Aksi korporasi Uber sangat menentukan nasib usaha rintisan lain. Mereka melihat langkah itu karena usaha rintisan lain menghadapi masalah sama, yakni belum bisa meraih profit karena terjepit dengan strategi ”bakar uang”.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas
Sejak melantai di bursa New York Stock Exchange, Mei lalu, kinerja Uber tak segera membaik. Laporan keuangan triwulan ketiga perusahaan transportasi daring ini tak juga memberi kabar baik. Malah sahamnya kembali turun sekitar 4 persen.
Uber yang mendapat pendanaan dari SoftBank, sebuah perusahaan ventura dari Jepang, juga digosipkan terimbas oleh kegagalan WeWork, perusahaan yang juga didanai SoftBank, melantai di bursa. Publik kini bertanya tentang masa depan Uber yang merupakan perusahaan transportasi daring terbesar di dunia.
”Kami sangat… sangat... sangat berbeda dengan WeWork,” kata CEO Uber Dara Khosrowshahi menjelaskan kepada media mengenai nasib Uber ketika disinggung kegagalan WeWork melantai di bursa dan kerugian yang terus-menerus dialami oleh usaha rintisan itu.
Uber menghadapi beberapa tekanan, seperti investor yang pesimistis dengan masa depan perusahan itu dan imbas kegagalan WeWork, sehingga publik mempertanyakan valuasinya. WeWork gagal melakukan penawaran saham perdana karena pasar publik meragukan valuasi usaha rintisan di persewaan ruang kantor itu.
AP PHOTO/RICHARD DREW
Logo Uber terlihat di sebuah layar di lantai bursa saham New York (New York Stock Exchange), 9 Agustus, 2019.
Tekanan makin mendalam karena saham SoftBank, sebagai perusahaan pendanaan usaha rintisan itu, turun sejak perusahaan itu melantai 14 tahun yang lalu. Mereka mengalami kehilangan sekitar 6,5 miliar dollar AS dalam triwulan ketiga.
Mereka bahkan mengatakan tak akan melakukan penalangan terhadap WeWork yang valuasinya anjlok dari sekitar 46 miliar dollar AS menjadi hanya 12 miliar dollar AS. SoftBank juga mengakui proyek sindikasi pendanaan dalam Vision Fund, yang salah satunya mendanai WeWork, memiliki kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Kalangan pengamat malah ada yang menyebut kasus WeWork dan Uber merupakan bencana dalam dunia usaha rintisan. Tidak hanya menimpa karyawan dan konsumen, tetapi juga menimpa investor. Investor disebutkan menaruh duit di usaha rintisan yang tak menghasilkan keuntungan.
Alasan mereka, kedua perusahaan itu membesar hanya karena mendapat pendanaan dari SoftBank dalam jumlah besar dan tiba-tiba. Bahkan, mereka kemudian mengulik-ulik usaha rintisan yang didanai SoftBank dengan fenomena yang sama sehingga valuasinya melonjak dalam waktu singkat. Beberapa membuat spekulasi tentang fenomena itu.
REUTERS/ISSEI KATO
Logo SoftBank terpasang di sebuah upacara untuk menandai debut perusahaan ini di lantai bursa saham Tokyo, Jepang, 19 Desember 2018.
Para pemegang saham tentu saja menunggu kabar baik dari Uber. Sejak menawarkan saham perdana pada Mei lalu, harga saham usaha rintisan ini terus turun. Kabar baik itu setidaknya adalah harapan akan muncul profit dalam waktu dekat.
Uber dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa target pendapatan perusahaan secara keseluruhan, sebelum dikurangi bunga, depresiasi, pajak, dan amortisasi (EBITDA), yang menguntungkan akan tercapai pada 2021. Meski demikian, kalangan analis meragukan pencapaian target ini karena Uber masih kehilangan (loss) 1 miliar dollar AS dalam laporan keuangannya.
Lebih lagi, ketika analis, seperti dikutip CNBC, menanyakan langkah turunan dari target itu, eksekutif Uber tak menjelaskan detail langkah-langkah yang akan dilakukan. Mereka malah mengatakan semua itu masih dalam perencanaan. Uber hanya menyebutkan mereka tengah berinvestasi di scooter dan pengiriman barang.
Ketika ditanya level keuntungan yang ditargetkan, kembali eksekutif Uber juga tak menyebut angka. Mereka hanya mengatakan biaya-biaya yang tak terkait langsung dengan biaya layanan (overhead) akan dipangkas dan makin mengecil. Biaya untuk asuransi juga akan makin mengecil.
Tidak mengherankan apabila setelah pengumuman laporan keuangan triwulan ketiga itu, analis meminta para pemegang saham Uber untuk memantau secara cermat pergerakan saham dan aksi korporasi yang dilakukan usaha rintisan ini. Mereka juga mulai ragu dengan jalan untuk mencapai keuntungan yang akan diambil oleh Uber.
REUTERS/SHANNON STAPLETON
Logo Uber terpasang di kaca sebuah mobil di New York, AS, 12 April 2019.
Belum ada tanda-tanda bahwa perusahaan ini memilih jalan yang benderang untuk menghasilkan keuntungan. Sekitar 90 persen mereka yang memegang saham Uber telah memosisikan menjual saham itu. Mereka juga memosisikan penjualan saham mereka tak mungkin bisa dilakukan dalam satu hari.
Kita masih menunggu rencana-rencana Uber. Aksi korporasi mereka sangat menentukan nasib usaha rintisan di bidang transportasi daring lainnya di berbagai negara. Mereka akan melihat langkah penyelamatan itu karena usaha rintisan di berbagai negara juga terjepit dalam masalah yang sama, yakni belum bisa meraih keuntungan karena terjepit dengan strategi ”bakar uang”.
Langkah mereka tentunya juga akan memperbaiki citra usaha rintisan lainnya yang didanai SoftBank karena publik mengaitkan Uber dan WeWork sebagai patron dalam investasi yang dilakukan SoftBank. Kecurigaan tentang valuasi yang dibesar-besarkan mungkin juga akan hilang begitu Uber bisa selamat dari kerugian yang mendalam.