Perburukan situasi pandemi di belahan dunia cukup mengkhawatirkan. Agenda vaksinasi yang dilakukan sejumlah negara bukan jaminan pandemi akan mereda. Protokol kesehatan tetap menjadi kunci.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
Meskipun proses vaksinasi telah dimulai di beberapa negara, situasi pandemi masih jauh dari kata terkendali. Bahkan, beberapa negara yang sebelumnya sempat berhasil mengendalikan laju penularan Covid-19 kini kembali terpuruk. Tak ayal, harapan yang dibawa oleh kehadiran vaksin tetap perlu diimbangi dengan kewaspadaan serta ketaatan terhadap protokol kesehatan.
AFP/JEFF KOWALSKY
Dua warga, Nancy Galloway (kiri) dan Susan Deur, bersorak saat truk yang membawa pengiriman pertama vaksin Covid-19 meninggalkan fasilitas Pasokan Global Pfizer di Kalamazoo, Michigan, AS, Minggu (13/12/2020). Amerikas Serikat mulai mendistribusikan vaksin Covid-19 untuk mengatasi pandemi yang telah mencapai lebih dari 16,7 juta kasus dengan kematian lebih dari 300.000 orang.
Hingga 13 Januari lalu, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 lebih dari 92 juta orang di dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 2 juta di antaranya meninggal dunia. Laju pertumbuhan kasus secara global pun masih terbilang tinggi.
Pada 13 Januari saja, kasus positif Covid-19 baru bertambah sebesar lebih dari 745.000 orang dalam sehari. Angka kematian harian akibat virus ini pun tak kalah tinggi, di mana pada tanggal yang sama terdapat lebih dari 16.000 kematian akibat infeksi Covid-19.
Jika dilihat, terdapat 16 negara dengan situasi pandemi yang tidak terkendali. Keenambelas negara tersebut ialah AS, Brasil, Inggris, Spanyol, Perancis, Jerman, Rusia, Afrika Selatan, India, Kolombia, Italia, Meksiko, Argentina, Indonesia, Ceko, dan Portugal.
Negara-negara tersebut bisa dibilang belum mampu mengendalikan laju penularan virus Covid-19 karena masih tingginya kasus infeksi baru harian yang berada di atas angka 10.000 setiap hari.
Kegawatan ini juga tecermin dari semakin banyaknya korban jiwa yang jatuh akibat virus Covid-19 di negara-negara tersebut. Dari keenambelas negara di atas, hanya Kolombia yang memiliki penambahan kematian akibat Covid-19 dengan angka di bawah 100 jiwa pada 13 Januari.
Di Indonesia sendiri mencatatkan rekor penambahan kematian akibat Covid-19 sebesar lebih dari 300 jiwa di hari yang sama. Sementara, situasi di AS, Brasil, Inggris, Jerman, dan Meksiko jauh lebih berbahaya dengan jumlah kematian harian akibat Covid-19 di atas 1.000 jiwa.
Tingkat keparahan dari situasi pandemi di negara-negara di atas semakin terlihat jelas ketika dibandingkan dengan kasus global. Jika dijumlahkan, penambahan kasus harian di keenambelas negara di atas ialah sebesar lebih dari 560.000 orang.
Jika dibandingkan, angka tersebut setara dengan tiga perempat penambahan kasus positif harian secara global yang berada di kisaran 745.000 orang. Tak ayal, lebih dari 70 persen kasus Covid-19 hingga saat ini terkonsentrasi di negara-negara itu.
Statistik kematian di keenambelas negara ini juga tak kalah menyesakkan. Dari sekitar 2 juta total kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia, sekitar 1,4 juta atau setara dengan 72 persen di antaranya jatuh di negara-negara tersebut.
Hal serupa juga terlihat dari penambahan korban jiwa harian, di mana dari sekitar 16.000 orang yang meninggal pada 13 Januari, lebih dari 14.000 di antaranya merupakan korban dari keenambelas negara di atas.
Dari negara-negara di atas, AS menjadi negara dengan situasi pandemi yang paling gawat. Semenjak Januari 2021, kasus positif harian di negara ini selalu berada di atas angka 200.000. Bahkan, pada 8 Januari silam, angka positif harian di AS sempat mencetak rekor dengan penambahan 308.000 lebih kasus. Angka tersebut merupakan yang tertinggi semenjak Maret tahun lalu ketika kasus Covid-19 pertama kali diumumkan di AS.
AP PHOTO/CAROLYN KASTER
Presiden Amerika Serikat periode 2021-2025, Joe Biden, disuntik vaksin Covid-19.
Tren penambahan kematian akibat Covid-19 di Negri Paman Sam ini pun belum menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Meski selama tahun 2021 ini jumlahnya naik turun, dengan kematian harian terendah berada di angka 1.403 jiwa pada 3 Januari.
Angka kematian ini sempat mencatatkan rekor 3 kali dalam waktu kurang dari 2 minggu. Rekor jumlah kematian akibat Covid-19 harian ini tercatat pada 6 Januari dengan jumlah 4.089 jiwa, 7 Januari dengan jumlah 4.132 jiwa dan 12 Januari dengan jumlah 4.491 jiwa.
Bersiap Perburukan di 2021
Di awal tahun 2021, Direktur Eksekutif Program Kedaduratan Kesehatan WHO Mark Ryan menyatakan, tahun kedua Covid-19, terutama di masa awal tahun 2021, akan semakin sulit dikendalikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pasalnya, musim dingin di belahan dunia utara ini secara tradisional menjadi waktu berkumpul bagi masyarakat.
Meski telah diperingatkan sebelumnya, masih adanya kegiatan berkumpul di tingkat akar rumput ditambah lagi dengan ekses liburan Natal dan Tahun Baru 2021 ini membuat WHO memprediksi akan adanya lonjakan kasus pada masa-masa awal tahun ini.
Sebetulnya, memburuknya situasi pandemi tak sepenuhnya mengagetkan. Semenjak empat bulan terakhir 2020, beberapa negara di Eropa yang sebelumnya relatif berhasil menangani persebaran virus Covid-19 telah mulai menghadapi gelombang kedua penularan virus tersebut. Beberapa negara, tersebut termasuk Jerman, Perancis, Inggris, Italia, dan bahkan negara tetangga Malaysia.
Salah satu negara dengan perkembangan kasus yang cukup dramatis adalah Jerman. Awalnya, selama Maret hingga Mei 2020, Jerman relatif bisa mengendalikan penularan Covid-19. Saat itu, angka pertumbuhan kasus Covid-19 harian dapat ditekan di bawah 700 orang. Padahal, saat puncak penularan terjadi pada akhir Maret, penambahan kasus positif harian nyaris menyentuh angka 7.000 orang.
Secara konsisten, Jerman berhasil menjaga pertumbuhan kasus harian hingga akhir Juli 2020. Saat itu, tren pertumbuhan kasus positif Covid-19 mulai merangkak naik di atas 1.000 orang setiap hari. Situasi pandemi di Jerman kian tak terkendali mulai akhir Oktober lalu.
Mulai 26 Oktober, penambahan kasus positif harian ini tak pernah di bawah 10.000 orang, bahkan sempat mencapai lebih dari 31.000 orang. Meski semenjak Januari 2021 angka ini cenderung turun, Pemerintah Jerman tentu belum dapat menarik napas lega dengan rata-rata penambahan kasus harian mingguan (7-days moving average) yang masih berada di kisaran 20.000 orang.
Namun, cerita ini tak hanya terjadi di Jerman. Setidaknya, Belanda, Inggris, Spanyol, Perancis, dan Italia juga mengalami hal yang sama. Di negara-negara tersebut, setelah mencapai puncaknya pada pertengahan Maret hingga awal Mei 2020, situasi cenderung terkendali hingga September atau Oktober.
Saat-saat itu, ombak kasus Covid-19 relatif tenang dan jumlah penambahan kasus baru harian dapat ditekan hingga di bawah 1.000 kasus. Namun, situasi mulai memburuk pada empat bulan terakhir 2020 dan belum mereda hingga saat ini.
Menanggapi hal ini, beberapa pemimpin negara pun tak ragu untuk mengambil sikap tegas. Di Jerman contohnya, yang pada pertengahan Desember lalu telah memberlakukan karantina ketat (lockdown) di seluruh negaranya.
Dengan diberlakukannya kebijakan ini, kegiatan usaha yang masuk ke dalam kategori non-esensial, pusat penitipan anak harus tutup, pusat kebugaran dilarang untuk dibuka, tempat beribadah boleh buka namun dilarang untuk mengadakan pertemuan, pembelajaran sekolah dilakukan secara jarak jauh serta semua pelaku usaha sangat dianjurkan untuk melakukan proses bisnis dari rumah.
AFP/INA FASSBENDER
Biskuit dalam bentuk jarum suntik dipajang di toko roti Schuerener Backparadies di Dortmund, Jerman, Selasa (5/1/2021). Jerman memperpanjang dan memperketat karantina wilayah parsial hingga 31 Januari untuk menekan penyebaran Covid-19.
Kebijakan lockdown ini pun diperpanjang dan diperketat saat laju pertumbuhan kasus Covid-19 harian belum juga terkendali hingga awal Januari ini. Pengetatan ini disertai dengan kebijakan baru seperti larangan berkumpul di rumah dengan lebih dari 1 orang tamu dan kewajiban tes sebanyak 2 kali dan isolasi sebelum masuk ke dalam negeri. Bahkan, para orangtua pun diperkenankan mengambil cuti berbayar untuk mengurus anak di rumah selama 10-20 hari.
Dengan pembatasan yang begitu ketat, Merkel selaku Perdana Menteri Jerman pun belum percaya diri dengan kemampuan negaranya untuk dapat segera menekan angka pertumbuhan kasus Covid-19.
Menurut dia, dibutuhkan paling tidak 3-4 bulan pembatasan ketat agar dampaknya dapat terasa, biarpun langkah-langkah lain seperti vaksinasi telah dimulai. Selaras dengan Merkel, beberapa negara lain di Eropa seperti Inggris dan Belanda pun sama-sama memberlakukan pembatasan ketat hingga saat ini.
Maka dari itu, perburukan situasi di awal tahun ini seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh pemimpin negara di dunia. Keberhasilan dalam mengendalikan laju penyebaran virus Covid-19 terbukti tidak permanen dan persebaran virus dapat meledak sewaktu-waktu. Maka, protokol 3M pun lagi-lagi menjadi jurus andalan untuk menekan penyebaran virus.(LITBANG KOMPAS)