Kelicikan sebagai Parasit
Panen ginseng di Korea ”hanya” bisa dilakukan enam tahun sekali. Sebagaimana pula film Korea, setelah menanam selama 100 tahun, kini saatnya mereka memanen penghargaan dunia….
Kelicikan akan selalu berakhir dengan penderitaan. Pesan yang terdengar klise, tetapi itulah karma, ajaran tentang hukum sebab akibat, yang banyak menginspirasi perilaku hidup di negeri Timur.
Karma bahkan dianggap menjadi kontrol manusia di dalam mengekang keliaran perilakunya sendiri. Ia seolah menjadi kompas hidup, pegangan manusia untuk menuju kedekatan dirinya dengan Sang Pencipta.
Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi Timur, Bong Joon Ho, yang baru saja menyabet predikat sebagai Sutradara Terbaik dalam ajang Academy Award, penganut ajaran Karma yang setia.
Kisah yang ia tuangkan dalam film Parasite ibarat pesan ketimuran yang sebenarnya terlalu biasa digarap dalam film-film Hollywood. Bedanya, Hollywood selalu stereotip dan hitam-putih dalam melihat realitas peristiwa.
Seorang superhero seperti Superman, Capten America, Iron Man, Batman, Superwomen, Cat Women, dan Spider Man, pada akhirnya akan mampu mengalahkan penjahat besar sekaliber Joker, Thanos, atau Korvac, dan juga Apocalypse.
Parasite tidak hitam-putih dalam memotret realitas hidup. Segregasi antarkelas yang terjadi dalam kehidupan di Kota Seoul diciptakan oleh kondisi sosial yang timpang.
Banyak orang miskin yang umumnya dicap kurang berpendidikan, bodoh, tak beretika seperti Kim Ki-taek (Kang-ho Song), nyatanya menyimpan kelicikan.
Sebaliknya orang kaya seperti keluarga Park Dong-ik (Lee Sun-kyun) diberi predikat berpendidikan tinggi, pintar, beretika, hidup teratur, tetapi memiliki sisi-sisi naif.
Baca juga : Tubuh Traumatik Perbatasan
Bong kemudian mengeksplorasi sisi licik dan naif dari dua kelas sosial berbeda di Korea, sebagai inti dari pengembangan plot ceritanya. Licik akhirnya berkembang menjadi jahat dan kejam, sementara naif menjadi korban yang tak berdaya. Di tengah-tengah usaha mengembangkan cerita, Bong menyertakan unsur-unsur komedi satire.
Agak aneh di tengah kekhusyukan menonton Parasite yang diinisiasi Kedutaaan Besar Korea Selatan, Jumat (14/2/2020) di Jakarta, saya justru teringat cerita rakyat berjudul Pan Balang Tamak.
Seorang tokoh bernama Pan Balang Tamak, dalam cerita rakyat Bali ini, dikenal sangat licik, tetapi juga cerdik. Ia selalu mencari akal untuk memperdayai kewajiban dan aturan, yang seharusnya dipikul oleh setiap anggota komunitas bernama banjar.
Salah satu perilakunya, memperdaya Perbekel (Kepala Desa), yang mengeluarkan arah-arah (pengumuman) agar semua anggota banjar bergotong royong untuk mempersiapkan upacara di Pura Desa.
”Semua warga wajib sudah tiba sesudah ayam turun dari peraduan,” katanya.
Baca juga : Teater Raja-raja Gadungan
Hampir seluruh warga mengerti dan benar-benar patuh untuk hadir tepat waktu ketika ayam-ayam turun dari peraduan. Pada masa sekarang diperkirakan waktunya, sekitar pukul 06.00 di pagi hari.
Pan Balang Tamak punya pandangan lain. Ia datang tengah hari, tepat ketika seluruh warga banjar seusai melakukan tugas bergotong royong.
”Balang Tamak, karena kamu terlambat maka kamu akan didenda 5 uang kepeng emas,” kata Perbekel.
”Saya telah berbuat sebagaimana aturan,” kata Balang Tamak.
”Maksudmu?”
”Ayam di rumah saya baru turun dari peraduan tepat di tengah hari.”
”Kami tidak yakin,” timpal Kepala Desa.
Kepala Desa dan warga kemudian sepakat untuk mengecek langsung ke rumah Pan Balang Tamak. Mereka kemudian benar-benar mendapatkan seekor ayam yang sedang mengerami telur baru turun dari sarangnya tepat di tengah hari.
”Apakah saya salah?” tanya Pan Balang Tamak.
Baca juga : Tanah Air Hiperrealitas
Kepala Desa tak menjawab. Seluruh warga kemudian membubarkan diri. Diam-diam mereka melaporkan Pan Balang Tamak kepada raja. Raja dan Perbekel serta seluruh warga sepakat untuk menjebak Pan Balang Tamak.
Raja mengundang Pan Balang Tamak ke istana untuk jamuan makan bersama. Di rumah, Balang Tamak berbisik kepada istrinya bahwa ia sedang dijebak oleh raja.
Singkat cerita, Balang Tamak makan dan minum makanan yang sebenarnya telah dibubuhi racun. Benar saja ketika pulang mendadak perutnya sakit dan tak lama kemudian meninggal.
Istrinya mendudukkan jenazah Pan Balang Tamak di pura keluarga sembari mengikat ratusan lebah. Warga kemudian mendapat laporan bahwa Pan Balang Tamak tak mempan racun. Ia bahkan khusyuk berdoa di pura keluarga dengan mantra-mantra yang terdengar sampai ke rumah warga.
Tanpa pikir panjang, raja dan Perbekel yang penasaran mencoba minum racun. Celaka dua belas, mereka kemudian menjadi korban dari jebakannya sendiri. Sementara kisah Pan Balang Tamak masih berlanjut dengan kelicikan yang telah ia persiapkan sampai kemudian jenazahnya benar-benar hancur di sebuah peti berukir. Warga bahkan memujanya sebagai orang yang ”sakti” karena tak mempan oleh racun.
Baca juga : Garin dalam Sepotong Puisi
Dalam kisah Bong, lelaki parasit seperti Kim harus berakhir di sebuah ruang bawah tanah, yang tak seorang pun tahu, kecuali samar-samar oleh anak lelakinya Ki-woo alias Kevin (Woo-sik Choi) lewat kode morse dalam sebuah lampu.
Kim selamat dari kejaran aparat keamanan sebagai tersangka pembunuh Park, tetapi hidupnya tak beranjak jauh dari kehidupan sebelumnya. Ia tetap menderita dan hidup seperti tikus got.
Kim dan Pan Balang Tamak, sama-sama berbuat licik dan ingin mengambil keuntungan dengan kelicikannya terhadap orang-orang yang mereka cap sebagai ”naif”.
Keluarga Park, terutama istrinya, Choi Yeon-gyo (Cho Yeo-jeong), adalah orang yang baik hati, tetapi naif. Ia tidak menangkap kesan licik dan tidak jujur dari Kevin ketika menawarkan adiknya, ayahnya, dan kemudian ibunya, untuk bekerja di rumah keluarga Park.
Choi atas dasar kebutuhan dan keinginan untuk mendidik anak-anaknya secara baik menjadi kurang waspada terhadap kelicikan keluarga Kim. Sebagai orang yang memegang teguh karma, Bong menghukum keluarga Kim, tetapi ia juga ”menghukum” Park atas kebaikan dan kenaifannya.
Baca juga : Antagonisme Air Banjir
Pan Balang Tamak menemui ajalnya oleh racun raja, tetapi raja juga tewas oleh racunnya sendiri. Tidak ada hitam dan putih, bukan? Jauh dari stereotip film-film Hollywood yang selama ini selalu melihat Rusia dan Timur Tengah sebagai orang jahat, misalnya.
Inikah kelebihan Parasite sehingga pantas diganjar empat Piala Oscar, yang selama 92 tahun pelaksanaan Academy Award tidak pernah diberikan kepada film berbahasa di luar Inggris?
Saya pastikan tidak. Cara melihat dunia yang tidak hitam putih ini sesungguhnya menggantungkan diri pada filsafat kosmosentris, di mana alam semesta menjadi sumber dari segala upaya manusia dalam memecahkan persoalan kebenaran.
Di kutub lainnya, dan ini bisanya dianut manusia Barat, ada antroposentris yang meletakkan dasar-dasar kebenaran pada rasionalitas manusia. Segala sesuatu bisa dipecahkan lewat akal manusia, alam hanya obyek eksploitasi sebagai medium untuk membenarkan dalil-dalil rasionalitas.
Bagaimana karma bekerja?
Seni, terutama film, teater, dan novel selalu menjadi cuplikan dari siklus kehidupan manusia. Ia hanya satu episode pendek dari perjalanan ketersambungan ”hidup” manusia dengan segala laku dan perbuatannya.
Baca juga : Penanggalan Merah Gus Dur
Karma tak lain adalah ”investasi” perbuatan yang ditanam manusia sejak masa lalu sampai kepada masa kini dan masa depannya. Kemiskinan keluarga Kim, yang mencoba bertahan hidup dengan melipat kardus piza, tak pernah beranjak menjadi kebaikan. Pekerjaan sesederhana itu pun tak becus mereka selesaikan. Karma percaya bahwa itu adalah akibat dari perbuatan di masa lalu mereka.
Bukti paling konkretnya, bangsa Korea telah bekerja selama 100 tahun sejak film pertama The Righteous Revenge diputar tahun 1919 di Seoul. Akhirnya mereka berhasil memetik buah Oscar dari bangsa Amerika.
Film Parasite menggondol predikat sebagai film terbaik, sutradara terbaik, skenario asli terbaik, dan film internasional terbaik. Semua itu diraih tidak dengan mudah.
Orang-orang Korea telah bekerja keras untuk mendidik para insan dan penonton film, dengan segala kejujuran dan kesungguhan hati, sampai akhirnya mereka memetik keberhasilan.
Baca juga : Inkulturasi Sebatang Bambu
Teman saya, Jin-taek Ahn, seorang manager sebuah pabrik ginseng terkenal di Korea berkata, ”Semua berkat adonan kerja keras, disiplin, kejujuran, dan kesabaran menanam,” katanya.
Sekadar tahu, panen ginseng di Korea ”hanya” bisa dilakukan enam tahun sekali. Sebagaimana pula film Korea, setelah menanam selama 100 tahun, kini saatnya mereka memanen penghargaan dunia….