Kisah Fotografer ”Kompas” Meliput Pandemi Covid-19
Fotografer termasuk profesi yang sulit bekerja di rumah saja dalam situasi pandemi Covid-19. Fotografer ”Kompas”, Agus Susanto, berkisah pengalamannya memotret banyak hal, termasuk penguburan jenazah pasien Covid-19.
Pemberitaan tentang Covid-19 sudah mulai ramai sejak awal tahun 2020. Di Tanah Air, cerita tentang penyakit ini semakin membanjiri pemberitaan pada awal Maret lalu.
Rasanya, saya wartawan foto Kompas yang terlambat dalam meliput Covid-19. Saya baru pulang ke Jakarta tanggal 13 Maret 2020 setelah 14 hari mengikuti Ekspedisi Tanah Papua bersama tiga wartawan Kompas lain.
Sementara Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengumumkan adanya dua warga Indonesia yang positif terinfeksi Covid-19 pada Senin (2/3/2020).
Saya baru liputan penuh terkait Covid-19 tanggal 16 Maret. Hari-hari pertama liputan, saya menghasilkan foto-foto feature terkait regulasi ganjil genap di sejumlah ruas jalan di Jakarta demi pencegahan penyebaran Covid-19.
Untuk liputan tersebut, saya cukup menggunakan lensa tele dan memotret dari jembatan penyeberangan orang yang sepi. Dari situ, saya bergeser ke wilayah publik yang terdampak, seperti Terminal Blok M, Kampung Melayu, Pulogadung, Senen, hingga Pulogebang yang sepi.
Namun, mau tidak mau terjadi juga kontak pembicaraan dengan orang di sekitar. Saya berusaha seminimal mungkin memberikan pertanyaan dan tetap menjaga jarak, terlebih dengan orang yang tidak memakai masker.
Baca juga : Melacak Hariamu yang Terusir dari Rumahnya
Sayangnya, ketika saya menerbangkan pesawat nirawak (drone) untuk memotret jalan lengang atau taman kota yang tutup, tidak jarang orang-orang di sekitar justru mendekat dan ingin melihat hasil foto di layar telepon genggam. Gagal-lah usaha menjaga jarak.
Liputan dengan banyak wartawan dan sedikit berdesakan juga harus saya alami sewaktu acara penyemprotan disinfektan di LP Cipinang yang dihadiri Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jumat (20/3/2020).
Pembaruan informasi seputar Covid-19 dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dilakukan setiap hari. Wartawan foto harus bisa menerjemahkan perkembangan itu disesuaikan dengan kondisi lapangan. Termasuk perkembangan paling tidak mengenakkan, yakni meningkatnya jumlah korban jiwa akibat wabah ini.
Setelah berkonsultasi dengan rekan-rekan Desk Foto Kompas, akhirnyasaya berangkat ke TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Minggu (29/3/2020) pukul 07.30. Lokasi ini salah satu yang disiapkan Pemprov DKI Jakarta sebagai tempat pemakaman pasien meninggal akibat Covid-19. Tidak lupa, saya membekali diri dengan alat pelindung diri (APD) yang lengkap.
Baca juga : Jatuh Bangun Liputan Jembatan Putus di Pedalaman Solok, Sumatera Barat
Setelah berkeliling di kawasan makam yang luasnya mencapai 70 hektar, akhirnya tiba juga saya di satu blok, khusus untuk pemakaman jenazah Covid-19. Sebelumnya saya sempat ”paranoid”. Sewaktu naik sepeda motor berkeliling makam, saya bertemu warga yang batuk-batuk di tengah angin yang berembus lumayan kencang.
Pikiran jadi sulit berkonsentrasi, antara ingin meninggalkan tempat dan bertahan. Namun, saya berpikir, sudah sampai sini, tanggung juga kalau belum dapat fotonya.
Dari kejauhan, terlihat petugas pemakaman berseragam hijau-hijau tengah beristirahat di bawah pohon. Sebuah ekskavator untuk meratakan tanah tampak diam tak bergerak.
Dengan tetap menjaga jarak, saya melepas helm lalu mengganti masker dengan jenis N-95, memakai sarung tangan, kacamata pelindung, dan tutup kepala. Setelah menanti selama satu jam, sebuah ambulans tiba membawa jenazah Covid-19. Petugas pemakaman bergegas memakai jas hujan, masker, dan sarung tangan.
Baca juga : Terjebak di Depan Kuburan dan Dikira Intelijen
Saya juga bergegas mengeluarkan lensa 70-300 mm. Pemakaman berlangsung cepat. Anggota keluarga yang datang dibatasi. Merasa foto-foto saya belum lengkap, saya memutuskan menunggu ambulans berikutnya.
Petugas pemakaman mulai melepas jas hujan, mencuci tangan dengan sabun, dan beristirahat sembari makan siang. Saya sempat ikut ditawari minum teh hangat dan makanan, yang terpaksa saya tolak dengan sopan, ”Barusan makan, Pak, dan sudah bawa minum sendiri.”
Akhirnya, ngobrol juga saya dengan mereka di sela-sela menunggu jenazah. ”Beritanya yang baik-baik, ya, Dik. Kami hanya perlu pelindung yang memadai karena ini sudah tugas kami. Kami juga punya keluarga di rumah,” kata seorang petugas.
Mereka bekerja dari pagi hingga tengah malam karena pemakaman pasien meninggal Covid-19 hanya diberi waktu empat jam sejak waktu kematian. Jenazah harus segera dimakamkan.
Ditolak
Proses liputan pun tidak selamanya mulus. Pernah pula saya ditolak saat hendak memotret proses tes cepat Covid-19 di RSUD Pasar Minggu, Sabtu (4/4/2020).
Setelah 30 menit berada di lokasi dan memotret dalam jarak aman menggunakan lensa tele, seorang petugas keamanan menghampiri dan meminta saya meninggalkan lokasi dengan alasan harus memperoleh izin tambahan dari manajemen rumah sakit.
Selama bekerja di tengah pandemi Covid-19, seorang fotografer perlu memperhatikan protokol yang ditetapkan. Pewarta Foto Indonesia dan Dewan Pers telah mengeluarkan standar peliputan selama pandemi. Demikian pula kantor tempat saya bekerja, yang harus diikuti.
Wartawan foto harus membawa alat pelindung, seperti masker, sarung tangan, dan kacamata. Kegunaannya disesuaikan di lapangan. Kita harus tahu daerah peliputan yang didatangi, masuk zona merah atau bukan. Kalau bukan, cukup pakai masker kain katun biasa. Sementara kalau di zona merah, berganti pakai masker N-95.
Untuk merencanakan liputan, saya mengembangkannya dari berita-berita yang muncul di harian Kompas dan Kompas.id, media sosial seperti Twitter dengan mengikuti akun tokoh-tokoh atau lembaga yang kompeten di bidangnya, WA grup, serta dari televisi dan kantor berita.
Namun, di lapangan, ternyata saya banyak memperoleh foto dari hasil berkeliling naik sepeda motor tanpa informasi sebelumnya. Misalnya, saat ramai-ramai soal APD. Saya hanya berpikir, kok, kami belum punya fotonya.
Akhirnya, saya berinisiatif ke Pusat Industri Kecil (PIK) Penggilingan meskipun belum tahu di sana ada atau tidak produsen APD. Setelah berkeliling dari satu UKM ke UKM lain, akhirnya ketemu juga.
Hal serupa terjadi untuk foto badut yang memakai kostum Covid-19 di kawasan Senayan, kapsul evakuasi berbahan plastik yang dijual di Pasar Pramuka, serta tes cepat Covid-19 untuk santriwati yang dipulangkan dari Pondok Pesantren Modern Gontor di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Minggu (12/4/2020).
Tiap hari liputan Covid-19. Ada perasaan waswas, positif enggak ya? Rasa itu selalu menghantui mengingat setiap hari keluar rumah dan berpapasan dengan banyak orang yang tidak kita kenal riwayat perjalanannya.
Rasa waswas tidak berkurang meskipun belum lama ini saya mendapat vaksin influenza. Karena vaksin itu, kan, bukan khusus untuk menangkal Covid-19. Meskipun lumayan juga untuk berjaga-jaga, minimal agar tidak gampang flu sehingga stamina tubuh terjaga.
Sempat beredar juga informasi klorokuin sebagai obat Covid-19. Kebetulan saya sempat rutin meminum obat antimalaria itu seminggu sekali sebelum mengikuti Ekspedisi Tanah Papua 2020. Alhamdulillah terhindar dari malaria meski tiap hari digigit nyamuk di hutan.
Akhirnya, datang juga kesempatan untuk mengikuti tes cepat Covid-19. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan halodoc menggelar tes cepat gratis untuk wartawan di area parkir kantor Kominfo, Jakarta, Rabu (8/4/2020).
Sebanyak 758 wartawan mengikuti tes tersebut pukul 09.00-14.00. Sempat deg-degan, bukan karena harus disuntik untuk diambil sampel darahnya, melainkan karena memikirkan hasil tes. Petugas memberi tahu, hasil tes kemungkinan baru keluar keesokan harinya.
Saya berusaha meyakinkan diri baik-baik saja karena selama ini sudah disiplin menjalankan protokol peliputan. Usai tes, saya mengarahkan sepeda motor ke kantor untuk menyetor foto.
Di jalan, ternyata saya mengalami peristiwa yang membuat jantung berdegup lebih kencang. Saat melewati lapak-lapak di Pasar Palmerah, tiba-tiba muncul seekor kucing yang berlari kencang memotong laju sepeda motor saya.
Meski saya sudah berusaha mengerem sebisa mungkin, tak bisa dihindari, kucing itu tertabrak dan mati. Innalillahi.... Duh, pertanda apa gerangan. Perasaan saya jadi kacau.
Saya meminta plastik pada penjual daging di dekat situ lalu meminta maaf pada kucing yang telah saya tabrak, seperti saran seorang bapak. Bapak itu kemudian bersedia membantu saya menguburkan jasad kucing tersebut. Saya menyampaikan terima kasih sembari menyelipkan uang kertas.
Rencana ke kantor untuk menyetor foto dan makan siang di kantin saya urungkan. Hanya sempat absen, saya langsung memutuskan pulang ke rumah sambil terus berdoa berharap yang terbaik. Sore hari, hasil tes cepat ternyata sudah bisa ditengok di aplikasi halodoc.
Hasilnya negatif! Alhamdulillah. Memang itu bukan tes reaksi rantai polimerasi (PCR) yang menandai langsung jejak virus dalam tubuh, tetapi cukup untuk meningkatkan keyakinan diri.
Tiba di rumah seusai liputan menjadi keribetan tersendiri karena ada protokol yang harus dijalani dengan disiplin. Seusai melewati pagar masuk, harus langsung dilanjutkan dengan cuci tangan dengan sabun dan dibilas menggunakan air mengalir. Lalu menyemprot barang-barang bawaan dengan disinfektan, seperti tas, baju, jaket, dan sepatu.
Kelangkaan disinfektan mendorong saya membuat sendiri dari pemutih pakaian atau pembersih lantai yang dicampur air dengan perbandingan tertentu.
Pakaian kotor, jaket, dan sepatu kemudian direndam dalam air berdetergen. Alat kerja, seperti kamera, lensa, dan pesawat nirawak, juga dibersihkan dengan tisu basah yang dicampur sedikit alkohol. Baru selesai itu, saya mandi dan keramas lalu setelahnya mengedit dan mengirim foto.
Di rumah, saya berusaha mengisolasi diri. Ruang tamu yang sepi dari aktivitas keluarga, saya manfaatkan untuk ruang kerja. Mau tidak mau saya juga harus tidur sendiran di ruang terpisah.
Shalat berjamaah yang biasanya saya lakukan dengan keluarga terpaksa dilakukan dengan cara saya shalat sendiri di lantai bawah, mengikuti anak saya yang menjadi imam di lantai atas. Semuanya dilakukan untuk kebaikan bersama.
Untuk menjaga stamina tubuh, saya lari treadmill dan yoga di dalam rumah. Sehari satu jam. Ini masih ditambah dengan konsumsi vitamin C, E, minyak ikan, dan madu, selain memperbanyak minum air putih dan makan buah-buahan.
Semoga pandemi Covid-19 ini cepat berlalu.