Sejak disahkannya UU Cipta Kerja, hingga kini, belum ada kejelasan kapan publik dapat mengakses draf resmi UU tersebut. Belum dipublikasikannya draf UU itu menunjukkan praktik pembahasan RUU cenderung tak terbuka.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Kelompok mahasiswa dari Cipayung plus Jawa Timur dan Surabaya berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Timur, Kota Surabaya, Jumat (9/10/2020). Mereka menolak RUU Cipta Kerja.
JAKARTA, KOMPAS — Belum ada kejelasan kapan publik dapat mengakses draf resmi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, pekan lalu. Alasan teknis kondisi gedung DPR yang sementara waktu disterilisasi karena pandemi Covid-19 menjadi salah satu alasan kenapa draf itu belum dapat diunggah. Publikasi draf itu bergantung kepada pimpinan DPR dan Presiden.
Sepekan setelah RUU Cipta Kerja disetujui oleh DPR bersama pemerintah, draf resmi RUU Cipta Kerja yang disetujui dalam rapat paripurna juga belum dapat diakses oleh publik. Kondisi ini di luar kebiasaan karena draf resmi lazimnya dibagikan langsung kepada anggota DPR pada saat pengambilan putusan tingkat kedua dalam rapat paripurna. Alasan draf belum dibagikan, antara lain, karena masih disisir dan dicek kemungkinan kesalahan tanda baca di draf.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, saat ini pembenahan minor terhadap naskah RUU Cipta Kerja telah selesai dilakukan. Namun, apakah naskah itu dapat diunggah secara terbuka untuk publik dalam waktu dekat, hal itu belum dapat dipastikan. ”Saat ini, gedung DPR di-lockdown. Saya belum tahu teknisnya seperti apa karena gedung DPR dibersihkan dulu, disemprot dengan disinfektan. Mungkin, setelah kegiatan itu, naskah RUU Cipta Kerja dapat diunggah terbuka untuk publik,” katanya.
Sebagai informasi, Gedung Nusantara I DPR saat ini ditutup sementara setelah ada 40 kasus positif Covid-19 di DPR. Sebanyak 18 anggota DPR diketahui positif Covid-19 dan sisanya staf anggota DPR. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar mengatakan, penutupan itu dilakukan sebagai bagian dari upaya sterilisasi gedung dari kemungkinan virus Covid-19. Gedung ditutup mulai Senin (12/10/2020) hingga 8 November 2020. Gedung akan dibuka kembali pada masa sidang kedua DPR tahun 2020-2021, yakni 9 November.
Menurut tata tertib DPR, setelah disetujui di Rapat Paripurna DPR, pimpinan DPR memiliki waktu tujuh hari kerja untuk mengirim draf RUU itu kepada Presiden untuk disahkan. RUU Cipta Kerja baru disetujui pada Senin, 5 Oktober. Karena perhitungannya hari kerja, paling lambat draf itu harus diserahkan kepada Presiden pada Rabu, 14 Oktober.
Pembersihan typo dan perapian draf sudah selesai. Nanti kalau bukan DPR yang merilis, pemerintah bisa juga yang merilis itu (draf RUU Cipta Kerja) untuk publik.
”Pembersihan typo dan perapian draf sudah selesai. Nanti kalau bukan DPR yang merilis, pemerintah bisa juga yang merilis itu (draf RUU Cipta Kerja) untuk publik,” ucapnya, saat dihubungi, Minggu.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menyebutkan, ketentuan mengenai publikasi draf UU Cipta Kerja itu menjadi ranah pimpinan DPR. Namun, yang pasti, draf itu sudah harus diserahkan kepada Presiden dalam tujuh hari kerja. ”Ranah pimpinan untuk menjelaskan kapan dikirim ke Presiden, yakni maksimal tujuh hari sejak persetujuan,” katanya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Coretan pengunjuk rasa di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (10/10/2020). Massa yang kecewa dengan pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR pada Kamis lalu mencoret sejumlah fasilitas publik agar suaranya didengar.
Baidowi mengatakan, RUU Cipta Kerja baru dapat diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah disahkan, yang ditandai dengan pemberian nomor di lembaran negara. Sesuai tata tertib DPR, draf RUU Cipta Kerja harus diserahkan kepada Presiden Joko Widodo dalam waktu tujuh hari. Selanjutnya, Presiden mengesahkan dengan memberikan tanda tangannya di atas draf tersebut. Namun, jika selama 30 hari Presiden tidak mengesahkan draf RUU tersebut, draf RUU otomatis menjadi UU dan diundangkan di dalam lembaran negara.
Anggota Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja cacat substansi dan cacat prosedur. Sekalipun tidak ada keharusan di dalam Tata Tertib DPR untuk membagikan naskah RUU yang akan disetujui dalam paripurna, sudah menjadi konvensi atau kelaziman bahwa draf RUU yang akan diambil keputusan di dalam rapat paripurna dibagikan kepada setiap anggota DPR.
”Dalam forum rapat tertinggi ini, semua yang hadir wajib diberikan draf RUU yang akan dibahas, baik yang hadir secara fisik maupun virtual. Harusnya pimpinan DPR memastikan dulu draf RUU yang begitu penting dan krusial, yang berdampak pada nasib buruh, pekerja, UMKM, lingkungan hidup, dan sebagainya, sudah ada di tangan seluruh anggota DPR, baik secara fisik maupun virtual,” tuturnya.
Setiap anggota DPR yang hadir di rapat paripurna, menurut Didi, mewakili daerah pemilihannya dan mewakili suara yang memilihnya. Oleh karena itu, mereka mewakili aspirasi dan harapan besar rakyat Indonesia. Dalam posisi itu, tidak ada alasan bagi pimpinan DPR untuk tidak membagikan draf RUU Cipta Kerja yang akan diambil persetujuannya.
Tidak terbuka
Praktisi hukum dan Direktur HICON Law & Policy Strategic Hifdzil Alim mengatakan, belum dipublikasikannya draf UU Cipta Kerja menunjukkan praktik pembahasan RUU Cipta Kerja yang cenderung tidak terbuka. Padahal, saat ini draf tersebut sangat ditunggu untuk publik yang sedang menyiapkan permohonan uji materiil dan uji formil UU Cipta Kerja.
”Ketika disetujui itu, kan, barangnya harus jelas. Tidak boleh lagi ada penambahan pasal dan pengurangan pasal. Titik, koma, dan sebagainya itu, kan, seharusnya sudah selesai sebelum hari persetujuan. Kalau sampai barangnya tidak dipublikasikan atau belum jelas versi yang mana, itu hal yang keliru,” katanya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Bus Transjakarta melintasi Halte Sawah Besar, Jakarta Pusat, Jumat (9/10/2020), yang dibakar massa saat demonstrasi. Unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja yang diwarnai kerusuhan menyebabkan sejumlah fasilitas publik di Ibu Kota rusak.
Dalam kondisi belum jelasnya versi UU Cipta Kerja yang beredar, menurut Hifdzil, sulit bagi publik untuk menyiapkan materi gugatan ke MK. Padahal, di sisi lain, publik didorong untuk mengajukan keberatan atau pengujian konstitusionalitas ke MK. Dorongan Presiden untuk menguji konstitusionalitas ke MK pun dinilai kurang sensitif dengan persoalan sesungguhnya dalam penyusunan RUU tersebut. Sejak awal, penyusunan RUU cenderung tertutup.
”Kalau didorong agar maju ke MK, orang sudah tahu pada akhirnya ke sana. Tetapi, kan, bukan itu yang diperlukan oleh publik. Dorongan ke MK itu seolah-olah pemerintah menafikan suara publik,” lanjutnya.
Kalau didorong agar maju ke MK, orang sudah tahu pada akhirnya ke sana. Tetapi, kan, bukan itu yang diperlukan oleh publik. Dorongan ke MK itu seolah-olah pemerintah menafikan suara publik.
Pengajar Ilmu Perundang-undangan Universitas Jember (Unej), Bayu Dwi Anggono, mengatakan, belum tersedianya draf RUU Cipta Kerja menjadi cerminan belum siapnya pembentuk UU dalam menyusun UU dengan metode omnibus law. UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan belum mengadopsi mekanisme pembentukan UU dengan metode omnibus law. Akibatnya, tidak ada pengetahuan atau panduan mengenai aspek-aspek teknis bagaimana UU dengan metode omnibus law itu seharusnya disusun.
Sebagai contohnya, RUU Cipta Kerja menyangkut lebih dari 76 UU. Setiap revisi atau perubahan pasal dalam UU itu pun seharusnya melibatkan publik karena dalam penyusunannya juga melibatkan publik. Dengan kondisi itu, membahas UU dengan metode omnibus law tetap tidak boleh mengabaikan asas kehati-hatian dan pelibatan partisipasi publik. Dengan luasnya cakupan, pembahasan RUU Cipta Kerja tidak bisa terburu-buru.
”Dalam UU No 12/2011 itu tidak diatur tentang omnibus law sehingga kita tidak punya gambaran bagaimana seharusnya UU dengan metode itu mesti dibuat. Jadi, kalau mau membuat UU dengan metode omnibus law, seharusnya pemerintah dan DPR fokus dulu pada aspek kesiapan regulasi yang mengatur omnibus law itu, yakni melalui UU No 12/2011,” tuturnya.
Penyusunan RUU Cipta Kerja pun sejak awal simpang siur karena draf awal RUU itu dari pemerintah yang muncul di publik juga banyak versi, dan baru diperoleh ketika draf itu akhirnya diserahkan kepada DPR. Artinya, menurut Bayu, penyusunan RUU Cipta Kerja sejak awal tidak terbuka.
”Apa yang terjadi saat ini, yakni dengan maraknya penolakan publik, bahkan munculnya disinformasi di masyarakat, antara lain, karena tidak tersedianya informasi yang memadai mengenai RUU Cipta Kerja. Bahkan, anggota DPR pun belum menerima draf RUU Cipta Kerja itu. Artinya, ini memang ada persoalan. Publik banyak salah informasi atau kebingungan karena tidak ada draf yang jelas, yang dapat dijadikan acuan bagi publik,” katanya.
Perihal keterbukaan publik ini pun telah ditegaskan dalam Pasal 88 UU No 12/2011. Dalam penyusunan UU, sudah harus terbuka kepada publik bahkan sejak dari perencanaan. Oleh karena itu, menurut Bayu, jika sampai pada tahap persetujuan ternyata belum dipublikasikan draf UU yang disetujui, ada persoalan keterbukaan publik yang dilanggar dalam penyusunan RUU Cipta Kerja. ”Secara formil, hal ini bermasalah,” ujarnya.
Kompas/Yuniadhi Agung
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Sofyan Djalil, serta Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia (dari kiri ke kanan) hadir dalam konferensi pers penjelasan UU Cipta Kerja yang berlangsung di Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (7/10/2020).