Pilar China dan Huawei adalah ”Gaige Kaifang” (Bagian I)

Simon Saragih, wartawan senior Kompas
Pengantar: Presiden AS Donald Trump melarang perusahaan-perusahaan asal AS memasok komponen ke Huawei, raksasa perusahaan teknologi informasi China. Apakah hal itu akan mematikan sepak terjang bisnis Huawei? Gejolak jangka pendek pasti ada, tetapi Huawei akan terus melaju. Mengapa? Huawei adalah perusahaan yang giat, gesit, dan berfalsafah hebat. Berikut ulasannya melalui tiga seri tulisan.
Dari masa ke masa, tekanan ekonomi dan politik Barat, khususnya AS terhadap China, seakan tiada hentinya. Barat konstan menuduh negara ini sebagai penjiplak teknologi dan dianggap berbahaya bagi keamanan nasional.
Huawei pun tidak luput dari tuduhan serupa. Pada era 2009-2010, Presiden AS Barack Obama kepada Sprint dan AT&T sudah mengatakan, kontrak pemerintahan AS dalam risiko jika mereka menggunakan peralatan buatan Huawei dalam jaringannya.
Tidak satu tuduhan pun sejak 1978, awal reformasi, dan keterbukaan ekonomi (gaige kaifang) mampu menghambat laju pembangunan ekonomi China. Berdasarkan sejarah, China mengalami banyak kekacauan karena kesalahan sendiri. Ini memudahkan imperialisme asing masuk untuk mendikte. Kelemahan domestik masa lalu disadari telah melemahkan negara.

Seorang anggota staf Huawei menggunakan ponselnya pada acara Huawei Digital Transformation Showcase di Shenzhen, China, 6 Maret 2019. Perusahaan-perusahaan AS seperti Google menghentikan hubungan bisnis dengan Huawei setelah ada larangan dari Presiden AS Donald Trump.
Menurut Profesor Rana Mitter dari University of Oxford, China kemudian belajar dari sejarahnya. ”Negara ini barangkali adalah yang paling sadar akan sejarah sendiri dibandingkan dengan negara mana pun di dunia,” demikian Mitter.
Ketertutupan dianggap sebagai salah satu kesalahan fatal sejarah. Keterbukaan ekonomi kemudian menjadi yang paling dikejar walau terkendali. Terbuka dan transformatif, itulah kini karakter China.
”Kita kini hidup pada era China dengan transformasi signifikan. Sejarawan masa depan akan mengamati bahwa sebuah negara yang miskin dan tertutup hingga 1978, dalam seperempat abad menjadi perekonomian terbesar kedua di dunia,” lanjut Mitter.
Keterbukaan dipacu semangat almarhum pemimpin China, Deng Xiaoping. Kemajuan pesat pun dicapai sejak itu. Kemudian aspek harmoni dan perubahan sikap para elite menjadi penekanan pada pemimpin China berikutnya.
Reformasi tiada henti
Setelah melewati fase Kuznets—merujuk pada ekonom AS Simon Kuznets, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1971—di era Presiden Hu Jintao, China melakukan perbaikan pada sistem pemerintahan. Kemajuan ekonomi rupanya diikuti ketimpangan yang menonjol di era Deng dan Presiden Jiang Zemin.
Ini jalan alamiah perekonomian, di mana kemajuan di awal industrialisasi umumnya diikuti ketimpangan untuk kemudian dilakukan perbaikan, postulat Kuznets. Maka pada era Presiden Hu dinyatakan, praktik korupsi dan ketimpangan menjadi penekanan berat untuk diatasi. Jika tidak, ini akan menjadi awal kejatuhan partai bahkan negara. Ini menjadi peringatan keras dari Presiden Hu.

Presiden China Xi Jinping dalam sebuah acara di Beijing, China, 27 April 2019. Program Made in China 2025 yang muncul di era pemerintahan Xi begitu menakutkan bagi AS.
Sembari itu, inovasi terus dicanangkan walau negara tidak lengah soal penekanan pada harmoni. Aspek harmoni, cengkeraman kuat pada kekuasaan, ditegaskan pada era Presiden Xi Jinping. Namun di bawah Xi, muncul program yang menakutkan AS, yakni program Made in China 2025 pada 2015 lalu.
Baca juga: Tidak Ada Logika dalam Taktik Dagang Trump
Untuk program ini, para peneliti andal Barat didatangkan. Bahkan pasangan futurolog John dan Doris Naisbitt kini menjadi penasihat di China. Ini melengkapi program ekonomi yang saksama dengan belajar dari perencanaan ekonomi Barat.
Infrastruktur negara terus dilengkapi hingga ke jaringan teknologi informasi. Jaringan produksi diperkuat mulai dari ketersediaan tenaga kerja terampil, prasarana jalan panjang dan mulus serta terintegrasi, hingga keberadaan pelabuhan tercanggih. China memperdalam status sebagai basis produksi dunia yang terkait erat dengan perusahaan multinasional. China turut membentuk mata rantai produksi dunia, yang sudah sulit dipecah.
Menjadi saling tergantung
Program seperti ini semakin memperkuat posisi korporasi China yang juga memang memiliki bibit-bibit entrepreneurship. Ren Zhengfei, pendiri Huawei, salah satu di antaranya. Jaringan dan relasi China serta korporasinya ke seluruh dunia semakin kuat.
”Adalah naif jika hubungan AS-China dipandang sebagai zero-sum game. Perekonomian kedua negara sangat terintegrasi,” demikian kata John Naisbitt.

Pendiri dan CEO Huawei Ren Zhengfei
Hubungan AS-China jika dilihat lebih dalam adalah juga hubungan yang membuat keduanya saling ketagihan. Konsumen AS bergantung pada produk buatan China. Dan sebaliknya, China membutuhkan pasar dan konsumen AS. Jika Trump ingin merusak fabrikasi ini, sama saja dengan merusak fabrikasi negaranya sendiri.
Baca juga: AS Mati-matian Menekan Huawei, Asia Bergeming
Lalu jika Trump nekat, sesuatu yang tidak mungkin, apakah China akan kacau? China tidak akan kacau. Dunia sedang melihat AS kacau akibat ulah Trump. Benang merahnya di sini adalah China ”ketagihan” untuk terbuka. China juga dekat ke Rusia, bahkan bernada membujuk bagi AS yang sering mutung. China juga dekat ke Eropa, Afrika, dan Amerika Latin, dan tentu menyatu dengan Asia. Jadi mutungnya Trump tak akan merusak China.
Laporan Desember 2018 dari McKinsey bahkan menunjukkan kisah yang berbeda. Dunia lebih membutuhkan AS sehubungan dengan perkembangan ekonomi domestik, di mana kekuatan ekonomi domestik menjadi andalan ekonomi China, yang menjadi incaran korporasi AS juga.
Meski demikian China tidak mengendurkan relasi dengan Barat. Sebab, China belajar dari sejarah di mana ketertutupan pernah menyengsarakan. Klaus Muhlhahn, profesor sejarah dan kultur China dari Free University of Berlin, lewat bukunya, Making China Modern, Harvard University Press, Januari 2019, menegaskan manfaat reformasi dan keterbukaan bagi kebesaran China. Dengan demikian, musuh utama China adalah jika negara ini mundur dari gaige kaifang, bukan akibat ancaman Trump.
Falsafah tangguh
Menanggapi tentangan Trump yang mencoba merusak jaringan bisnis Huawei, Ren menjawabnya dengan falsafah. ”Sejak zaman kuno, para pahlawan selalu melewati banyak kesulitan. Bagaimana Anda bisa menjadi kuat tanpa luka-luka?” kata Ren kepada televisi CNN, 4 April 2019.

Ren hendak mengatakan, Huawei yang juga pahlawan perusahaan China tidak akan bisa membesar tanpa tantangan. Maka, ketika Presiden AS Donald Trump pada awal Mei 2019 melarang perusahaan AS berbisnis dengan Huawei, jawaban Ren sangat memerangahkan. Ren tidak mau pelarangan Trump itu membuat para pekerja Huawei menjadi anti-AS.
Bahkan ketika konsumen China menyerukan pengalihan penggunaan produk Apple ke produk Huawei, Ren menolaknya. ”Ini semua bukan salah perusahaan-perusahaan AS,” kata Ren.
”Mendukung Huawei saat situasi sulit tidak berarti harus beralih ke pembelian produk Huawei. Tidak perlu menyebut pemakai Huawei adalah patriotis dan pemakai Apple tidak patriotis. Warga harus menolak populisme karena bisnis tidak ada urusan dengan politik,” kata Ren.
Dia menekankan kerja sama global adalah keharusan bagi pertumbuhan industri. ”Tidak seorang pun bisa menekan inovasi dan pengembangan teknologi,” katanya.
Tentu sanksi Trump telah menyebabkan kerepotan besar bagi Huawei. Akan tetapi, Ren memohon agar warga China, ”Jangan menyalahkan perusahaan-perusahaan AS. Saya berterima kasih pada mereka karena telah berkontribusi banyak bagi pengembangan Huawei,” kata Ren.
Memaklumi para mitra
Ketika banyak perusahaan asal AS memaklumatkan putus relasi bisnis dengan Huawei, Ren bersikap tenang. Google dan Microsoft termasuk yang langsung memutus hubungan akibat perintah Trump. Namun, pendiri Huawei ini memaklumi situasi yang dihadapi Google. Dia mengatakan Huawei masih terus berkomunikasi untuk bekerja sama dengan Google.

Kombinasi gambar menunjukkan logo perusahaan teknologi AS, Google, dan logo perusahaan elektronik Cina, Huawei. Google, yang sistem operasi Android-nya memberdayakan sebagian besar ponsel di dunia, mengatakan, 19 Mei 2019, mereka mulai memutuskan hubungan dengan Huawei.
Ren memuji perusahaan AS sebagai perusahaan yang bertanggung jawab. Relasi Huawei lainnya yang juga memutus hubungan adalah Qualcomm, Intel, dan Broadcom. Infineon Technologies (Jerman) serta Micron Technology dan Western Digital, dua perusahaan AS pembuat chip, juga mengikuti langkah Google.
Operator Inggris EE dan Vodafone mengumumkan akan menghentikan penawaran telepon 5G Huawei kepada para pelanggan. ARM, pembuat chip asal Inggris, juga akan menghentikan bisnis dengan Huawei.
Akan tetapi, Ren tidak berang. Ren menekankan Huawei selalu membutuhkan chip asal AS dan selalu membutuhkan mitra AS dan global. Sukses Huawei adalah juga akibat globalisasi.

Hanya saja Ren sadar bahwa ada unsur geopolitik dalam relasi internasional dan ini tidak semata-mata karena faktor China. Ini adalah urusan power politics, di mana biasa terjadi keinginan untuk selalu menjadi yang terdepan.
Dalam konteks itu, Ren memaklumi jika benturan China dengan AS tidak terhindarkan sebab kini China tampil sebagai tandingan bagi dominasi AS dalam geopolitik. Ren mengakui visi Huawei menjadi pemain global mengancam kepentingan AS, setidaknya kepentingan AS dalam dominasi bisnis.
Sekali lagi, tentu ada efek dalam benturan ini. Akan tetapi Ren mengatakan, rencana 5G yang dilakukan Huawei tidak terpengaruh dan rival Huawei tidak akan bisa mengejar dalam dua atau tiga tahun ke depan soal teknologi 5G.

Logo produsen perangkat telekomunikasi China, Huawei, terpasang dalam salah satu pameran di Beijing, China, pada September 2018. Huawei percaya teknologi 5G mereka tidak akan terkejar oleh rival dalam beberapa tahun ke depan.
Ren optimistis dengan bisnis Huawei karena ada persiapan dan langkah yang sudah lama dilakukan untuk mengantisipasi tekanan AS. Dia juga melihat kasus yang menerpa Huawei bukan sebuah preseden. Ren mengenang pemenjaraan seorang manajer Alstom unit AS, juga terkait persaingan bisnis. Oleh sebab itu, Ren paham dengan penahanan putrinya, yang juga Direktur Keuangan Huawei, Meng Wanzhou, pada Desember 2018, atas permintaan AS di Vancouver, Kanada.
Ren menyadari, reaksi terhadap tindakan seperti itu bukan membalas, melainkan terus mengembangkan diri. Huawei telah mendirikan unit semikonduktor, HiSilicon, penghasil chip untuk produk telepon seluler dan server. Ini langkah yang dilakukan untuk mengantisipasi gangguan pasokan dari Barat. Huawei telah mempersiapkan diri untuk menghadapi skenario terburuk, seperti dikatakan Presiden HiSilicon Teresa He Tingbo.
Untuk unit smartphone, eksekutif Huawei Richard Yu Chengdong juga sudah mengonfirmasikan bahwa perusahaan itu sejak 2012 telah mengembangkan sistem operasi (OS) sendiri untuk menggantikan Android dari Google. Sistem operasi tersebut bernama Hongmeng, yang sudah dipatenkan namanya oleh Huawei.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2F67821652.jpg)
Salah satu ponsel buatan Huawei, P20 Pro, tampak dari depan, Kamis (28/6/2018). Sehubungan dengan pencabutan lisensi Android dari Google, Huawei serius mengembangkan sistem operasi buatan sendiri yang diberi nama Hongmeng.
Huawei tidak mudah menyerah dan terus berupaya mendapatkan chip buatan AS. Akan tetapi, Huawei juga memiliki rencana cadangan. Huawei mampu membuat semikonduktor setara kualitas buatan AS. ”Huawei memiliki banyak konsultan dari perusahaan AS seperti IBM,” kata Ren.
Tidak akan berhasil
Penyingkiran Huawei oleh Trump diperkirakan akan gagal dengan sendirinya. Belum sebulan Trump mengeluarkan niatnya, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mendadak melonggarkan pelarangan. AS memberi lagi waktu 90 hari sejak awal Mei bagi Google untuk terus berhubungan bisnis dengan Huawei.
Kemudian Trump memang terlihat tidak serius dengan ancamannya. Tak lama kemudian Trump mengatakan, pelarangan pada perusahaan AS agar tidak berhubungan dengan Huawei agar dimasukkan ke dalam konteks perundingan dagang. Artinya, jika China memberi konsesi ekonomi pada AS, pelarangan dicabut.
Konsesi yang dimaksud adalah agar China membebaskan pasarnya bagi kepentingan bisnis AS dan juga menghentikan program Made in China 2025. Benarlah kata jubir Kementerian Perdagangan China Gao Feng bahwa Huawei menjadi bully dari AS, alat untuk memaksa China memenuhi segala keinginan bisnis AS.
”Respons terbaik terhadap bully AS adalah dengan terus bertumbuh dan berkembang dengan memproduksi barang berkualitas baik bagi dunia,” kata Gao. (AFP/AP/REUTERS)