Malam Tahun Baru Berujung Bencana
Beberapa wartawan ”Kompas” ditugaskan meliput suasana malam Tahun Baru 2020, antara lain di Ancol, Jakarta, dan Puncak, Bogor. Suasana yang semula dibayangkan meriah, berakhir berita bencana karena cuaca tak terduga.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F408371_getattachment9236a566-393b-42a3-99d9-f4fbbb1ba199399758.jpg)
Warga menikmati pertunjukan kembang api Tahun Baru 2017 di Pantai Ancol Lagoon, Jakarta, Minggu (1/1/2017). Mereka rela berdesak-desakan dan menunggu sejak siang untuk melihat pertunjukan tersebut.
Beberapa wartawan harian Kompas ditugaskan untuk meliput suasana malam Tahun Baru 2020, antara lain di Ancol, Jakarta, dan Puncak, Bogor. Suasana yang awalnya dibayangkan meriah, berakhir dengan berita bencana karena cuaca yang tidak terduga.
Di Puncak, malam pergantian tahun sebenarnya berlangsung meriah. Memang gerimis terus mengguyur dan hawa dingin mencapai 18 derajat celsius yang memunculkan kabut tebal. Namun, ini tak menyurutkan kegairahan orang-orang menantikan pergantian tahun. Kebanyakan wisatawan lokal.
Tepat pukul 00.00, wisatawan yang berkumpul di perbatasan antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur beramai-ramai menonton pesta kembang api. Kabut tebal mengakibatkan nyala kembang api tampak suram. Tak ada foto ciamik yang bisa saya dapat, malah hawa dingin yang mulai menyerang.
Semua yang hadir malam itu rata-rata menggunakan jaket. Mereka datang bersama keluarga, sahabat, atau pasangan. Sementara saya, dengan bermodalkan sehelai baju di badan, mencoba bertahan untuk memotret dan mewawancarai narasumber. Jaket yang saya kenakan basah diguyur hujan sejak sore saat perjalanan lepas Depok.
Saya berangkat ke Puncak, Selasa (31/12/2019) siang, tanpa membawa pakaian ganti meski saya diminta Koordinator Liputan Natal dan Tahun Baru Mbak Irma Tambunan untuk menginap di kawasan Puncak. Kawasan ini menjadi perhatian lantaran menjadi salah satu destinasi favorit warga Jabodetabek.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20111124nut06_1578675681.jpg)
Suasana di Jalan Raya Puncak di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Kamis (24/11/2011). Sejak dulu, Puncak selalu menjadi destinasi untuk menghabiskan malam pergantian tahun.
Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh 2,5 jam dengan sepeda motor molor karena hujan deras mengguyur. Jas hujan yang saya kenakan tidak cukup melindungi. Jaket, baju, celana, dan sepatu basah kuyup.
Saya memutuskan membeli sehelai baju dan selembar celana untuk mengganti pakaian yang basah saat tiba di Simpang Gadog, Ciawi, titik awal dimulainya kebijakan malam bebas kendaraan. Hanya sepeda motor yang dibolehkan melintas.
Setelah mengumpulkan cukup bahan dan selesai mengirim tulisan, saya melanjutkan perjalanan ke kawasan Puncak. Selama perjalanan, saya membayangkan keramaian, pesta kembang api, hingga keseruan warga berburu kuliner sembari menanti pergantian tahun.
Baca juga: Ada Asap, Ada Api
Perkiraan saya ternyata salah. Semakin mendekati Puncak, kabut semakin tebal dan gerimis terus mengguyur. Kondisi itu berlangsung hingga selesai pesta kembang api. Warga kemudian berhamburan pulang atau kembali ke penginapan masing-masing.
Saya mencoba bertahan dan melawan dingin dengan memesan minuman panas, dari teh, susu, hingga kopi. Lima gelas minuman tak juga mampu mengusir hawa dingin yang menyerang. Tepat pukul 02.00, saya memutuskan mencari penginapan. Hujan masih terus mengguyur hingga saya pergi tidur.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F0efc523d-2897-4607-9c18-cede4b589129_jpg.jpg)
Suasana saat perayaan malam Tahun Baru di kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Selasa (31/12/2019).
Nyaris terjatuh
Hujan deras semalaman rupanya membawa bencana di wilayah Jabodetabek, seperti banjir dan longsor. Saya diminta melanjutkan pantauan dari wilayah Bogor terkait banjir.
”Bogor penting dipantau untuk antisipasi aliran air Ciliwung, terutama di Bendungan Katulampa,” tulis Mbak Irma lewat pesan Whatsapp.
Pukul 15.00, datang informasi dua orang meninggal tertimbun longsor di Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Jalan penghubung antardesa juga tertutup longsoran.
Baca juga: Pengalaman Diterjang ”Badai Pasir” Sumberbrantas
Setelah menuliskan laporan itu, saya diminta tetap di Bogor agar keesokan harinya bisa langsung ke lokasi longsor. Butuh waktu dua jam untuk sampai ke lokasi itu. Di sana saya berjumpa fotografer Kompas, Rony Ariyanto Nugroho.
Tiba di sana, diperoleh informasi, korban tewas akibat tertimbun longsoran saat melintas dengan mobil pikap. Korban lainnya adalah pemilik warung di kaki gunung tersebut. Saat kami tiba, keduanya telah dievakuasi. Peristiwa terjadi pukul 08.00 pada hari pertama tahun 2020.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200102_135109_1578029563.jpg)
Timbunan longsoran yang menutupi salah satu jalan di Desa Curug Bitung, Nanggung, Kabupaten Bogor, Kamis (2/2/2020). Sedikitnya lima kampung terisolasi akibat bencana tersebut.
Di sana, kami juga mendengar informasi terdapat lokasi longsor lainnya, yakni di Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya. Korban jiwanya bahkan mencapai 7 orang. Perjalanan ke sana menghabiskan waktu satu jam. ”Ayo, ke sana,” kata Rony.
Tulisan dan foto terkait longsor Bogor saat itu direncanakan keluar di halaman satu. Kami berangkat dengan motor masing-masing menuju lokasi. Sempat singgah di Kantor Polsek Nanggung, kami kemudian berangkat bersama 10 sukarelawan Bela Alam binaan Korem setempat yang akan membantu evakuasi korban.
Baca juga: Stamina Prima demi SEA Games Filipina
Setelah 30 menit, kami menjumpai rintangan pertama berupa jalan yang tertutup longsoran. Motor trail yang dikendarai para sukarelawan dengan mudah melintas. Saya dengan skuter otomatis akhirnya bisa juga menyusul rombongan setelah menerjang lumpur.
Setelah 2 kilometer, timbunan longsoran kembali menghadang. Kali ini medannya lebih ekstrem lantaran jalan berupa turunan. Setelah susah payah, bisa juga motor saya menaklukkan lumpur.
Namun, saya masih kesulitan mengikuti rombongan karena harus menahan setir motor dengan sangat kuat dan penuh kehati-hatian lantaran ban motor yang mulai licin. Beberapa kali saya terpeleset dan nyaris terjatuh.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2Ffe150722-c83f-4850-9f3f-4c820f69f731_jpg.jpg)
Suasana di tempat pengungsian di Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Kamis (2/1/2020).
Sekitar 5 kilometer kemudian, kami tiba di posko pengungsian pukul 16.00. Kondisi pengungsian yang berada di Kantor Desa Harkatjaya itu memprihatinkan. Anak-anak tidur di lantai yang dingin hanya beralaskan tikar. Para pengungsi kekurangan makanan, minuman, obat-obatan, pakaian, dan selimut.
”Warga yang mengungsi lebih dari 1.000 orang. Bantuan masuk sangat sedikit karena lokasi yang sulit. Hanya sukarelawan yang pakai motor yang bisa sampai sini,” kata Kepala Desa Harkatjaya, Soleh.
Baca juga: Pertemuan Berkesan dengan Para Pemenang Kehidupan
Bencana longsor yang terjadi pada awal tahun itu juga memutus jaringan pipa air, listrik, hingga saluran komunikasi. Warga pengungsian bertahan dalam kondisi gelap, dingin, lapar, dan terisolasi.
Setelah menggali data dari pengungsi dan aparatur desa, saya berjalan kaki sejauh 1 kilometer untuk melihat langsung lokasi longsor yang telah menewaskan tujuh orang. Lokasi terletak di lereng bukit yang kemudian longsor mengubur 11 rumah. Dari 7 korban yang tertimbun, empat orang ditemukan dalam kondisi meninggal. Sisanya dalam pencarian.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2FPencarian-Korban-di-Hari-Ke-8-Pasca-Bencana_86264094_1578588681.jpg)
Tim gabungan dari Badan SAR Nasional dan Polri masih melakukan pencarian korban bencana tanah longsor dan banjir bandang di Kampung Sinar Harapan, Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (9/1/2020).
Mandi lumpur
Setelah cukup mendapat informasi, kami memutuskan meninggalkan lokasi longsor untuk membuat tulisan dan mengirim foto. Saat itu sudah pukul 18.00. Kami harus segera keluar dari desa tersebut lantaran tak ada listrik dan sinyal komunikasi. Di saat bersamaan, hujan kembali mengguyur. Perjalanan pulang terasa lebih sulit dan lama karena kondisi jalan yang semakin licin dan becek.
Saat tiba di titik pertama longsor yang menutupi akses ke desa itu, para pesepeda motor harus antre lantaran banyaknya warga yang melintas. Lolos dari tanjakan pertama, lokasi longsor kedua menanti.
Baca juga: Perjuangan Jurnalis yang Menjadi Ibu Menyusui
Di titik inilah, wajah saya menjadi penuh lumpur. Sepeda motor yang saya ikuti dari belakang gagal melaju dan ban motornya berputar di tempat. Saat itulah, lumpur menyiprat ke mana-mana, termasuk mengenai muka saya.
Keadaan serupa terjadi pada pengendara yang mengikuti saya dari belakang. Kami hanya tertawa dan saling mengucapkan maaf karena kejadian itu tidak disengaja dan tak ada kesempatan untuk menghindar.
Lepas dari lumpur, saya dan Rony mencari masjid terdekat untuk membersihkan badan yang berlumur lumpur. Saat itu sudah pukul 19.30. Saya mulai panik dan tegang lantaran batas waktu untuk mengirim tulisan semakin mepet.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F34365cb4-c505-44ad-851a-100206bb64a1_jpg.jpg)
Warga mengantre untuk bergantian melintas di salah satu titik longsor yang merupakan akses ke Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, Bogor, Jawa Barat, Kamis (2/1/2020).
”Kamu kenapa, mukamu kok penuh lumpur, ha-ha-ha,” kata Rony sebelum kami menuju tempat wudu untuk membersihkan diri.
Selepas membersihkan diri, kami mencari warung makan terdekat. Di sana kami menyelesaikan pekerjaan masing-masing.
Hujan badai di Ancol
Di Ancol, terjadi hujan badai saat pergantian tahun, seperti dialami I Gusti Agung Bagus Angga Putra dan Erika Kurnia yang bertugas meliput di sana. Sesuai ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dua pekan sebelumnya, perubahan cuaca ekstrem mengiringi masa pergantian tahun.
Baca juga: Berdamai dengan Darah Korban Kecelakaan
Perubahan ekstrem bisa terjadi karena adanya angin monsun Asia yang mengandung banyak uap air. Perubahan cuaca diramalkan terjadi pada siang hingga sore hari.
Benar saja, saat berangkat siang hari dari Palmerah, cuaca dalam kondisi terik. Keduanya tidak terpikir sedikit pun untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan cuaca.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F20191231_170026_1577789579.jpg)
Pengunjung memadati kawasan Pantai Festival, Ancol, Selasa (31/12/2019), saat langit sore perlahan berubah mendung.
Saat sore datang, langit berubah mendung. Awan hitam besar menggantung dari arah selatan Ancol. Angin kencang mulai berembus dari laut. Seketika cuaca mendadak dingin. Saat itu, keduanya tengah mewawancarai pengunjung yang bersantai di pantai.
Pukul 17.00, hujan deras melanda. Pengunjung Ancol yang sedari siang memadati pantai, bergegas merapikan tikar dan perlengkapan piknik mereka. Dalam sekejap, lautan manusia berganti pantai yang kosong. Masing-masing mencari tempat berteduh.
Baca juga: Terkesima Xanana Gusmao nan Flamboyan
Baru pukul 22.00 hujan berangsur mereda. Namun, angin bertiup cukup kencang dari arah pantai. Rupanya, hujan deras tidak menyurutkan semangat pengunjung.
Manajer Komunikasi PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Rika Lestari mengirim pesan Whatsapp yang mengabarkan, pengunjung Ancol pukul 22.00 sudah mencapai 103.000 orang.
Jumlah itu melampaui pengunjung tahun sebelumnya sebesar 70.000 orang. Pengunjung tidak hanya dari Jabodetabek, tetapi juga dari kota lainnya di luar Jawa, seperti Lampung.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200101_000237_1577886288.jpg)
Ratusan pengunjung Ancol mengabadikan pesta kembang api saat malam pergantian tahun, Selasa (31/12/2019). Di tengah hujan deras dan badai, pengunjung memilih bertahan demi dapat menyaksikan pertunjukan kembang api.
Hujan deras dan angin kencang kembali melanda Ancol menjelang pergantian tahun pukul 00.00. Kondisi ini diabaikan para pengunjung yang saat itu telah bersiap-siap menyaksikan pesta kembang api di tepi pantai.
Setelah pesta usai, hujan kian mengganas. Angin bertiup semakin kencang disertai kilat yang menjilat-jilat di angkasa. Pengunjung berlari menjauhi pantai dan badai. Sebagian berteduh di tenda dan restoran. Sebagian lagi menembus hujan.
Mushala, restoran, dan pos polisi penuh sesak oleh pengunjung. Demikian juga bus Wara-Wiri Ancol yang melayani antar-jemput pengunjung ke sejumlah titik di Ancol.
Baca juga: Geleng-geleng Dibuai Diva Tarling Dangdut Pantura
Angga terjebak hujan badai. Kendaraannya terparkir 3 km dari lokasinya saat itu. Sementara Erika sudah lebih dulu bergeser meliput ke tempat lain. Akhirnya, setelah nekat menembus hujan yang sangat lebat, Angga ”terdampar” di pos satpam berukuran 1 meter x 1 meter yang berisi enam orang. Pos sempit itu tidak mampu melindungi mereka.
Badai yang menerpa membuatnya menggigil sambil menyesal karena tidak mempersiapkan diri dengan cukup untuk mengantisipasi cuaca ekstrem. Hingga pukul 02.00, hujan masih enggan reda. Angga bahkan terpaksa curi-curi tidur sambil berdiri karena tubuh yang mulai minta istirahat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2Fa6d1793d-3338-49f8-8788-839f20e8222f_jpg.jpg)
Jalan Caman Raya, tepatnya di depan SPBU Shell Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, terputus akibat terendam banjir, Rabu (1/1/2020) pukul 11.00. Banjir menggenangi sebagian Jabodetabek setelah hujan mengguyur sejak Selasa (31/12/2019) sore.
Pukul 06.00, barulah hujan berubah menjadi gerimis dan Angga memutuskan pulang. Perjalanan menuju kos rupanya tidak mulus karena sejumlah ruas jalan yang dilalui dilanda banjir yang semula dikira Angga sebagai ”genangan”. Selama ini, ia belum pernah merasakan banjir. Sore hari, Angga sudah bertugas kembali untuk meliput banjir di Bekasi.
Baca juga: Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Pengalaman meliput kemeriahan pada malam Tahun Baru yang berujung suasana bencana mengajarkan tentang arti persiapan. Tanpa persiapan yang matang, niat membantu menyampaikan informasi bisa tidak berjalan mulus.