Perlu gerak cepat mendorong industrialisasi yang inklusif di sektor padat karya agar mimpi menjadi negara maju tercapai.
Oleh
AGNES THEODORA, DIMAS WARADITYA
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Aktivitas pekerjaan alat berat pada pembangunan pabrik battery system Hyundai Energy Indonesia di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (31/5/2023). Pabrik battery system itu dibangun di lahan seluas 32.188 meter persegi. Adapun produksi massal pada pabrik tersebut ditargetkan pada paruh pertama tahun 2024.
Indonesia bercita-cita naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045 ketika menginjak usia satu abad. Industrialisasi yang inklusif dan padat karya menjadi strategi kunci untuk mencapai tujuan itu. Namun, waktu yang tersisa tidak lama lagi karena dikejar oleh tenggat bonus demografi.
Berdasarkan laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 2020-2050 akan melambat secara bertahap dari tahun ke tahun, meskipun proyeksi pertumbuhan penduduk tetap positif.
Laporan itu memperkirakan Indonesia saat ini sudah masuk periode akhir puncak bonus demografi, yang diawali sejak tahun 2012. Bonus demografi adalah kondisi ketika masyarakat berusia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada masyarakat berusia nonproduktif (di atas 64 tahun).
Dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus melambat dan meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia), Bappenas memproyeksikan bonus demografi akan berakhir paling cepat pada 2039. Tahun 2045, RI diperkirakan akan turun dari peringkat ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia menjadi peringkat ke-6, disalip Nigeria dan Pakistan.
Namun, bonus demografi tidak selalu menjadi berkah atau peluang. Ia bisa menjadi ancaman jika tidak diiringi dengan penciptaan lapangan kerja yang luas dan berkualitas untuk menyerap ”ledakan” penduduk berusia produktif itu.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Ilustrasi pekerja proyek properti berjalan menuju tempat kerja mereka di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Selasa (8/12/2020). Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia terdisrupsi akibat pandemi Covid-19. Jumlah pekerja di sektor informal semakin membesar melampaui pekerja yang terserap di sektor formal.
Di sinilah pentingnya pembangunan industri atau industrialisasi yang inklusif dan padat karya. Saat ini saja angkatan kerja sebagian besar masih terserap di sektor informal. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pekerja informal mencakup 60,12 persen dari total pekerja atau 83,34 juta orang. Hanya 39,88 persen atau 55,29 juta yang bekerja di sektor formal.
Peran penting industrialisasi itu akan dikupas dalam diskusi panel Kompas100 CEO Forum di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, 1 November 2023. Diskusi akan disiarkan secara langsung melalui akun harian Kompas di kanal Youtube pada pukul 16.00 Wita atau 15.00 WIB.
Lima menteri akan hadir secara langsung, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas.
Melihat kondisi sekarang, saya khawatir bonus demografi justru bisa menjadi liability (beban), bukan aset.
Jangan jadi beban
Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, gejala deindustrialisasi dini sudah mulai terasa, yang salah satunya tampak lewat penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal itu disebabkan oleh iklim usaha yang belum efisien dan berbiaya tinggi di Indonesia.
Ia menilai, waktu yang tersisa menuju Indonesia Emas 2045 tidak lama lagi. Jika tidak bergerak cepat mendorong industrialisasi di sektor padat karya untuk menciptakan banyak lapangan kerja, mimpi menjadi negara dengan ekonomi nomor empat terbesar di dunia bisa kandas.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa (ketiga dari kiri) berbincang dengan para narasumber yang hadir, yaitu (dari kiri ke kanan) Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia Arif Suhartono; ekonom senior Indonesia, Hendri Saparini; Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk Hery Gunardi; Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Maliki; bersama Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra (kedua dari kiri) dan Redaktur Senior Harian Kompas Rikard Bagun dalam acara Kompas100 CEO Forum ke-14 di Jakarta, Senin (23/10/2023).
”Kita harus lebih spesifik lagi menjalankan industrialisasi, khususnya soal ketenagakerjaan. Melihat kondisi sekarang, saya khawatir bonus demografi justru bisa menjadi liability (beban), bukan aset, karena penciptaan lapangan pekerjaan yang ada sekarang tidak cukup,” ujarnya.
Belakangan ini, tanda-tanda perlambatan industri manufaktur semakin nyata. Data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) terbaru edisi Oktober 2023 menunjukkan, kendati masih ekspansif, IKI melambat 1,81 poin menjadi 50,70, mendekati ambang batas kondisi kontraksi. Batas level 50 ke atas menunjukkan kondisi manufaktur sedang ekspansif, sedangkan level 50 ke bawah menandakan manufaktur terkontraksi.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, ada tiga faktor yang menggerus nilai IKI, yaitu penurunan daya beli global dan kenaikan suku bunga pinjaman, pelemahan nilai tukar rupiah yang mengerek biaya produksi, dan banjirnya produk impor yang membuat industri nasional semakin sulit bersaing di pasar dalam negeri.
”Aparat penegak hukum dan kementerian/lembaga terkait belum bisa meredam banjirnya barang impor dan barang ilegal yang menggerogoti pasar produsen domestik,” ujarnya.
Waspadai perlambatan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pelemahan daya beli global menurunkan permintaan terhadap sektor manufaktur. Untungnya, industri manufaktur nasional mampu ekspansif meski terimpit tren inflasi global dan suku bunga tinggi negara-negara maju.
Purchasing Manager’s Index (PMI) atau Indeks PMI manufaktur Indonesia masih di zona ekspansi pada level 52,3 poin per September 2023, di tengah kontraksi PMI manufaktur negara lain di tingkat global.
Pelemahan daya beli global menurunkan permintaan terhadap sektor manufaktur.
Total dari 22 negara anggota gabungan G20 dan ASEAN 6, Kemenkeu mencatat sebanyak 70,8 persen berada di zona kontraksi atau berada di bawah level 50 poin, sedangkan hanya sebanyak 29,2 persen yang berada di zona ekspansi atau di atas level 50 poin, termasuk Indonesia.
Saat ini, PMI manufaktur mayoritas negara-negara kawasan Asia cenderung lebih ekspansif dibandingkan dengan negara di kawasan Eropa dan AS. ”Ini artinya mayoritas negara, terutama yang maju dan emerging, sedang dalam kondisi lesu dari sisi kegiatan manufaktur. Padahal, sektor ini sangat menentukan kesempatan kerja,” ujarnya.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Ilustrasi pekerja pabrik wig atau rambut palsu di Purbalingga, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Kendati ekspansif, Sri Mulyani tetap menyoroti tren perlambatan terhadap penerimaan pajak dari industri manufaktur nasional. Kementerian Keuangan mencatat, pertumbuhan penerimaan pajak dari industri pengolahan pada sembilan bulan pertama tahun ini sebesar 2,3 persen.
Pertumbuhan itu melambat dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 47,5 persen. Hal ini perlu diwaspadai karena sektor manufaktur menjadi penyumbang penerimaan pajak negara dengan porsi terbesar mencapai 27,3 persen.
”Kinerja penerimaan yang melambat ini disebabkan penurunan signifikan harga komoditas serta penurunan nilai impor,” ujarnya.