Ketokohan Digandrungi untuk Menang Pilkada
Kelindan memanfaatkan ketokohan patron bupati dalam pilkada membawa dampak kurang menggembirakan dari segi sirkulasi kepemimpinan di daerah.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F7116aca1-8d92-4774-87f4-2f4db48eea5c_jpg.jpg)
Baliho para kandidat calon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan terpasang di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, 24 Oktober 2020.
Kampanye Pilkada 2020 yang sedang berlangsung dimanfaatkan semua pasangan calon kepala daerah untuk sebesar-besarnya meraih simpati publik pemilih. Segi ketokohan sosok di mata masyarakat menjadi salah satu ujung tombak kampanye.
Dalam pilkada, ketokohan bisa bermakna sosok yang populer-terpandang atau berpunya. Ketokohan juga sangat dekat dengan status sebagai petahana kepala daerah. Dalam konteks yang paling vulgar, ketokohan bahkan dimaknai sebagai seberapa mampu dia berbagi ”manfaat materi” dengan para pemilih.
Pilkada 9 Desember yang akan dilaksanakan di 270 daerah lagi-lagi sangat mengandalkan aspek ketokohan. Sekadar bergantung pada kecakapan, kepandaian, atau bahkan popularitas sekalipun kiranya sulit ”menjamin” kemenangan.
Dalam sejumlah pilkada sebelumnya, tidak banyak nama yang relatif bebas kepentingan politik bisa mengapitalisasi modal ketokohannya untuk maju di pilkada. Sebagian merupakan nama-nama akademisi, tokoh masyarakat, atau bahkan budayawan.
Salah satunya ialah Nurdin Abdullah, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Setelah sukses memajukan Kabupaten Bantaeng selama 10 tahun menjabat (2008-2018), kini dia ”naik jenjang” menjadi Gubernur Sulsel. Dalam hal ini, keberhasilan di tingkat kabupaten menaikkan citra positif Nurdin Abdullah di tingkat provinsi. Namun, dia maju didukung partai politik.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20200924egiB-pilkada_1603285835.jpg)
Dua pasangan calon wali kota dan wakil wali Kota Magelang, Jawa Tengah, memamerkan nomor urut masing-masing, 24 September 2020.
Cerita berbeda terjadi di jalur independen. Dalam Pilkada DKI 2012, misalnya, ada akademisi Faisal Basri yang saat itu maju dari jalur nonparpol (independen) berpasangan dengan Biem Benyamin. Tercatat pula nama sutradara Garin Nugroho di Pilkada Kota Yogyakarta, 2017. Hasilnya? Perolehan suara Faisal Basri hanya 4,98 persen suara. Garin Nugroho lebih mengenaskan. Dia batal maju karena dana publik dan fotokopi KTP sebagai syarat jalur independen sangat minim.
Nama-nama yang cukup populer dalam dunia akademik dan sosial ternyata tak mampu mendulang suara memadai di pemilu kepala daerah. Ke mana simpati dan suara para simpatisan mereka di kotak suara dan mengapa perolehan suara di pilkada tak sebanding dengan tingkat ketokohan sang calon?
Sejumlah alasan teknis kontestasi pilkada memang bisa diajukan. Dalam kasus Faisal Basri, alasan itu ialah waktu kampanye yang mepet. Selain itu, di antara tokoh yang bertarung ada nama kuat Joko Widodo. Demikian juga dalam kasus Garin Nugroho, kemampuan tim relawan dalam menggerakkan warga Yogyakarta untuk berpolitik mandiri ternyata belum sesuai harapan.
Dukungan parpol
Sulitnya para tokoh nonparpol maju secara mandiri sulit dimungkiri karena kalah bersaing dengan ketokohan yang disokong partai politik. Pada hari kontestasi, mesin politik parpol akan turun dengan kekuatan strategi dan bermacam dukungan. Dalam hal ini, akumulasi materi, jaringan organisasi, dan pengaruh sosial dukungan partai akan sulit ditandingi tokoh independen.
Dalam konteks ini, peningkatan jumlah calon tunggal yang akan bertanding di Pilkada 2020 turut mengindikasikan menguatnya partai politik di tengah situasi pandemi Covid-19. Tercatat dalam pilkada tahun ini, ada 25 daerah melakukan pilkada dengan calon tunggal, meningkat dari 16 calon tunggal (Pilkada 2018), 9 calon tunggal (pilkada 2017), dan 3 calon tunggal (pilkada 2015).
Sejauh ini, calon tunggal hampir selalu memenangi pilkada karena pemilih tak punya alternatif lain. Setidaknya hanya satu kasus kotak kosong yang menang, yaitu di Pilkada Kota Makassar 2018. Namun, di balik kejadian itu, sebenarnya ada tokoh kuat yang ”berkampanye” untuk kotak kosong.

Saat parpol terlihat menguat, jalur independen (nonparpol) cenderung melemah dengan 98 paslon mendaftar. Jumlah ini turun dibandingkan dengan tahun 2018 (127 paslon), dan tahun 2015 (256 paslon) meskipun sedikit lebih tinggi daripada tahun 2017 (90 paslon). Dari jumlah pendaftar itu, hanya sebagian kecil yang lolos persyaratan administrasi dan bertanding di kotak suara.
Kemenangan paslon dari jalur independen pun sebenarnya ditopang oleh latar belakang parpol sebelumnya. Contohnya kemenangan Rita Widyasari di Pilkada Kutai Kartanegara, Kaltim, 2015. Dia ditopang Golkar dan Syaukani Hasan Rais, Bupati Kukar sebelumnya yang juga ayahnya. Tercatat di Pilkada 2015 itu, dari 12 pemenang jalur independen, hampir separuh dari kader parpol.
Paling ampuh
Sulit dimungkiri, penggunaan ketokohan yang berkelindan dengan posisi petahana kepala daerah dan kekerabatan (dinasti) paling menjamin kemenangan di pilkada. Yang cukup menonjol, misalnya Wali Kota Kendari 2007-2017, Asrun, yang ”diteruskan” oleh putranya, Adriatma Dwi Putra, selama setahun sebelum ditangkap KPK. Demikian juga Gubernur Jambi 2016-2018 Zumi Zola, yang merupakan anak dari Gubernur Jambi periode 1999-2010, Zulkifli Nurdin.
Kasus paling menonjol ialah kelindan ketokohan yang bernuansa petahana sekaligus dinasti politik, Ratu Atut Chosiyah. Mulai dari anak, adik, adik tiri, adik ipar, hingga menantu semuanya menyandang ketokohan dari keluarga besar Ratu Atut dan ayahandanya, Tubagus Chasan Shochib.
Kelindan ketokohan yang terbilang memilukan ialah paslon kepala daerah yang terlibat korupsi, tetapi tetap menang di pilkada. Saking kuatnya pengaruh di daerah pemilihan, tanpa kehadiran fisik, mereka tetap mampu memenangi pemilihan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_28409500_8_3.jpeg)
Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, 26 Januari 2017. Samsu menjadi tersangka kasus suap penanganan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Buton di MK pada 2011-2012.
Baca juga: Tantangan Pilkada 2020
Contohnya Pilkada Bupati Buton, Sultra, 2017. Sang bupati petahana, Samsu Umar Abdul Samiun, yang maju sebagai calon tunggal Pilkada Buton, menang atas kotak kosong. Padahal, saat itu, dia sudah ditahan KPK di Jakarta.
Ada pula kasus pilu Pilkada Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, dengan sosok Bupati Fuad Amin Imron. Menjabat Bupati Bangkalan mulai 2003 hingga 2013, kursi jabatannya lalu ”diteruskan” anaknya, Makmun Ibnu Fuad. Saat anaknya menjadi bupati, Fuad Amin Imron menjadi Ketua DPRD Bangkalan. Hal ini ibarat ”bertukar tempat” saja karena sebelumnya Makmun Ibnu Fuad merupakan anggota DPRD Bangkalan.
Istri petahana
Kelindan memanfaatkan ketokohan patron bupati dalam pilkada membawa dampak kurang menggembirakan dari segi sirkulasi kepemimpinan di daerah. Betapa kuat dan efektifnya memanfaatkan nama besar kerabat, tetapi akhirnya kerap terjerumus dalam tindakan korupsi.
Saat ini, dari 1.324 bakal paslon yang mendaftar ke KPUD, 331 di antaranya, atau 25 persen, merupakan petahana. Bandingkan dengan Pilkada 2018, ada 19 persen petahana yang mendaftar, sementara pada 2017 terdapat 15,5 persen petahana mendaftar. Artinya, terjadi peningkatan sistematis penggunaan pengaruh petahana dalam meraih target kemenangan pilkada (Kompas, 10/9/2020).
Baca juga: Musim Semi Kandidasi
Yang juga terekam makin menonjol adalah majunya para istri dalam Pilkada 2020. Hal ini terekam antara lain dalam Pilkada Kabupaten Bandung, Cirebon, Kabupaten Semarang, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Binjai.
Bahkan, ada istri yang mendadak menggantikan sang suami karena gagal saat tes kesehatan oleh KPUD. Ia adalah Fatmawati, istri Fahmi Massiara, Bupati Majene, Sulawesi Barat, yang menggantikan suaminya mencalonkan diri dalam Pilkada Majene 2020.
Perkembangan pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan selama lebih dari 15 tahun semestinya mendorong perkembangan rasionalitas dalam pilihan politik. Namun, kenyataannya, hal itu tak terjadi. Perlu dihadirkan strategi yang lebih sehat secara demokrasi, tetapi tetap menjamin kemenangan di pilkada.
(Litbang Kompas)