Menunggu Malam Berlalu

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018
Paulo Coelho dalam Ser Como O Rio Que Flui (Seperti Sungai yang Mengalir: 2006) mengulang cerita yang dituturkan oleh peraih hadiah Nobel Perdamaian (1994), Shimon Peres, pada acara World Economic Forum di Davos, Swiss. Ia memulai ceritanya demikian.
Suatu hari, Guru bertanya kepada para murid-muridnya.
”Bagaimana kita bisa mengetahui, kapan secara persisnya malam telah berlalu dan siang hari dimulai?”
Seorang murid menjawab, ”Kalau sudah cukup terang untuk membedakan antara domba dan anjing.”
Akan tetapi, jawaban itu dibantah oleh murid yang lain. ”Tidak begitu. Tetapi, kalau sudah cukup jelas untuk membedakan antara pohon zaitun dan pohon kurma.”
”Ah, jawaban itu juga tidak tepat,” kata murid lain lagi.
Mendengar perbantahan itu, murid yang sedari awal diam saja tiba-tiba berkata sambil memandang Sang Guru, ”Kalau demikian, lantas apa jawaban yang benar?”
Baca juga:
Mendengar pertanyaan itu, Guru tidak segera menjawab. Ia diam. Menutup matanya. Menarik napas panjang. Baru sesaat kemudian, setelah membuka matanya dan memandang dengan penuh kasih kepada para muridnya, Guru menjawab, ”Kalau seorang asing mendatangimu dan kau menganggap orang asing itu sebagai saudaramu, dan semua perselisihan, perbedaan pendapat, perseteruan, percekcokan, dan konflik tiada, lenyap. Pada saat itulah malam yang gelap gulita berakhir dan muncullah terang hari.”

Aparat keamanan tengah memeriksa ruangan di Gereja St Sebastian, Negombo, 22 April 2019, sehari setelah gereja itu hancur oleh ledakan bom yang menargetkan gereja-gereja dan hotel di Sri Lanka. Korban mencapai sedikitnya 321 orang dalam serangan itu.
Akan tetapi, mengapa manusia cenderung memilih malam yang gelap gulita ketimbang siang yang benderang? Meskipun, bulan tetap terang ketika tidak menghindari malam. Mengapa memilih kekerasan dan bukannya kelemah-lembutan? Apa yang terjadi di Sri Lanka—serangan bom yang menewaskan sedikitnya 321 orang dan melukai sekurang-kurangnya 500 orang—pekan lalu, salah satu contohnya, orang memilih jajaran kekerasan ketimbang jalan kelemahlembutan, kebencian dan bukannya cinta kasih.
Inilah horor yang paling menakutkan di negeri yang pernah disandera perang saudara demikian lama. Kalau serangan bom itu dilakukan atas nama agama, sungguh sudah hancur dunia ini: kasihanilah agama. Bukankah tidak ada satu pun agama di dunia ini yang menganjurkan untuk saling membunuh, bahkan untuk membenci orang lain sekalipun? Bukankah semua agama mengajarkan perdamaian dan hidup baik, saling hormat-menghormati, kasih-mengasihi.
Apa pun alasannya, serangan bom di Sri Lanka adalah potret kekejian manusia terhadap manusia lain. Inilah kekejian yang membinasakan. Kekejian itu muncul di tempat kata-kata kehilangan dayanya. Sebab, kata-kata tak mampu lagi untuk melukiskan betapa dahsyatnya kekejian itu. Kata-kata tak mampu lagi melukiskan penderitaan yang disandang oleh para korban dan keluarga korban. Bahkan, kata-kata tak memiliki tenaga lagi untuk menggambarkan seperti apa kekejian, kebengisan para pelaku serangan bom itu.

Seorang keluarga korban peledakan bom di Gereja St Anthony\'s Shrine, Kochchikade, menangis, di Colombo, Sri Lanka, 21 April 2019.
Dalam bahasa Paus Santo Yohanes Paulus II (1920-2005), mereka itu—para pelaku peledakan bom—dirasuki kultur kematian (culture of death). Ini adalah kultur barbaritas yang menyembah atau memuliakan kematian, mendewakan kematian. Namun, bukan kematian yang membangkitkan. Kultur kematian adalah daya negatif yang merusak dunia.
Bagi para pelaku peledakan bom, kematian telah kehilangan ciri khasnya, yaitu menakutkan. Kematian, bagi mereka telah menjadi sebuah tujuan; bahkan diyakini sebagai tujuan suci. Kematian bagi mereka telah menjadi memesona kalau kematiannya juga menyebabkan orang lain mati. Kematian itu menjadi tujuan suci kalau bisa mematikan orang lain.
Mengapa manusia memilih jalan itu? Jalan kegelapan? Sebab tidak ada cinta. Demikian jawaban teolog dari Persia, Jalaluddin Rumi (1207-1273). Menurut Rumi, cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam. Dan, cintalah yang mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh pendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan. Cinta pula, menurut Lord George Byron (1788-1824), penyair dari Inggris, yang membuatnya bisa memandang langit dengan jelas pada malam hari.

Polisi memeriksa lokasi yang terdampak ledakan bom di Hotel Shangri-La, Colombo, Sri Lanka, 21 April 2019. Menurut polisi Sri Lanka, Selasa (23/4/2019), serangan di beberapa gereja dan hotel pada hari itu telah menewaskan sekurangnya 321 orang.
Bahkan, dunia politik pun kalau kehilangan cinta akan menjelma menjadi makhluk yang sangat ganas dan kejam. Politikus sekaligus filsuf, konsul Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), pernah mengatakan, politik adalah makhluk hidup. Bahkan dapat dikatakan makhluk paling hidup yang ada, dengan beribu-ribu otak, kaki, tangan, mata, pikiran, dan keinginan.
Dengan semua itu, ia akan menggeliat, berputar, dan berlari ke arah yang tak pernah dikira orang. Terkadang semata-mata demi memuaskan diri sendiri, untuk membuktikan bahwa orang-orang yang sok tahu tentang dirinya itu keliru. ”Politik mengalahkan rintangan apa pun yang pernah kuhadapi,” kata Cicero suatu ketika. Pernyataan itu hanya mempertegas bahwa betapa dahsyatnya politik, yang tidak jarang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.
Mungkin terlihat suram malam ini, begitu kata Barack Obama suatu ketika. Namun, jika kita terus berpegang pada harapan, hari esok akan menjadi lebih cerah.
Padahal, sekarang ini, dunia politik—bentuk usaha yang paling baik untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan—membutuhkan sifat manusia, yang tahu malu, tahu diri, welas asih, kalau salah mengaku salah, kalau kalah mengaku kalah, tetapi kalau menang tidak lantas jumawa, membusungkan dada, dan menjunjung nilai-nilai kejujuran.
Namun, semua itu tidak akan ditemukan dalam dunia politik di sekitar kita sekarang ini. Sebab, yang kita saksikan sekarang ini benar-benar politik dalam arti yang sebenar-benarnya, arti telanjang, politik riil, yaitu pertarungan kekuatan untuk memperebutkan kekuasaan, yang berkecenderungan untuk menghalalkan segala cara. Politik, akibatnya, telah pula kehilangan martabatnya.
”Mungkin terlihat suram malam ini,” begitu kata Barack Obama suatu ketika. ”Namun, jika kita terus berpegang pada harapan, hari esok akan menjadi lebih cerah.” Itu sikap orang yang optimistis. Sikap optimistis itu memang perlu dibangun. Sebab, membiarkan siang dan malam berjalan sebagaimana mestinya adalah sebuah mukjizat luar biasa yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang masih punya hati. ***