Perhatian PK Ojong kepada para pekerja kreatif, sebagaimana yang disampaikan Pramoedya, adalah sesuatu yang sangat dirindukan semua pengarang. Mungkinkah hal ini terjadi di masa datang sebagai harapan seabad PK Ojong?
Oleh
Anindita S Thayf
·5 menit baca
SINDHUNATA
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua.
”Auwjong Peng Koen dari majalah Star Weekly meminta tulisan untuk majalahnya. Setiap tulisan ia beri honorarium yang cukup untuk makan sebulan dalam kesederhanaannya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1. Ini terjadi di tengah masa optimisme dalam hidup Pramoedya.
Setelah pernikahan pertamanya yang gagal, Pramoedya menikah lagi dengan Maemunah Thamrin. ”Kehidupan [pernikahan] kami memang bahagia,” aku Pramoedya. Kelahiran anak pertama mereka, disusul anak kedua, menambah kebahagiaan keluarga kecil itu. Dan, di tengah-tengah kebahagiaan inilah Auwjong Peng Koen meminta tulisan.
Aujwong Peng Koen yang dimaksud Pramoedya tentu saja adalah PK Ojong. Dalam tulisan Helen Ishwara, ”Seabad PK Ojong (1920-2020), Salah Seorang Pendiri Kompas”, disebutkan nama beberapa sastrawan yang dekat dengan Star Weekly, tetapi entah mengapa nama Pramoedya absen. Padahal, Pramoedya termasuk salah satu sastrawan yang produktif menulis untuk Star Weekly. Sepanjang Januari 1956 sampai Maret 1957, setidaknya ada 18 esai Pramoedya terpajang di sana. Tampaknya, tulisan Pramoedya dimuat saban bulan di majalah tersebut.
Majalah Star Weekly turut memberikan andil dalam memuat tulisan sastrawan yang beberapa kali menjadi kandidat Nobel Sastra ini. Kala itu, selain menghasilkan karya-karya prosa, seperti Keluarga Gerilya, Perburuan, Bukan Pasar Malam, Mereka yang Dilumpuhkan, serta Cerita dari Blora, Pramoedya juga tenar sebagai esais.
Esai-esainya tersebar di sejumlah majalah kesusastraan, seperti Siasat dan Mimbar Indonesia. Dengan bahasa yang lugas dan polemis, sebagai ciri khas tulisannya, esai-esai Pramoedya merekam pergolakan pemikiran dan kondisi kesusastraan Indonesia pada masa itu.
Tulisan Pramoedya pertama yang dimuat di Star Weekly berjudul ”Kesusastraan Kristen di Indonesia” (7 Januari 1956). Tulisan ini disusul sejumlah tulisan lain: ”Tendensi Kerakyatan dalam Kesusastraan Indonesia Terbaharu”, ”Kesusastraan Dunia dalam Terjemahan Belanda dan Indonesia”, ”Tentang Mata Pelajaran Kesusastraan di Sekolah”, ”Nukilan Babad Tanah Djawi” (7 bagian), ”Sejenak Meninjau Kesusastraan Jawa Modern”, ”Ke Arah Sastra yang Revolusioner”, ”Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia”, ”Balai Pustaka Harum Namanya di Dunia Internasional Dahulu”, ”Balai Pustaka di Alam Kemerdekaan”, dan ”Kesusastraan Indonesia Modern di Negeri-negeri Timur”. Adapun tulisan terakhir Pramoedya di majalah tersebut berjudul ”Kesusastraan Indonesia Modern di Negeri-negeri Barat” (16 Maret 1957).
Majalah Star Weekly turut memberikan andil dalam memuat tulisan sastrawan yang beberapa kali menjadi kandidat Nobel Sastra ini.
Sebagian dari tulisan-tulisan Pramoedya yang tercetak di Star Weekly sudah sulit ditemukan sekarang. Dalam buku Menggelinding 1, yang bisa dikatakan merupakan kumpulan tulisan Pramoedya terlengkap saat ini, beberapa tulisannya yang diterbitkan Star Weekly tidak ada di sana. Padahal, tulisan-tulisan tersebut mencatat sejarah perkembangan pemikiran Pramoedya.
Masa-masa aktif Pramoedya menulis di Star Weekly merupakan masa transisi pemikirannya. Sebagaimana dicacat Hong Liu (2015), Pramoedya dikenal sebagai pengarang dengan pandangan humanisme universal sebelum 1956. Sebagai jebolan Gelanggang Seniman Merdeka yang dipelopori Chairil Anwar, Pramoedya masih berkutat dengan gagasan humanisme universal.
Pada awal tahun 1956, saat tulisan-tulisannya mulai bermunculan di Star Weekly, Pramoedya sudah mulai berubah haluan: dari pengarang dengan ide-ide humanisme universal menjadi pengarang bertendensi kerakyatan. Kepergian Pramoedya ke China untuk menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya Lu Shun menjadi titik awal perubahan tersebut.
Salah satu tulisan Pramoedya di Star Weekly berjudul ”Tendensi Kerakyatan dalam Kesusastraan Indonesia Terbaharu”. Dalam tulisan itu, dia mengkritik pengarang yang hanya berlaku serupa turis dan tidak mengerti keadaan rakyat yang sebenarnya.Adapun dalam tulisan ”Ke Arah Sastra yang Revolusioner”, Pramoedya menegaskan pentingnya karya sastra mengimbangi politik yang bergerak ke arah revolusioner. Menurut dia, perlu ditarik garis pembatas yang tegas antara sastra reaksioner dan sastra revolusioner.
Pada awal tahun 1956, saat tulisan-tulisannya mulai bermunculan di Star Weekly, Pramoedya sudah mulai berubah haluan: dari pengarang dengan ide-ide humanisme universal menjadi pengarang bertendensi kerakyatan.
Media massa dan pengarang
Apa yang disampaikan Pramoedya atas kenangannya tentang PK Ojong dan Star Weekly menyiratkan hubungan yang erat antara pengarang dan media massa. Setelah ditemukannya mesin cetak, media massa (majalah dan koran) menjadi bagian penting dalam penyebaran karya sastra. Lewat media massa, karya sastra dan esai kesusastraan bisa dibaca luas oleh masyarakat, dan darinya para pengarang memperoleh pendapatan lewat karya-karya mereka yang dimuat.
Kata-kata Pramoedya yang menarik tentang PK Ojong dan Star Weekly adalah ”honorarium yang cukup untuk makan sebulan dalam kesederhanaannya”. Apa yang diungkapkan Pramoedya memperlihatkan bahwa kala itu, sebagai media massa yang cukup besar, Star Weekly terlihat memperhatikan hajat hidup para pengarang yang tulisannya dimuat di majalah mereka.
Sesederhananya makan satu bulan, dengan empat anggota keluarga sebagaimana keluarga Pramoedya pada waktu itu, bukanlah jumlah yang kecil. Kita pun bisa menaksir, besar honor menulis di Star Weekly tentu cukup lumayan kala itu.
ARSIP KELUARGA PK OJONG
PK Ojong
Sayangnya, situasi sudah berubah sekarang. Alih-alih memperhatikan hajat hidup para pengarang, media massa justru kian getol memangkas halaman untuk rubrik kesusastraan. Pengarang dipaksa berjibaku apabila menginginkan cerpen, puisi, atau esainya dimuat di media massa.
Persaingan pun kian ketat seiring jumlah halaman rubrik kesusastraan yang kian sempit dan jumlah pengarang yang kian banyak. Kesengsaraan hati para pengarang juga kian menjadi-jadi ketika pemangkasan halaman diikuti pemangkasan honor.
Apa yang disampaikan Pramoedya atas kenangannya tentang PK Ojong dan Star Weekly menyiratkan hubungan yang erat antara pengarang dan media massa.
Maka, jamaklah terjadi seorang pengarang harus rela antre berbulan-bulan agar karyanya dimuat kendati lelah-penatnya menulis tidak terganjar seimbang oleh sedikitnya honor yang diberikan. Sebaliknya, kebutuhan sehari-hari selalu mendesak-desak untuk segera dipenuhi, enggan antre.
Perhatian PK Ojong kepada para pekerja kreatif, sebagaimana yang disampaikan Pramoedya di atas, adalah sesuatu yang sangat dirindukan oleh semua pengarang. Kini, hubungan yang saling menguntungkan antara media massa dan pengarang seolah hanya cerita kenangan dari seorang pengarang senior. Ketika pengarang memberikan karya terbaiknya dan media massa memberikan honor terbaiknya, mungkinkah hal ini terjadi (lagi) di masa datang?
Dan apabila Star Weekly telah mencatatkan namanya sebagai salah satu media massa di Indonesia yang memberikan penghargaan cukup layak kepada pengarang pada masanya, akankah ada media massa yang meniru jejaknya nanti? Semoga saja ada. Demikianlah harapan kami, para pengarang, untuk seabad PK Ojong.