Dua Sisi Disrupsi Digital

Industri digital
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau yang lebih sering disingkat LIPI melakukan sebuah studi kualitatif pada pertengahan 2018. Penelitian berkutat mengenai disrupsi digital pada sejumlah usaha besar serta menengah dan kecil di Indonesia.
Hasilnya semakin menegaskan pernyataan, disrupsi digital memberikan dua dampak yang berbeda terhadap ketenagakerjaan bergantung pada sektor dan ukuran bisnis yang dimiliki.
Dalam studi tersebut, sebuah perusahaan garmen dan tekstil dengan kemampuan ekspor di Bandung, Jawa Barat, menerapkan otomatisasi sehingga memangkas jumlah tenaga kerja yang digunakan. Ini dilakukan guna meningkatkan efisiensi produksi perusahaan.
Misalnya, pada mesin pengepakan (packing) yang sebelumnya bekerja secara manual membutuhkan 15 pekerja per mesin. Dengan mesin yang baru, hanya dibutuhkan 10 pekerja per mesin. Mesin lain, seperti finishing dan spinner, juga mengalami pembaruan sehingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan semakin sedikit.
Dengan demikian, jumlah tenaga kerja yang bekerja turun drastis hingga separuhnya. Dari 300 pekerja per giliran (shift) yang bekerja, kini cukup hanya 150 pekerja yang bertugas per giliran. Tenaga kerja yang kini tidak lagi sesuai dengan kebutuhan secara perlahan diberhentikan.
Kondisi yang berbeda justru terlihat pada dua usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terletak di Bantul, DI Yogyakarta. Dua usaha yang menjadi obyek penelitian berkutat di sektor makanan ringan dan kerajinan batik kayu. Pemanfaatan teknologi digital yang digunakan lebih berfokus pada pemanfaatan teknologi untuk pemasaran produk.
Teknologi digital membuat pelaku usaha memiliki akses untuk menjual produk dan berkomunikasi langsung dengan pelanggan. Internet digunakan untuk memantau proses pengiriman barang dan pesanan baru yang harus dipenuhi.
Kendati produk dari kedua jenis usaha masih diproduksi secara manual akibat skala bisnis yang masih kecil, studi menemukan adanya peningkatan produksi dan penggunaan tenaga kerja.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F12%2F20100618RZFg_1543593189.jpg)
Pekerja memotong flexible packaging film di salah satu pabrik plastik pembungkus di Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (18/6/2010). Produk ini merupakan bahan plastik pelindung produk makanan maupun non-makanan.
Peneliti Pusat Penelitian (P2) Kependudukan LIPI, Devi Asiati, di Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, industri besar serta kecil dan menengah memanfaatkan disrupsi digital secara berbeda. Industri besar lebih merasakan gejolak disrupsi digital.
”Memang belum dapat dikatakan bahwa UMKM berperan sebagai ’bantalan krisis’ pada era digital,” kata Devi. Namun, perkembangan UMKM yang fleksibel dari sisi pasar, produksi, penyerapan tenaga kerja, dan penciptaan lapangan kerja baru menunjukkan trennya sebagai solusi dari dampak negatif yang dialami perusahaan besar akibat disrupsi digital.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2FWhatsApp-Image-2018-11-23-at-16.52.26_1542968612.jpeg)
Peneliti Pusat Penelitian (P2) Kependudukan LIPI, Devi Asiati.
Kesiapan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi disrupsi digital masih menjadi momok di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian telah membuat Peta Jalan Revitalisasi Pendidikan Vokasional untuk menyiapkan SDM.
Namun, ujarnya, hal yang harus diperhatikan adalah penyiapan tidak berorientasi hanya kepada industri besar, seperti di sektor manufaktur saja. Penyiapan SDM perlu juga dilakukan di sektor pariwisata, pertanian, dan jasa.
”Ini untuk mencegah agar vokasi tidak digunakan sebagai keperluan pragmatis, yaitu mengatasi persoalan mismatch dan beban pemagangan. Namun, juga untuk pembentukan karakter, pengetahuan, dan keterampilan SDM sejak dini,” ujar Devi.
Berjalan pelan
Secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam, Minggu (2/12/2018), mengatakan, secara global, dunia telah memasuki masa revolusi industri 4.0.
Sementara industri-industri di Indonesia sebenarnya masih berada pada industri 3.0. ”Di Indonesia, revolusi industri 4.0 masih berjalan pelan,” katanya.
Berdasarkan catatan Kompas, revolusi industri 4.0 adalah transformasi digital yang mengombinasikan kecerdasan buatan, data raksasa, komputasi awan, serba internet, robotik, dan cetak tiga dimensi. Adapun revolusi industri 3.0 lebih berorientasi pada otomatisasi industri.
Menurut Piter, industri manufaktur sektor makanan dan minuman serta otomotif akan menjadi industri pertama yang akan beralih ke industri 4.0 di Indonesia. Itu karena kedua sektor tersebut telah stabil dalam menerapkan otomatisasi dalam perusahaan. Misalnya, kedua sektor

Direktur Riset Center of Reform on Economy (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam
telah menggunakan robot dalam memproduksi barang.
Bahkan, sektor jasa yang lebih cepat dalam penggunaan teknologi digital, seperti perbankan, dinilai akan kalah cepat dengan adaptasi kedua sektor tersebut.
”Industri 4.0 akan memanfaatkan internet secara optimal dari hulu ke hilir. Bagian pergudangan, pemasaran, dan penjualan akan terkoneksi secara langsung,” tutur Piter.
Oleh karena itu, peningkatan kompetensi SDM tetap dibutuhkan agar tenaga kerja tidak tersingkirkan. Pemangkasan tenaga kerja telah terjadi saat ini pada saat sejumlah perusahaan baru melakukan otomatisasi. Pemangkasan tenaga kerja akan semakin menjadi isu ketikan industri 4.0 diterapkan.
Kepala Pusat Perencanaan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Agus Triyanto mengatakan, pada periode 2017-2020, pemerintah memproyeksikan kebutuhan pekerja, seperti manajer keuangan, pengacara, analis, penasihat keuangan, dan programer, akan tumbuh. Kebutuhan profesi seperti manajer administrasi, mekanik, pengantar surat, pekerja pabrik, dan operator mesin akan terus turun.
Selain perubahan jenis tenaga kerja, karakter pekerja juga diproyeksikan akan berubah. Pekerja akan bersifat wiraswasta, lepas, mandiri, dan independen.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2F20180809_RUANG-KERJA_B_web.jpg)
Suasana kerja di ruang kerja bersama Jakarta Smart City Hive (JSC Hive) di Jalan Prof Dr Satrio, Karet Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/8/2018). Ruang kerja bersama atau coworking spaces yang dapat diakses dengan berlangganan bulanan atau pun harian ini diminati oleh pekerja dari kalangan anak muda. Ruang kerja bersama seperti ini tumbuh di lokasi-lokasi strategis, seperti gedung perkantoran hingga pusat perbelanjaan.