Kebijakan yang Membuai Kaum Kaya
Distribusi kekayaan global sangat tidak proporsional dan sarat ketidaklayakan. Ketimpangan yang menjadi-jadi ini memiliki efek negatif yang sangat kuat.

Simon Saragih, wartawan senior Kompas.
”Sepuluh persen warga dunia terlalu kaya,” demikian kata ekonom Perancis, Thomas Piketty. Pemakaian kata ”terlalu kaya” memberi nuansa bahwa sesuatu sedang terjadi dan tidak benar adanya. Sisanya 90 persen warga dunia tertinggal jauh.
Distribusi yang tentu saja sangat tidak proporsional dan sarat ketidaklayakan. Ketimpangan yang menjadi-jadi juga memiliki efek negatif yang kuat.
Perlambatan ekonomi terbukti di Amerika Serikat akibat ketimpangan akut ini. Maka dari itu, peningkatan hak-hak kaum papa lewat distribusi pendapatan, penekanan hak-hak pekerja, hingga dukungan pada kaum kelas menengah menjadi amat penting.
Itulah benang merah dari buku Capital and Ideology karya ekonom Perancis, Thomas Piketty, yang diluncurkan pada September 2019. Ini buku kedua yang cepat terkenal seperti buku pertama tahun 2013 yang juga laris, Capital in the 21st Century. Inti buku pertama yang terjual 2,5 juta kopi ini, ”Jika Anda lahir miskin, susah menjadi kaya. Sebaiknya yang lahir kaya semakin kaya atau tetap kaya karena kekayaan terus beranak pinak.”
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2FPENARIK-GEROBAK-1.jpg)
Seorang penarik gerobak berjalan santai memotong Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, saat sejumlah mobil berhenti di perempatan. Ketimpangan masih mencolok di kota besar, seperti Jakarta.
Buku kedua melanjutkan tema sebelumnya dan sarat pembahasan soal ketimpangan akut. Penyataan Piketty didukung berbagai riset. Salah satunya isi laporan terbaru berjudul Why wealth matters: The Global wealth report, diterbitkan Credit Suisse Research Institute, yang juga menunjukkan ketimpangan akut itu.
Credit Suisse menuliskan, dari total 360,6 triliun dollar AS kekayaan dunia pada 2018, kepemilikannya sangat timpang. Dari total kekayaan global ini, 45 persen dimiliki oleh kelompok 1 persen warga terkaya dunia. Sementara kelompok 10 persen terkaya dunia memiliki 82 persen dari total kekayaan global.
Ketimpangan buruk juga didukung angka-angka koefisien gini seperti dikompilasikan situs majalah Global Finance. Majalah ini menyarikan berbagai bahan soal ketimpangan, antara lain, dari laporan World Economic Forum 2018. Indonesia, misalnya, termasuk yang mengalami ketimpangan tinggi berdasarkan data itu.
Fakta-fakta yang terungkap tidak terbantahkan. Koefisin gini, pengukur ketimpangan, bertengger pada indeks tinggi. Skor koefisien gini antara 0 dan 1. Nol artinya tidak ada ketimpangan dan 1 artinya kekayaan hanya menumpuk pada satu orang. Dua posisi ekstrem ini tidak akan pernah terjadi, tetapi ketimpangan pasti ada. Ketimpangan yang tergolong relatif baik ada pada indeks gini 0,32. Kenyataannya, indeks gini ini umumnya di atas angka tersebut yang artinya sangat timpang.
Mengapa sangat timpang?
Pertanyaannya kemudian, mengapa pendapatan dan kepemilikan kekayaan sangat timpang? Efek deregulasi pada dekade 1980-an di Eropa dan Amerika Serikat, menurut Piketty, melempangkan jalan menuju ketimpangan akut.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2Fff91c10f-03b9-412f-a90e-d0fcfc829c93_jpg.jpg)
Ketimpangan ekonomi di kota Manila, Filipina, Minggu (1/12/2019). Pada awal abad ke-20, Filipina pernah menjadi negara paling maju di Asia. Namun, skandal korupsi membuat Filipina jatuh menjadi negara yang menghadapi masalah kemiskinan yang pelik.
Deregulasi memungkinkan kaum kaya semakin kaya, kepentingan pekerja dan kelas menengah diabaikan. Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher dan Presiden AS Ronald Reagan adalah dua pemimpin yang menurut Piketty memicu ketimpangan lewat deregulasinya, didukung kebijakan penurunan tingkat pajak.
Berdasarkan temuan Piketty, ketimpangan pendapatan meningkat lebih cepat di Amerika Utara, China, India, dan Rusia dibandingkan dengan lokasi mana pun di dunia. Itu sesuai isi laporan berjudul World Inequality Report 2018 yang disusun World Inequality Lab, sebuah pusat riset di Paris School of Economics.
Piketty tidak yakin faktor atau sistem meritokrasi ada di balik kemakmuran besar milik kaum kaya itu. Perangai perusahaan teknologi titan AS, misalnya, kata Piketty, serupa saja dengan perangai para oligarki Rusia. Kaum kaya mengeksploitasi sumber daya publik, mengambil manfaat dari investasi publik di bidang sains, hingga posisi mereka yang mampu memengaruhi sistem perpajakan. Sistem hukum diciptakan dengan tujuan menguntungkan mereka.
Hal ini senada dengan analisis dari Adam Triggs, Direktur Riset di Asian Bureau of Economic Research, Crawford School of Public Policy, Australian National University. Riset Trigss dibantu Jake Read, mahasiswa periset di lembaga serupa. Trigss menyebutkan, chaebol (konglomerat) Korea Selatan, misalnya, berlomba memasuki parlemen dan masuk ke politik. Ini menunjukkan betapa konglomerat yang telah mendominasi pasar juga merangsek ke politik.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2Fkompas_tark_28012141_3_1.jpeg)
Tenda semipermanen berjajar di sepanjang Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta, dengan latar belakang deretan gedung pencakar langit, Jumat (6/1/2017).
Jika tidak semua, sebagian kaum kaya ini juga sarat dengan pelanggaran hukum. Sebagian kaum superkaya ini sangat gemar menggelapkan pajak. Mereka memanfaatkan perlindungan hukum di negara-negara tax heaven, di bawah naungan dan perlindungan Inggris, AS, hingga Australia. Perlindungan atas kekayaan milik kaum paling kaya ini juga dilakukan di Swiss, Luksemburg, Belanda, hingga Delaware (AS).
Telah terbongkar, misalnya, kasus penggelapan kekayaan oleh kaum kaya itu dengan salah satu tujuan adalah menghindari pajak. Upaya ini dibantu sebuah perusahaan bernama hukum Mossack Fonseca yang bermarkas di Panama. ”The Panama Papers: How the World\'s Rich and Famous Hide Their Money Offshore”, demikian laporan harian Inggris, The Guardian, pada 14 April 2016.
Tidak ada efek besar dari bocornya penggelapan kekayaan ini, kecuali Perdana Menteri Eslandia Sigmundur David Gunnlaugsson, yang mundur dari jabatannya.
Kasus-kasus penggelapan pajak lainnya juga sudah banyak bermunculan sebelumnya. Tetap saja, tidak ada upaya sungguh-sungguh mencegah agar praktik penggelapan seperti itu tidak terjadi. (Bersambung)