Relasi pilkada di Banjarmasin tak lepas dari kekuatan parpol, jaringan birokrasi, dan dukungan ulama. Siapa pun yang terpilih, pembangunan Banjarmasin yang bertransformasi ke kota metropolitan harus dituntaskan.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·5 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Warga melintasi baliho pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Banjarmasin di Jalan Tembus Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (12/10/2020). Pilkada Kota Banjarmasin 2020 diikuti empat pasangan calon.
Banjarmasin telah berkembang menjadi kota metropolitan baru. Menyiapkan potensi daerah dalam lanskap kota maju merupakan tantangan yang harus dihadapi calon pemimpin Kota Banjarmasin.
Dalam dokumen Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024, tercatat pengembangan 10 kota di Indonesia menjadi kota metropolitan. Metropolitan merupakan kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau berupa kawasan perkotaan inti dengan kawasan sekitarnya yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi.
Salah satu kota yang digadang-gadang menjadi pusat bisnis baru ialah Banjarmasin. Sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, kota ini sudah dikenal sebagai pintu gerbang perekonomian Kalimantan karena letaknya yang strategis dan memiliki jalur pelayaran sungai.
Sejak era kolonial, simpul pelayaran ini menjadi pintu masuk orang dan barang ke wilayah daratan Kalimantan. Arus kunjungan kapal dalam negeri di Pelabuhan Banjarmasin sejak 2015 hingga 2018 rata-rata 22.000 kapal, sedangkan kapal dari luar negeri 2015-2018 tercatat 1.200 kapal.
Sejak 2015 hingga 2019, struktur ekonomi Kota Banjarmasin didominasi oleh sektor sekunder dan tersier. Tiga lapangan usaha terbesar mendominasi perekonomian Kota Banjarmasin, mulai dari industri pengolahan, jasa keuangan, hingga perdagangan.
Pertumbuhan ekonomi di Banjarmasin pada 2019 mencapai 6,13 persen, tertinggi kedua di Provinsi Kalimantan Selatan. Demikian pula dengan indeks pembangunan manusia (IPM). IPM kota Banjarmasin pada 2019 mencapai 77,16, lebih tinggi dibandingkan dengan IPM provinsi dan 11 kabupaten/kota lainnya di Kalimantan Selatan.
Sebagai konsekuensinya, kota metropolitan Banjarmasin menghadapi sejumlah persoalan, seperti tata ruang, arus perdagangan, mobilitas penduduk, dan aktivitas penunjang lain yang tumbuh mengiringi.
Perkembangan kota juga membutuhkan permukiman layak, sumber daya air, meningkatnya konektivitas, dan energi. Belum lagi penyediaan lapangan pekerjaan dan kualitas lingkungan dari besarnya tingkat polusi akibat sistem transportasi umum yang tak mendukung.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Warga bersepeda motor naik ke dermaga di Kelurahan Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (12/10/2020). Warga menggunakan feri untuk menyeberang ke Pulau Bromo, pulau terluar di pinggiran Kota Banjarmasin.
Tantangan permukiman layak, misalnya, masih dihadapi Banjarmasin hingga saat ini. Dengan luas wilayah 98,46 kilometer persegi, kepadatan penduduk kota Banjarmasin mencapai 7.196 penduduk per kilometer persegi, terpadat di Kalimantan Selatan. Padatnya penduduk juga menyisakan masalah permukiman kumuh di 52 lokasi seluas 46,21 hektar.
Kepadatan warga dan jumlah penduduk bukan satu-satunya karakteristik dari kawasan metropolitan yang membedakan dengan nonmetropolitan. Kriteria lain yang penting meliputi aktivitas sosial ekonomi yang tecermin dalam pembagian tata ruang kota.
Merujuk dari definisi metropolitan, mobilitas pekerjaan, perumahan, dan perjalanan juga menuntut integrasi antarkawasan di kota metropolitan. Artinya, pengembangan sistem angkutan umum perkotaan mutlak bagi ekosistem metropolitan.
Di Banjarmasin, pelayanan transportasi publik baru dirintis menggunakan bus (bus rapid transit atau BRT). Setelah BRT Banjarbakula dioperasikan pada 2019, saat ini dikembangkan jalur bus menuju Bandara Internasional Syamsudin Noor.
Padatnya penduduk juga menyisakan masalah permukiman kumuh di 52 lokasi seluas 46,21 hektar.
Selain baru dalam pengembangan awal di sektor transportasi massal, Banjarmasin memiliki akses jalan yang masih memerlukan perhatian. Publikasi Statistik Kota Banjarmasin 2020 menyebutkan, jalan dengan kondisi yang baik baru sepanjang 274,11 kilometer atau 34,69 persen dari total panjang jalan di Banjarmasin. Selain itu, masih ada jalan yang kondisinya rusak, yaitu sepanjang 224,79 km dan jalan rusak berat 17,13 km.
Demikian pula dengan kualitas air bersih. Produksi air bersih di Kota Banjarmasin pada September 2019 terganggu akibat intrusi air laut ke Sungai Martapura. Di titik pengambilan air baku di Sungai Bilu, kadar garam melebihi 10 kali lipat dari ambang batas yang tertera dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum (Kompas, 30/9/2020).
Kandidat pilkada
Pilkada tahun ini diikuti empat pasangan calon. Pasangan nomor urut satu ialah Abdul Haris Makkie yang berpasangan dengan Ilham Nor. Haris Makkie merupakan Sekretaris Daerah Kalsel sekaligus Ketua PWNU Kalsel, sedangkan Ilham Nor menjabat Sekretaris DPD Partai Gerindra Kalsel.
Petahana Wali Kota Ibnu Sina kembali maju bersama Arifin Noor yang memiliki latar belakang birokrat dengan jabatan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Banjarmasin.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina (depan), yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Banjarmasin, menjelaskan perpanjangan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di kota itu, 7 Mei 2020.
Pasangan nomor urut tiga ialah Khairul Saleh dan Habib Muhammad Ali Alhabsy dari jalur independen. Khairul Saleh pernah menjabat Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin, sedangkan Habib Muhammad Ali Alhabsy menjadi Ketua Rabithah Alawiyah Kota Banjarmasin.
Pasangan calon terakhir ialah Hj Ananda dan Mushaffa Zakir. Keduanya berlatar belakang anggota DPRD Kota Banjarmasin. Ananda merupakan Wakil Ketua DPRD yang pernah menjabat Ketua DPD Partai Golkar Kota Banjarmasin. Adapun Mushaffa Zakir merupakan legislator dari PKS.
Mencermati pola kepemimpinan sebelumnya, terdapat beberapa kecenderungan di pilkada. Pertama, cairnya peluang kandidat calon. Sejak 1999, kursi wali kota selalu berganti. Artinya, belum pernah ada wali kota Banjarmasin yang menjabat dua periode.
Yang kedua, kekuatan politik dan jaringan, dalam hal ini dukungan parpol. Dari empat kandidat pasangan, modal dukungan politik parlemen paling tinggi dimiliki pasangan Ananda-Mushaffa yang mengantongi dukungan dari 21 kursi DPRD. Adapun petahana Ibnu Sina hanya memiliki dukungan 15 kursi legislatif.
Tidak kalah penting dukungan ulama dengan representasi parpol berbasis agama dan nasionalis religius sebagai salah satu kekuatan kepemimpinan lokal. Parpol bercorak Islam menempati posisi istimewa bagi urang Banjar yang dikenal taat menjalankan agama Islam sehingga memengaruhi preferensi politik mereka.
Mencermati tiga pola kecenderungan tersebut, relasi pilkada di Banjarmasin tidak dapat dilepaskan dari unsur kekuatan parpol, jaringan birokrasi, dan dukungan ulama. Di luar pola ini, ruang dukungan belum dapat diandalkan. Tentu saja realitas ini menjadi tantangan berat bagi calon yang maju dari jalur perseorangan.
Petahana Ibnu Sina-Arifin Noor akan mendapat saingan kuat dari pasangan Hj Ananda-Mushaffa dan pasangan Haris Makkie-Ilham Nor. Namun, siapa pun yang terpilih, pembangunan Banjarmasin yang bertransformasi ke arah kota metropolitan merupakan pekerjaan berat yang harus diselesaikan.