Keseimbangan Politik Lebih Disukai
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20141017NUT11.JPG_1563103287.jpg)
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan Presiden Terpilih, Joko Widodo saling berjabat tangan usai bertemu di rumah orangtua Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (17/10/2014).
Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah hasil jajak pendapat Kompas yang terbit di halaman 5 harian Kompas edisi 22 Oktober 2014 dengan judul "Keseimbangan Politik Lebih Disukai".
Dinamika politik di parlemen akan menjadi tantangan berat bagi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019 Senin lalu. Komunikasi politik perlu terus dibangun oleh presiden ketujuh ini demi jalannya pemerintahan yang stabil dan efektif.
Stabilitas pemerintahan dan politik menjadi kunci terlaksananya program dan agenda Jokowi-JK yang disampaikan saat kampanye pemilu presiden (pilpres) lalu. Sementara itu, realitas politik menunjukkan, parlemen didominasi oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang notabene berisi parpol bukan pendukung Jokowi-JK. Masalahnya, KMP lebih banyak kursi di DPR dibandingkan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang pada pilpres lalu mengusung pasangan Jokowi-JK. Kondisi ini menuntut Jokowi lebih aktif melakukan komunikasi politik.
Kebutuhan ini juga ditangkap oleh publik yang terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Sebanyak 70 persen responden setuju jika Jokowi lebih terbuka dan ”berkompromi” pada realitas politik tersebut dengan aktif membangun komunikasi politik. Lebih dari itu, bahkan termasuk membuka peluang sebagian lawan politiknya bergabung dalam pemerintahan.
Keberadaan DPR yang didominasi KMP dilihat publik secara beragam. Sikap publik cenderung terbelah dalam melihat fenomena politik ketika presiden terpilih justru tidak mendapat dukungan yang kuat di parlemen. Responden yang di pilpres lalu memilih Prabowo melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dibandingkan dengan responden pemilih Jokowi yang menyatakan sebagai ketidakwajaran. Bagaimanapun, dominasi kursi KMP yang lebih besar di DPR dibandingkan KIH membuat lebih dari separuh responden merasa khawatir.
Kekhawatiran ini terkait dengan dinamika politik yang terjadi. Fakta menunjukkan, KMP berhasil mengalahkan KIH dalam sejumlah kontestasi politik beberapa pekan terakhir. Sebelum DPR periode 2014-2019 dilantik, KMP berhasil ”memenangkan” gagasannya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, salah satunya terkait dengan mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Ketua DPR tidak lagi otomatis dijabat oleh partai politik pemenang pemilu, tetapi dipilih melalui sistem paket. Hal ini jelas merugikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014. Berturut-turut, setelah itu KMP memenangi paket pimpinan DPR dan kemudian paket pimpinan MPR.
Hal lain yang memicu reaksi publik adalah perubahan mekanisme pilkada dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi melalui DPRD. KMP berhasil memenangi voting perubahan mekanisme pilkada. Dinamika politik ini melahirkan sentimen negatif publik terhadap keberadaan KMP. Publik mencium gelagat adanya motif ”balas dendam” dari KMP karena kalah dalam pilpres. Sekitar empat dari 10 responden menyatakan hal tersebut.
Penyeimbang
Dinamika parlemen itu juga memunculkan kekhawatiran publik, terutama menyangkut adanya potensi anggota parlemen dari KMP akan menghambat program-program pemerintahan Jokowi-JK. Lebih dari separuh responden menyatakan hal itu. Bahkan, sekitar empat dari 10 responden khawatir, dominasi KMP di parlemen membuka peluang untuk melengserkan presiden baru. Kekhawatiran ini dirasakan sama, baik oleh responden pemilih Jokowi
maupun responden pemilih Prabowo.

Namun, hasil jajak pendapat juga merekam pandangan publik yang melihat dari sisi lain bahwa peta politik parlemen saat ini justru baik bagi pemerintahan Jokowi-JK. Mayoritas responden (79 persen) menilai pasangan Jokowi-JK justru akan lebih hati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan dan fokus pada kepentingan rakyat.
Penguatan fungsi kontrol lembaga legislatif diyakini lebih efektif dengan konfigurasi politik antara KMP dan KIH. KMP akan menjadi kekuatan penyeimbang selama memainkan peran oposisi yang obyektif tanpa disertai sikap permusuhan akibat persaingan dalam pilpres. Jika ini berjalan, penguatan kelembagaan legislatif dan eksekutif akan terwujud. Pemerintah akan berjalan tetap pada jalurnya dan legislatif dapat mengontrol agar pemerintahan berjalan sesuai dengan amanat rakyat.
Pertemuan Jokowi dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, dan puncaknya dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga mencairkan suhu politik. Dalam keterangan bersama, Jokowi dan Prabowo menyatakan hal terpenting dan paling sensitif selama ini, yakni soal dukungan kepada presiden terpilih. Tanpa keraguan, Prabowo menampilkan sosok kenegarawanan, menghormati Jokowi sebagai presiden terpilih.
Keduanya menyepakati bahwa pemerintah tetap didukung, tetapi juga bersedia dikoreksi oleh parlemen sebagai penyeimbang pemerintahan.
Praktis, pertemuan Jokowi dengan Prabowo menjadi ”jurus pamungkas” dalam menghadapi sejumlah indikasi menghangatnya suhu politik dan menurunnya sejumlah indikator ekonomi makro. Nilai rupiah dan IHSG segera meningkat, sore hari setelah pertemuan Jokowi dengan Prabowo. Tensi sosial terlihat menurun dalam berbagai perbincangan di media sosial.
Optimisme lebih lanjut juga muncul lantaran ada kemungkinan berubahnya peta politik di parlemen. Separuh lebih responden meyakini perubahan peta politik akan terjadi seiring dengan dilantiknya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden. Salah satu faktor yang memengaruhi itu adalah dinamika di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keikutsertaan kader PPP dalam paket pimpinan MPR yang disodorkan (KIH) beberapa waktu lalu menjadi sinyal kuat partai ini berlabuh ke kubu pendukung Jokowi.
Dinamika politik internal PPP semakin menguat ketika hasil Muktamar PPP di Surabaya memilih secara aklamasi Romahurmuziy sebagai ketua umum dan memutuskan pindah haluan politik dengan bergabung ke KIH. Muktamar ini dinilai tidak sah oleh Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP, yang tetap mempertahankan koalisi partainya bersama KMP.
Empat dari 10 responden berpendapat, PPP sebaiknya berlabuh bersama KIH. Sikap ini kemungkinan besar tidak lepas dari keinginan publik akan terjadinya keseimbangan kekuatan politik di parlemen jika PPP bergabung bersama KIH.
Pendapat berbeda disuarakan publik menyikapi gejolak internal di Partai Golkar. Sebelumnya, desakan suksesi muncul akibat tudingan penyimpangan arah politik yang salah dan pemecatan tiga kader Golkar. Atas situasi tersebut, hampir separuh responden berharap Golkar tetap di KMP untuk menjadi kekuatan penyeimbang. Kecenderungan ini pun disuarakan baik oleh pemilih Golkar maupun PDI-P.
Jika keseimbangan komposisi suara di DPR ini benar-benar terjadi, akan menjadi energi bagi pembangunan kekuatan oposisi yang efektif dan produktif. Namun, jika oposisi itu sekadar ingin merongrong pemerintah, dukungan publik yang sangat besar kepada Jokowi dapat bergerak mencari bentuk politik tersendiri. Relasi politik yang baik dan produktif antara pemerintah dan parlemen menjadi kunci terbangunnya penguatan kelembagaan negara. (LITBANG KOMPAS)