Isu Papua, Arus Tantangan yang Tak Bisa Disepelekan
Berbagai persoalan HAM, termasuk isu ketertinggalan pembangunan fisik dan nonfisik di Papua, harus dituntaskan. Sementara itu, langkah-langkah diplomasi pun perlu terus diperkuat.
Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Pasukan pengibar bendera di Stadion Mandala Jayapura Papua, Sabtu (3/5/2008), mengenakan pakaian adat khas Papua saat upacara peringatan 45 tahun kembalinya Irian Barat ke NKRI. Kegiatan yang dimotori Kodim 1701 ini ingin lebih mendekatkan TNI dengan masyarakat guna menjaga suasana di Papua. Momen ini dilatarbelakangi peristiwa 1 Mei 1963 dimana Untea PBB menyerahkan Irian Barat yang sedang disengketakan Belanda dan Indonesia kepada pemerintah Indonesia.
Catatan Redaksi: Berita ini terbit di halaman 8 harian Kompas edisi 7 Oktober 2017 dengan judul ”Isu Papua di Indonesia”.
Di tengah upaya keras Pemerintah Indonesia membangun stabilitas dan perdamaian di kawasan, termasuk mendorong penyelesaian mendasar isu Rohingya di Myanmar, Jakarta kembali dihadapkan pada tantangan besar terkait isu Papua. Untuk ketiga kalinya, dalam tiga tahun terakhir, isu Papua kembali mencuat di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, September lalu.
Meskipun tahun ini hanya empat negara, yaitu Tuvalu, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan satu negara Karibia, St Vincent dan Grenadines, tahun lalu tujuh negara, yang kembali mengangkat isu Papua, pokok dan tema yang menjadi perhatian mereka tidak bisa disepelekan.
Jika mengikuti jejak gerakan Papua, ada arus perubahan sekaligus perkembangan terjadi dalam dua dekade terakhir. Jika pada era awal integrasi gerakan separatisme Papua mengerucut pada gerakan bersenjata, diwakili Organisasi Papua Merdeka, dalam dua dekade terakhir gerakan itu berubah menjadi gerakan sosial-politik. Seiring dengan berkembangnya gerakan hak asasi manusia di Indonesia, gerakan yang dimotori anak-anak muda di Papua tumbuh dengan dasar yang sama. Melalui berbagai media, termasuk aksi unjuk rasa dan jejaring sosial, isu itu diangkat, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Yang menarik diamati, jika dalam Sidang Umum PBB tahun 2015 dan 2016 lalu isu HAM di Papua menjadi pokok perhatian, tahun ini keempat negara itu secara khusus mengangkat isu hak penentuan nasib sendiri. ”Isu tentang Papua semakin berkembang, dari dugaan pelanggaran HAM menjadi isu politik. Dilihat dari tekanan pidato para pemimpin negara itu, sekarang isu yang diangkat adalah murni politik. Perhatian mereka justru pada aspirasi warga Papua, yaitu hak penentuan nasib sendiri,” kata Octovianus Mote, Sekjen Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP), saat dihubungi, Jumat (6/10).
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Atraksi terjun payung oleh belasan prajurit TNI, Sabtu (19/4/2008) di lapangan Borarsi Manokwari Papua Barat, menjadi tontonan menarik bagi para pelajar dan orang dewasa. Pertunjukan olahraga ekstrem ini untuk memeringati 45 tahun penyerahan tanah Papua dari UNTEA PBB ke Indonesia yang disengketakan dengan Belanda. Momen ini dinilai penting untuk menyongsong penentuan pendapat rakyat Papua yang digelar 1969. Kegiatan itu juga untuk memeringati hari Kartini dan menyemangati atlet Papua Barat ke PON Kaltim 2008.
Bagi Jakarta, sorotan keempat negara itu dinilai telah melanggar integritas dan kedaulatan Indonesia. Bagi Indonesia, hal itu telah melanggar prinsip-prinsip dasar Piagam PBB. ”Motivasi mereka adalah untuk mengoyak integritas teritorial sebuah negara yang berdaulat dan merdeka,” kata Ainan Nuran, perempuan diplomat Perwakilan Tetap RI untuk PBB yang mewakili Indonesia dalam tanggapan (right of reply) di sidang PBB.
Ainan menegaskan, keempat negara pendukung isu Papua itu gagal atau menolak untuk mengerti. Di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembangunan dan kemajuan Papua berkembang pesat. Ia pun mengungkapkan sejumlah data, seperti pembangunan 30 pelabuhan baru dan layanan kesehatan gratis yang dinikmati 2,8 juta warga Papua.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di New York, AS, mengatakan, isu Papua bukan hal baru dalam pertarungan diplomasi di PBB. ”Saya secara tegas mengatakan bahwa kalau isu (HAM di Papua) ini coba diambil untuk memberikan dukungan terhadap gerakan separatisme Papua, saya sampaikan, di situ titik saya berhenti,” kata Retno.
”Kalau arahnya (pembahasan isu Papua) separatisme, saya bilang satu inci pun saya tidak akan mundur.”
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Sekitar 500-an aktivis dan simpatisan gerakan kemerdekaan Papua, Rabu (27/1/2010), menggelar konvoi dan orasi di Manokwari Provinsi Papua Barat. Massa yang dikoordinir Otorita Nasional Papua Barat (ONPB) ini salah satunya menuntut dialog dengan Jakarta dengan dimediasi masyarakat internasional. Mereka juga mendesak agar Papua dimasukkan dalam Komisi Dekolonisasi PBB serta pendaftaran Parlemen Internasional untuk Papua Barat di Belgia. Aksi yang berlangsung damai ini dikawal ketat aparat kepolisian. Tampak Gubernur Pemerintahan Transisi Papua Barat ONPB Markus Yenu (berjaket cokelat dan mengepalkan tangan) memimpin jalannya kegiatan.
Meskipun demikian, melihat perkembangan yang ada, Jakarta perlu berbuat lebih. Di tingkat nasional, berbagai persoalan HAM, termasuk isu ketertinggalan pembangunan fisik dan nonfisik di Papua, harus dituntaskan. Sementara itu, langkah-langkah diplomasi pun perlu terus diperkuat.