Perdukunan dan Otak Kita
Era digital menjadi perlambang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, banyak di antara kita meyakini hal-hal supranatural. Siapa pun bisa terjebak dalam takhayul yang sulit dibuktikan oleh sains.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F2020318iam-MZW_1584550799.jpg)
M Zaid Wahyudi, Wartawan Kompas
Deklarasi Persatuan Dukun Nusantara atau Perdunu di Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (3/2/2021), menimbulkan kontroversi. Terlebih, salah satu agendanya adalah menggelar festival santet dan mengenalkan obyek wisata mistis di kabupaten yang terkenal dengan isu dukun santetnya pada masa awal Reformasi itu.
Sejumlah pihak menolak keberadaan organisasi tersebut, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga pelaku industri pariwisata. Alasannya beragam, mulai dari kekhawatiran merusak keimanan, membuat citra buruk daerah, hingga khawatir wisatawan takut berkunjung ke daerah tersebut.
Munculnya penipuan berkedok praktik perdukunan jadi salah satu pendorong terbentuknya Perdunu. Padahal, meski tabu dibicarakan, dibenci sebagian orang, dianggap tak rasional, hingga aneka citra negatif yang melekat padanya, banyak orang memakai jasa dukun.
Mereka yang mengunjungi dukun bukan hanya kalangan berpendidikan rendah atau ekonomi bawah, tetapi juga ada orang terdidik bergelar doktor atau lulusan perguruan tinggi besar dunia. Perusahaan-perusahaan besar pun ada yang menggunakan jasa dukun untuk memperlancar usaha mereka. Demikian pula pejabat publik, militer, hingga tokoh politik.
Baca juga : Kemenyan Punya Cerita
Praktik perdukunan juga menjadi model hiburan yang banyak dipertontonkan di televisi. Tentu saja pelakunya tidak disebut dukun, tetapi istilah yang dianggap lebih positif, seperti paranormal atau peramal. Tak jarang, praktik perdukunan itu dibungkus sebagai kegiatan keagamaan.

Paranormal Activity: The Marked Ones
Dukun, atau sering disamarkan dengan sebutan ”orang pintar”, nyatanya memiliki spesialisasi beragam, baik yang bersifat positif maupun negatif. Ada dukun bayi, pijat, pengobatan alternatif, pemasangan susuk kecantikan, hingga mendatangkan keuntungan, kelancaran rejeki, atau jodoh.
Ada pula dukun yang dipercaya bisa memudahkan naik jabatan, mengikuti ujian sekolah atau perlombaan, menentukan hari baik buruk, meramal nasib, hingga melakukan hal-hal yang merusak, seperti santet, mencelakai orang, ataupun menutup atau menghalangi rezeki pesaing usaha.
Luasnya bidang dan besarnya potensi pasar membuat perdukunan tetap tumbuh meski tak ada pendidikan formal dukun. Mereka ada yang bekerja berdasarkan keterampilan, kemampuan membaca pikiran, membuat ramuan, hingga menggunakan bantuan makhluk astral.
Meski nyatanya menggunakan jasa dukun, banyak orang enggan mengakuinya demi alasan keimanan atau rasionalitas. Tak salah kiranya jika Mochtar Lubis (1977) menilai manusia Indonesia itu munafik, percaya takhayul, dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200918dit-Masker-Jawa-Tengah-2_1600429654.jpg)
Sejumlah perwakilan komunitas paranormal memasang masker di Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kota Semarang, Jumat (18/9/2020). Pada acara kunjungan kerja Komisi III DPR itu, dibagikan 36.000 masker kepada sejumlah komunitas masyarakat di Jateng.
Manusiawi
Nyatanya, bukan hanya orang Indonesia yang gampang percaya kepada dukun. Survei Gallup pada 2005 menunjukkan, tiga dari empat orang Amerika Serikat percaya paranormal, 41 persen orang percaya adanya indera keenam (extrasensory perception), dan 37 persen percaya hantu.
Kepercayaan pada hal-hal supranatural itu bisa dipicu kerusakan otak secara biologis atau kegagalan seseorang dalam memikirkan sesuatu. Kelelahan, stres, konsumsi obat-obatan tertentu dan alkohol, hingga efek pencahayaan yang terbatas bisa mendorong seseorang memersepsikan munculnya makhluk halus.
Kepercayaan pada hal-hal supranatural bisa dipicu kerusakan otak secara biologis atau kegagalan seseorang dalam memikirkan sesuatu.
Tapani Riekki dari Universitas Helsinki, Finlandia, seperti dikutip
BBC, 31 Oktober 2014, mengatakan, orang yang percaya hal-hal supranatural memiliki ”hambatan” kognitif yang lebih lemah dibandingkan mereka yang skeptis. Hambatan kognitif itu adalah keterampilan yang memungkinkan seseorang menghilangkan pikiran yang tidak diinginakn.
Setiap orang sejatinya memiliki pola pikiran aneh di otak mereka. Namun, orang yang skeptis lebih mudah menyingkirkan pola pikiran yang tidak jelas tersebut.

Medicine man sekaligus peramal nasib, seperti Ketut Liyer, di Pengosekan Mas, Ubud, Gianyar, Bali, banyak didatangi wisatawan asing ataupun lokal.
Ronald E Riggio, profesor psikologi di Claremont McKenna College, California, AS, dalam Psychology Today, 17 November 2019, menyebut, kepercayaan pada hal-hal gaib juga terkait erat dengan beberapa bias kognitif dalam pikiran manusia.
Bias pandangan ke belakang membuat orang percaya firasat walau mereka sering tidak sadar prediksi atas sesuatu itu baru dilakukan setelah mengetahui atau mendengar terjadinya suatu hal.
Sementara bias konfirmasi membuat seseorang gampang percaya dengan ramalan. Padahal, orang yang percaya ramalan cenderung mencari informasi untuk meneguhkan keyakinan awal yang dimilikinya dan mengabaikan hasil yang tidak sesuai dengan ramalan.
Sementara Sander van der Linden dalam Scientific American, 1 September 2015, menilai, kepercayaan pada takhayul bisa bersumber dari kegagalan seseorang memikirkan sesuatu.
Seseorang dengan pola pikir intuitif mengandalkan insting dalam membuat keputusan, lebih mudah mengalami hal-hal supranatural dibandingkan orang yang berpikir reflektif, yaitu berpikir kritis sebelum membuat kesimpulan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F463952_getattachmentc3c3e9dd-da91-41cb-ab95-93dcf5dcd101455365.jpg)
Indah Ariani, praktisi pembaca kartu tarot, berusaha membaca ramalan jodoh kliennya di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (17/8/2017).
Selain itu, orang yang percaya hal-hal supranatural sering menjadikan keyakinannya itu sebagai tameng atas ketidakmampuan mereka mengendalikan situasi di sekelilingnya dan menghadapi kerasnya hidup.
Kondisi yang kacau membuat otak lebih mudah menghadirkan ilusi atas sesuatu yang sejatinya tidak terjadi guna mencari jawaban dan memaknai situasi yang terjadi.
”Kita menciptakan kepercayaan pada makhluk astral karena kita tidak suka memercayai bahwa dunia itu acak,” kata Adam Waytz dari Universitas Northwestern, Illinois, AS.
Bijaksana
Namun, para ilmuwan mengingatkan untuk tidak memandang rendah mereka yang memercayai hal-hal supranatural. Dalam tingkat tertentu, kepercayaan pada takhayul justru bisa meningkatkan kinerja seseorang, seperti dalam penggunaan jimat atau hal-hal yang dianggap membawa hoki.
Kepercayaan atas kekuatan magis benda tersebut bisa mendorong seseorang lebih percaya diri atas kemampuannya dan bekerja lebih giat. Hasilnya, hal-hal yang diinginkan bisa terwujud meski itu sebenarnya disebabkan oleh usaha kerasnya, bukan jimatnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2FIMG-20190610-WA0015_1560168401.jpg)
Paranormal mengadakan ritual dengan mengorbankan seekor ayam putih ke dalam sungai, Senin (10/6/2019) sore, agar Tuhan segera memberikan petunjuk atas dua korban hilang dalam kecelakaan mobil masuk jurang di Jalan Bukittinggi-Payakumbuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Selain itu, orang yang tidak tenang dalam berpikir lebih mudah membayangkan hal aneh atau menakutkan di sekitarnya. Selain itu, orang kritis bisa jadi menolak takhayul tertentu, tetapi tanpa disadari memercayai takhayul yang lain. Hal itu membuat orang-orang yang terbiasa berpikir kritis pun terjebak untuk memercayai takhayul.
”Sangat mudah menganggap kita sebagai orang rasional. Padahal, lebih bijaksana jika memahami situasi yang ada karena tiap orang rentan mengalami kesalahan berpikir saat kita tidak memiliki kendali atas diri dan sekitar,” kata Jennifer Whitson dari Universitas Texas, AS.
Kepercayaan pada hal-hal supranatural umumnya memang tidak berbahaya. Namun, keyakinan ini merusak dengan sangat cepat kemampuan menalar kita, mengurangi penerimaan terhadap sains, mudah tertipu rayuan dukun, atau mudah percaya teori konspirasi hingga hoaks.
Karena itu, menjaga pola pikir reflektif, pikiran kritis, sikap skeptis, serta berpikir tenang dan tidak emosional bisa menghindarkan manusia dari jebakan takhayul. Namun, hal itu jelas tidak mudah. Pendidikan yang mengasah nalar dan kemampuan mengendalikan emosi bisa melatih manusia agar tetap memegang kendali atas diri dan sekitarnya.