabupaten dan dua kota tersebut. Hal tersebut tergambar dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku Utara 2017 (67,2) yang termasuk dalam 10 daerah IPM terendah.
Kurang berkembangnya sosial ekonomi di Maluku Utara bisa jadi dipengaruhi oleh konflik perebutan kekuasaan. Sedikit menengok ke belakang saat Pilkada 2007 dan 2018 berlangsung. Pemilihan Gubernur Maluku Utara penuh dengan drama, mulai dari pembekuan pasangan calon oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, gugatan ke Mahkamah Konstitusi, hingga rekapitulasi ulang.
Bagaimana dengan pemilu legislatif mendatang? Jika dilihat dari komposisi anggota legislatif 2014 dan caleg 2019, hampir separuhnya berasal dari luar dapil. Pada Pileg 2014, 16 dari 36 caleg berasal dari luar Maluku Utara.
Adapun pada Pileg 2019, jumlah caleg dari luar dapil bertambah menjadi 21 orang. Jika komposisi dari luar dapil semakin banyak, apakah para caleg sekadar mencari kekuasaan atau bisa ikut andil menyejahterakan rakyat Maluku Utara? (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)