Kisah Turki, Kurdi, dan AS di Suriah Utara
Palagan di Suriah sejatinya adalah area pertarungan kepentingan yang bersilangan. Kurdi kesulitan mempertahankan kemitraannya dengan AS karena Turki memiliki kepentingan politik dan keamanan yang menuntut Kurdi harus dieliminasi.
Banyak kisah tentang hubungan Kurdi, Turki, dan Amerika Serikat di Suriah Utara. Ini muncul sejak pemimpin Uni Demokrasi Kurdistan (PYD) Saleh Muslim Muhammad kembali ke kota Qomishli di Suriah Timur Laut dari wilayah yang menjadi basis Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di pegunungan Qandil-Irak Utara tahun pada 2011. Bersamaan dengan meletusnya revolusi Suriah, juga pada 2011, Saleh Muslim membentuk Uni Pelindung Rakyat (YPG), sayap militer PYD.
YPG dengan cepat menguasai wilayah-wilayah berpenduduk mayoritas Kurdi di Suriah timur laut, utara, dan Afrin. Bahkan, YPG berhasil mengembalikan kota Kobane dari Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tahun 2015. Uniknya, YPG berhasil mengusir NIIS dari Kobane berkat bantuan Turki dan payung udara pasukan koalisi internasional pimpinan AS.
Turki mengizinkan milisi YPG menggunakan wilayah Turki untuk mengepung NIIS di kota Kobane. Saat itu, Turki memberi izin tersebut atas permintaan Presiden AS Barack Obama kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Terpikat
Keberhasilan YPG merebut kota Kobane dari NIIS membuat AS kepincut pada YPG dan mengajak berkoalisi untuk memerangi NIIS di Suriah. Turki saat itu sebenarnya sudah menawarkan diri kepada AS untuk bersama-sama melawan NIIS. Namun AS memilih berkerja sama dengan YPGi.
Sejak itu, AS memasok YPG dengan aneka senjata untuk melawan NIIS. Bahkan AS mengirim 250 pelatih untuk melatih milisi YPG. AS mendirikan pula kamp latihan untuk milisi YPG di kota Kobane, Hasakah, dan Rmeilan. AS pun memberi payung udara terhadap operasi YPG melawan NIIS hingga ke kota Raqqa dan Manbij. YPG dengan dukungan AS lalu membentuk Pasukan Demokrasi Suriah (SDF) tahun 2015 untuk melawan NIIS. SDF terdiri dari Arab dan Kurdi, tetapi mayoritas Kurdi.
Misi lain
Di sisi lain, YPG memanfaatkan berkembangnya NIIS untuk mendapat bantuan senjata dari AS. Arahnya, memperkuat diri untuk menghadapi konflik melawan Suriah atau Turki dalam upaya membentuk negara Kurdistan atau minimal otonomi luas di Kurdistan.
Impian kaum Kurdi adalah terciptanya wilayah kesatuan Kurdi atau Rojava (Kurdistan Barat) yang menyambung dari Kobane hingga Afrin. Kaum Kurdi di Suriah pada 17 Maret 2016 menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada era Suriah lama, dengan mendeklarasikan wilayah federal di Suriah Utara dan Timur Laut yang saat ini berada di bawah kontrol kaum Kurdi itu.
Deklarasi wilayah federal itu dibacakan dalam sebuah forum konferensi di kota Rmeilan, Provinsi Hassakeh, Suriah timur laut, yang melibatkan sekitar 150 tokoh dari Kurdi, Arab, Torkman (etnis Turki), dan Kristen Armenia.
Namun, secara politik, misi YPG kurang berhasil karena ditolak Damaskus ataupun Ankara. Bahkan, Turki sempat bermain mata dengan NIIS dengan memberi lampu hijau kepada NIIS menguasai Kobane, Jarablus, dan Manbij untuk mencegah terciptanya kesatuan wilayah Kurdistan di bawah YPG itu. Turki pun menggunakan NIIS untuk memerangi YPG. Bagi Turki, YPG lebih berbahaya dibandingkan NIIS.
Namun, aksi koalisi internasional pimpinan AS untuk menumpas NIIS memaksa Turki berbalik arah dengan ikut memerangi NIIS. Itulah yang memaksa Turki melancarkan operasi perisai Eufrat ke Jarablus dan wilayah Suriah utara lainnya pada Agustus 2016. Target sebenarnya adalah agar kota itu tidak diduduki YPG pasca- NIIS mundur dari kota itu.
Turki memutus penyatuan wilayah berpenduduk Kurdi, yaitu Afrin di barat dan Kobane di timur. Melanjutkan misinya, Turki kemudian menggelar operasi ranting Zaitun untuk menduduki Afrin pada Januari 2018. Jatuhnya Afrin ke tangan Turki mengakhiri impian Kurdi memiliki negara kesatuan Kurdistan.
Praktis YPG hanya mengontrol wilayah sepanjang tepi timur sungai Eufrat hingga perbatasan Suriah-Irak yang memanjang sekitar 450 kilometer hingga 500 kilometer. Turki sebenarnya sudah mau melanjutkan serangannya ke wilayah itu pada pertengahan tahun 2018 untuk menumpas YPG, yakni pasca-berakhirnya operasi ranting Zaitun. Namun, AS menolak niat Turki menyerang YPG di Eufrat karena akan menggagalkan perang melawan NIIS. AS saat itu masih sangat butuh YPG sebagai ujung tombak melawan NIIS.
Turki lalu berdialog dengan AS secara intensif untuk mendapat dukungan menyerang wilayah Tepi Timur Sungai Eufrat dengan dalih ingin membentuk zona aman. AS dan Turki selalu tidak menemukan titik temu soal zona aman itu dalam perundingan lebih dari satu tahun itu.
AS hanya mengizinkan Turki melancarkan operasi sejauh 14 kilometer ke dalam wilayah Suriah. Namun, Turki meminta minimal 30 kilometer hingga 40 kilometer ke dalam wilayah Suriah, dan operasi militer memanjang di wilayah sejauh 450 kilometer hingga 500 kilometer dari Manbij di barat sampai perbatasan Irak-Suriah.
Turki berdalih operasi di Suriah itu adalah keniscayaan agar efektif membasmi YPG, sekaligus bisa menampung minimal 1 juta pengungsi Suriah yang akan dipindah dari Turki ke zona aman itu.
Isu politik
Kekalahan partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan di kota-kota besar, seperti Istanbul, Ankara, Adana, dan Izmir, dalam pemilu lokal 31 Maret 2019 disebabkan partai oposisi menggunakan isu pengungsi Suriah secara efektif sebagai salah satu faktor krisis ekonomi di Turki terakhir ini.
Erdogan tampaknya cepat membaca faktor kekalahan AKP di kota-kota besar itu. Itulah latar belakang yang memaksa Erdogan membentuk zona aman di Suriah Utara. Ia ingin memindah minimal 1 juta pengungsi Suriah untuk meringankan beban ekonomi. Jika Erdogan tak segera membentuk zona aman itu, popularitas AKB berpotensi merosot, dan bisa kalah dalam pemilu mendatang. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi Erdogan kecuali membentuk zona aman.
Itulah yang akhirnya memaksa Erdogan menegaskan kepada Trump dalam pembicaraan telepon pekan lalu bahwa Turki akan membentuk zona aman, baik AS setuju maupun menolak. Pasca-pembicaraan itu, Trump mengumumkan menarik pasukan AS dari Suriah Utara. Penarikan itu membuka jalan bagi Turki untuk melancarkan operasi militer di Suriah timur laut melawan YPG.
Serangan terbaru yang dilakukan Minggu (13/10/2019) menyebabkan 14 warga sipil tewas. Informasi lain menyebutkan, SDF kehilangan 45 orang. Para pejabat Kurdi mengatakan, lebih dari 700 simpatisan NIIS melarikan diri dari sebuah kamp di Suriah timur laut ketika pasukan Turki menyerbu wilayah itu. Pasukan Kurdi mengatakan, mereka tidak dapat mempertahankan fasilitas penahanan itu karena berjuang membendung serangan Turki. (AP/AFP/Reuters/JOS)