Potret Kualitas Pekerja Migran Indonesia
Pemerintah Indonesia berkomitmen memperbanyak pengiriman tenaga kerja migran di sektor formal. Komitmen ini diimbangi dengan upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja migran Indonesia. Harapannya, keamanan dan kesejahteraan WNI yang bekerja di luar negeri makin terjamin.
Pemerintah Indonesia berkomitmen memperbanyak pengiriman tenaga kerja migran di sektor formal. Komitmen ini diimbangi dengan upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja migran Indonesia. Harapannya, keamanan dan kesejahteraan WNI yang bekerja di luar negeri makin terjamin.
Indonesia memiliki setidaknya 9 juta pekerja migran di luar negeri dengan penempatan terbesar di Malaysia dan Arab Saudi (Bank Dunia, November 2017). Mereka mengirimkan remitansi sebesar 8 miliar dollar AS atau setara Rp 108 triliun pada kurun Januari-November 2017.
Pekerja migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 mengatur perlindungan pekerja migran Indonesia. Regulasi tersebut menjamin pekerja migran Indonesia harus dilindungi dari praktik perdagangan orang, perbudakan, kerja paksa, kekerasan, kesewenang-wenangan, dan perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Secara umum, komposisi pekerjaan pekerja migran Indonesia (PMI) dibedakan menjadi dua kelompok, yakni sektor formal dan sektor informal. Secara sederhana, pengelompokan tersebut dibedakan berdasarkan bidang kerja PMI ditempatkan.
Sektor formal meliputi kerja sama dengan perusahaan serta G to G (government to government) atau kerja sama antarpemerintah. Ragam pekerjaannya antara lain operator mesin, tenaga ahli, pekerja kebun, pekerja perhotelan dan pariwisata, serta jenis pekerjaan lain yang dinaungi oleh perusahaan berbadan hukum.
Sementara sektor informal merupakan lapangan kerja dari perorangan. Jenis pekerjaan yang paling lazim di sektor informal adalah asisten rumah tangga (ART). Kelompok jenis pekerjaan formal dan informal dijadikan patokan menentukan kualitas sumber daya manusia PMI.
Kualitas dapat ditilik sedikitnya berdasarkan dua faktor. Pertama, sektor formal memerlukan keahlian atau keterampilan khusus, antara lain mengoperasikan mesin, tata boga, tata busana, dan pramusaji, sedangkan sektor informal tidak mengharuskan keahlian khusus.
Kedua, penyedia pekerjaan sektor formal berupa perusahaan berbadan hukum. Dengan demikian, PMI yang bekerja dalam naungan perusahaan relatif aman dari tindak kesewenang-wenangan. Jaminan perlindungan hukum atas hak-hak pekerja migran didasarkan pada hukum yang berlaku di negara penempatan. Di sisi lain, pekerja di sektor informal, ART salah satunya, belum dinaungi oleh hukum yang jelas serta minim pengawasan dari pihak ketenagakerjaan.
Berdasarkan dua indikator pembeda antara pekerjaan formal dan informal, dapat dilihat bahwa pekerjaan di sektor formal lebih menuntut kualitas serta terlindungi dibandingkan pekerjaan di sektor informal.
Merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Migran, meningkatkan pengiriman PMI di sektor formal merupakan pengamalan dari perundang-undangan ini. Alasannya, pekerjaan di sektor formal lebih menjamin keamanan dan hak PMI di negara penempatan.
Komposisi
Ditinjau dari angka nasional, pekerja migran informal yang diberangkatkan dalam rentang 2011-2018 sebanyak 1.492.631 jiwa. Sejumlah 1.296.548 jiwa berasal dari Pulau Jawa. Artinya, Pulau Jawa menyumbang 87 persen PMI di sektor informal.
Selama periode 2011-2018, angka PMI informal dari Jawa selalu di atas 50 persen. Puncak tertinggi terjadi pada 2017, mencapai 71 persen dari keseluruhan PMI yang berkampung halaman di Pulau Jawa.
Jika dirinci, kontribusi tiap provinsi di Jawa terhadap jumlah PMI informal adalah sebagai berikut: Jawa Barat 508.954 jiwa, Jawa Timur 368.927 jiwa, Jawa Tengah 357.761 jiwa, Banten 45.400 jiwa, Jakarta 10.473 jiwa, dan Daerah Istimewa Yogyakarta 5.033 jiwa. Sementara Jawa Barat menjadi penyumbang PMI informal terbanyak delapan tahun terakhir.
Pemerintah berupaya untuk menekan angka PMI informal dan meningkatkan di sisi formal. Sebenarnya pekerja migran Indonesia sejak tahun 2011 sudah banyak diisi sektor formal, terutama pekerja migran asal daerah luar Jawa.
Angka yang cukup signifikan dalam memacu porsi PMI formal ada di Kalimantan. Tahun 2011, angka PMI formal 69 persen. Berselang tujuh tahun, angka PMI formal meningkat sebesar 26 persen di 2018. PMI formal didominasi PMI asal Kalimantan dengan komposisi 95 persen berbanding 5 persen.
PMI formal asal Sumatera juga mengalami peningkatan selama periode 2011-2018 sebesar 11 persen. Pada awal periode, besaran PMI formal 59 persen, lalu bertambah menjadi 70 persen pada tahun 2018.
Berbeda dengan Kalimantan dan Sumatera, angka PMI formal di wilayah Nusa Tenggara cenderung stagnan. Perbandingan PMI formal dan informal di wilayah ini adalah 80 persen banding 20 persen pada tahun 2018. Kondisi tersebut sama dengan angka yang muncul pada 2011.
Sementara itu, penurunan angka PMI formal terjadi di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua. Walaupun angkanya menurun, angka PMI formal masih di atas angka 55 persen. Dengan demikian, pekerja migran sektor formal masih unggul dalam jumlah.
Moratorium
Upaya pemerintah menjamin perlindungan dan hak pekerja migran Indonesia dilakukan, antara lain, lewat penghentian sementara pengiriman pekerja migran atau moratorium. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan banyaknya permasalahan yang menimpa tenaga kerja Indonesia yang bekerja pada pengguna perseorangan dan lemahnya jaminan perlindungan di negara-negara tujuan.
Pada 2009, Pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman PMI ke Kuwait. Setahun kemudian, giliran Jordania yang dicoret dari daftar tujuan penempatan PMI.
Kebijakan lain, pemerintah memberlakukan nota kesepahaman dengan Pemerintah Arab Saudi pada 2011 tentang penghentian pengiriman PMI ke negara Timur Tengah tersebut. Pada tahun 2015, moratorium diperluas ke 21 negara di Timur Tengah, Afrika Utara dan Afrika Timur, serta Pakistan.
Melalui moratorium, pemerintah bertujuan mengurangi PMI informal untuk menekan risiko kerja warga negara Indonesia di luar negeri. Upaya pembatasan hingga penghentian pengiriman PMI ke negara-negara tertentu dipicu oleh permasalahan yang menimpa pekerja di sektor informal. PMI informal rentan terhadap tindak kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan tak digaji berbulan-bulan.
Secara tidak langsung, moratorium membawa dampak pada keharusan untuk meningkatkan keterampilan kerja PMI. Nantinya keterampilan yang didapat akan berguna untuk bekerja di luar negeri pada sektor formal.
Jika mencermati data yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), kebijakan moratorium sedikit banyak memiliki pengaruh pengurangan angka pekerja informal dan meningkatkan jumlah pekerja formal.
Pada kurun waktu 2011-2018, dua kali diberlakukan moratorium penempatan PMI di sektor informal, terutama di kawasan Timur Tengah. Moratorium pertama diberlakukan pada Agustus 2011. Tujuannya untuk menekan jumlah PMI yang bekerja pada perseorangan atau informal.
Moratorium 2011 dicabut pada tahun 2014, kemudian moratorium kembali diberlakukan pada Mei 2015 dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015. Terbilang 21 negara Timur Tengah masuk daftar pelarangan dan penundaan penempatan PMI informal.
Setahun pascamoratorium 2011 langsung dapat terlihat dampaknya. Pekerja migran informal yang pada 2011 berada di angka 55 persen turun menjadi 48 persen tahun 2012. Berturut-turut pada tahun 2012 hingga 2016 angka pekerja migran formal berada di atas 50 persen. Puncaknya mencapai angka 58 persen pada tahun 2014.
Sebagai sebuah kebijakan, moratorium tidak terlepas dari polemik. Di satu sisi terdapat sejumlah catatan tentang dampak moratorium yang turut berimbas pada penurunan jumlah pekerja migran Indonesia. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut membawa peningkatan komposisi pekerja migran sektor formal.
Upaya perlindungan dan keamanan pekerja migran inilah yang menjadi catatan besarnya. Hal ini senada dengan pandangan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta sebagai pihak penyalur pekerja migran. Dari sisi penyalur, mengirimkan pekerja informal dipandang lebih merepotkan dan berisiko.
Sebagai gambaran, jika menyalurkan 100 PMI pada sektor informal, pihak penyalur berurusan dengan 100 tuan atau majikan para PMI. Penyaluran PMI sektor formal lebih sederhana dan risiko konflik lebih rendah. Apabila mengirim 100 PMI pada satu perusahaan, pihak penyalur hanya berurusan dengan satu pihak terkait saja.
Mencermati pola pengiriman pekerja migran Indonesia, dari aspek kewilayahan, PMI informal paling banyak muncul dari Jawa. Dengan demikian, pemerintah harus bekerja keras untuk menggiring PMI dari sektor informal ke formal. Pulau Jawa, sekali lagi, perlu diberi perhatian lebih terkait hal ini.
Tidak lupa pula untuk mempertahankan komposisi PMI formal yang sudah mendominasi di wilayah selain Jawa. Harapannya, jika lebih besar angka PMI formal, pekerja migran asal Indonesia dapat dapat lebih aman dan terlindungi, termasuk dari praktik perdagangan orang. (LITBANG KOMPAS)