Pertahanan dan Keamanan Ibu Kota
Aspek kesiapan pertahanan dan keamanan ibu kota negara seharusnya jadi pertimbangan utama dalam mengevaluasi Jakarta dan pemindahan ibu kota.
Hal itu karena eksistensi dan kedaulatan sebuah negara ditentukan oleh penguasaan dan pengendalian ibu kota oleh negara itu sendiri. Keberadaan dan kedaulatan negara hanya dapat diwujudkan jika pertahanan dan keamanan ibu kota kuat.

Pada masa lalu, Indonesia pernah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Alasannya adalah Jakarta rentan dikuasai asing yang telah mendekati Teluk Jakarta, sementara kekuatan pertahanan nasional tidak memadai untuk melawan. Saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, muncul pemerintahan darurat di Sumatera. Namun, perlawanan melalui Serangan Umum justru dilakukan ke Yogyakarta agar dunia percaya bahwa Indonesia masih eksis.
Dasar pemindahan ibu kota beberapa negara lain juga terkait aspek pertahanan. Brasil memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia karena rentan serangan dari laut. Alasan serupa membuat Pakistan dan India memindahkan ibu kotanya ke pedalaman. Dari Karachi ke Islamabad, dan dari Kalkutta ke New Delhi. Australia juga lebih memilih Canberra daripada Sydney dan Melbourne karena kedua kota itu rentan diserang dari laut.
Geografis Jakarta
Jakarta berada di tepi laut. Namun, wilayah pantai Jakarta berada di perairan teritorial sehingga tidak mudah diinvasi dari laut. TNI pun masih dapat menghambat pergerakan invasi di mandala pertahanan luar (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia/ZEEI) dan mandala pertahanan utama (ZEEI hingga laut teritorial). Ancaman invasi darat lebih kecil karena Indonesia negara kepulauan.
Beberapa kota sebagai alternatif ibu kota negara, seperti Palangkaraya dan Penajam, Pekanbaru, atau Makassar, juga tidak mudah diserang dari arah laut. Semuanya berada di daerah pedalaman atau pantainya menghadap laut teritorial.
Akan tetapi, kota-kota di Kalimantan memiliki risiko serangan darat, termasuk terorisme karena Indonesia mempunyai perbatasan darat yang panjang dengan negara lain.
Sebenarnya, hutan lebat dapat menjadi sarana pertahanan yang baik. Namun, kepentingan pemerataan pembangunan mendorong pembangunan jalan hingga perbatasan. Hal itu berguna memperkuat ketahanan nasional di perbatasan, termasuk loyalitas warga kepada Indonesia. Namun, itu juga menaikkan risiko teritori kita lebih mudah ditembus.
Selain aspek militer, keamanan ibu kota juga harus dinilai dari ancaman bencana alam yang mematikan secara massal semacam gempa dan tsunami. Untuk Jakarta dan sekitarnya belum ada catatan historis kehancuran seluruh kota karena gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi.
Adapun daerah lain yang disebut-sebut calon ibu kota juga harus dilihat keamanannya dari bencana alam. Kalimantan relatif aman dari gempa, tsunami, atau erupsi gunung, tetapi risiko kebakaran lahan cukup tinggi karena tanahnya bergambut. Ada risiko penjalaran api di bawah permukaan tanah. Sementara Sumatera dan Sulawesi berisiko gempa serta tsunami.
Masalah yang lebih kompleks adalah gelar pasukan TNI dan Polri yang selama ini memusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Untuk matra darat, pasukan komando Kopassus dan pasukan pemukul Kostrad berada di Jakarta, dan provinsi lain di Jawa. Penambahan divisi Kostrad luar Jawa berpusat di Sulawesi, tetapi butuh waktu, anggaran, dan penambahan pasukan.
Komando Armada Angkatan Laut juga masih terkonsentrasi di Jakarta dan Surabaya. Organisasi komando AL yang baru dibangun di Papua, tetapi perlu waktu, anggaran, serta penambahan pasukan dan alutsista yang signifikan.
Hanya Komando Operasi Angkatan Udara yang sudah ditempatkan di Jakarta dan luar Jawa (Makassar) berikut gelar jet tempur di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan kawasan timur. Penambahan komando operasi di Papua juga memperkuat pengendalian udara di kawasan timur. Akan tetapi, mata dan telinga pertahanan udara, yakni Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), berada di Jakarta. Beragam alutsista akan menjadi sasaran empuk jika pusat komando dan kendali tidak dipertahankan dengan baik.
Gelar pasukan dan alutsista strategis tersebut membawa konsekuensi penempatan pasukan dan alutsista untuk melindunginya. Radar dan satelit pertahanan dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, tetapi roket dan rudal, termasuk jet tempur, mempunyai keterbatasan jelajah.
Hingga kini, sistem pertahanan udara yang kita miliki baru pertahanan titik dan berjangkauan menengah. Padahal, kecepatan dan ketepatan bertindak, utamanya dalam pertempuran udara, menentukan hasil akhir. Karena itu, pemindahan ibu kota berarti memindahkan pasukan dan alutsista strategis pelindungnya.
Kekuatan pertahanan
Masalahnya, sebagai contoh matra udara, pemenuhan kekuatan pokok minimal (minimum essential force/MEF) saat ini adalah 44 persen dan diharapkan menjadi 67 persen (Kompas, 10 April 2019). Namun, jet tempur Sukhoi 35 masih dalam proses pengadaan, sebagaimana radar pertahanan udara dan radar pasif yang berarti target berisiko meleset.
Jika ibu kota dipindah, perlu tambahan anggaran pemindahan pasukan, alutsista dan infrastruktur pendukung, serta pembangunan markas/pangkalan baru, rumah sakit, sarana latihan, pusat pemeliharaan, perawatan, dan sebagainya di luar belanja modal pengadaan alutsista. Padahal, untuk pembangunan kantor infrastruktur sipil saja pemerintah berencana melibatkan swasta, yang berarti APBN tidak sanggup menanggung semuanya.
Apabila ibu kota tetap di Jakarta, atau memindahkan pusat pemerintahan ke sekitar Jakarta, seperti Malaysia dengan Putra Jaya, pemerintah dan DPR cukup menambah anggaran untuk mencapai MEF.
Meski demikian, evaluasi Jakarta dan rencana perpindahan tetap perlu. Ini dapat menjadi bahan revisi UU Nomor 7 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Fahmi Alfansi P Pane Tenaga Ahli DPR; Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia