Putusan Etik Kasus Batas Usia Capres-Cawapres 7 November 2023
Majelis Kehormatan MK akan bekerja maraton agar putusan etik kasus batas usia capres-cawapres sudah diputuskan pada 7 November 2023. Mengapa Majelis Kehormatan mengejar penyelesaian di tanggal tersebut?
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akan bekerja secara maraton untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi, khususnya Ketua MK Anwar Usman sebagai pihak yang paling banyak dilaporkan.
Majelis Kehormatan menargetkan akan menjatuhkan putusan etik pada 7 November 2023, sehari sebelum batas pengusulan bakal pasangan calon pengganti yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum.
”Kenapa tanggal 7. Karena kita ingin memastikan jangan sampai timbul kesan, misalnya ada orang menganggap sengaja ini dimolor-molorin,” kata Ketua Majelis Kehormatan MK Jimly Asshiddiqie, Jumat (Senin, 30/10/2023) petang seusai melakukan pemeriksaan tertutup terhadap seluruh hakim konstitusi.
”Di samping itu, untuk keperluan memastikan supaya masyarakat politik kita ini mendapatkan kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum yang adil, jangan ke mana-mana lagi berpikirnya sesudah keputusan MK MK ini,” tambahnya.
Baca juga: Majelis Kehormatan MK Undang 10 Pelapor
Mengacu pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, ada tahapan pengusulan penggantian bakal pasangan calon yang dapat dilakukan pada 26 Oktober hingga 8 November. KPU akan menetapkan pasangan calon pada 13 November dan melakukan pengundian nomor urut pasangan calon pada 14 November.
Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat usia minimal capres dan cawapres, dinilai telah memuluskan putra sulung Presiden Joko Widodo untuk mengikuti konstestasi Pemilu Presiden 2024.
Gibran Rakabuming Raka, yang juga Wali Kota Solo, masih berusia 36 tahun, sementara UU Pemilu mengatur usia minimum capres/cawapres adalah 40 tahun.
Akan tetapi, putusan Nomor 90 telah mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu dengan menambahkan frasa ”atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Penambahan frasa tersebut membuat jalan yang semula tertutup bagi Gibran maju dalam pilpres menjadi terbuka lebar.
Putusan tersebut menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, apalagi dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan Saldi Isra, membuat dissenting opinion atau pendapat berbeda yang cukup keras. Pengaduan etik terhadap para hakim konstitusi pun bermunculan.
Hingga Senin sore, Majelis Kehormatan MK telah menerima sebanyak 18 pengaduan. Ketua MK Anwar Usman menjadi pihak yang paling banyak diadukan, menyusul Saldi Isra dan Arief Hidayat. Sementara hakim konstitusi lainnya diadukan secara bersama-sama, baik dua hakim sekaligus, atau tiga hakim sekaligus, atau lima hakim sekaligus.
Menurut Jimly, Majelis Kehormatan sepakat untuk mendahulukan pengaduan pertama yang diajukan oleh Denny Indrayana (didaftarkan 27 Agustus 2023) dan 16 guru besar serta pengajar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS). Sebab, kedua pengaduan tersebut hampir sama atau mirip. Kedua pengaduan inilah yang akan diputus pada 7 November 2023 oleh Majelis Kehormatan.
”Kami sudah menyusun rancangan jadwal. Akan mulai sidang besok (Selasa ini—Red). Lalu hari selanjutnya Rabu pagi, sore. Kita maraton. Harapan kita sampai Jumat selesai semua," kata Jimly.
Baca juga: Meski Belum 40 Tahun, MK Bolehkan Kepala Daerah Maju Capres-Cawapres
Selasa ini, Majelis Kehormatan akan menggelar sidang terbuka guna mendengarkan laporan dari Denny Indrayana dan CALS. Pada Selasa malam, Majelis menjadwalkan pemeriksaan terhadap Anwar Usman dan Saldi Isra.
Jimly mengimbau masyarakat jangan lagi membuat pengaduan baru. Sebab, laporan yang masuk ke Majelis Kehormatan sudah terlalu banyak. Meskipun demikian, pihaknya tetap akan menerima pengaduan baru hingga paling lambat Rabu sore.
”Itulah kesempatan terakhir masyarakat yang mau menyampaikan laporan, sesudah itu stop. Mohon jangan lagi. Ini sifatnya imbauan moral untuk praktisnya bekerja saja,” katanya.
Sementara itu, Denny Indrayana mengaku siap untuk menyampaikan aduan pelanggaran etika di hadapan Majelis Kehormatan. Baginya, tidak cukup Majelis Kehormatan memberhentikan dengan tidak hormat Anwar Usman dari jabatannya sebagai hakim konstitusi.
”Tetapi lebih jauh, putusan MK Nomor 90 yang cacat moral konstitusional juga harus dinyatakan tidak sah. Sehingga, konsekuensinya tidak bisa menjadi dasar untuk pendaftaran pilpres alias Gibran batal menjadi cawapres,” kata Denny dalam siaran persnya.
”Reshuffle” sembilan hakim
Seperti diketahui, Majelis Kehormatan MK dibentuk sebagai upaya untuk mengembalikan muruah Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan dengan memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim-hakimnya. Dengan adanya putusan Majelis Kehormatan, diharapkan kepercayaan publik kepada MK dapat terpulihkan sehingga nantinya MK dapat menangani agenda ketatanegaraan lima tahunan: sengketa pemilu.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Konferensi Hukum Nasional pekan lalu mengaku malu dengan prahara yang terjadi di lembaga di mana dirinya berada saat ini, khususnya terkait dengan putusan terakhir soal usia capres/cawapres.
”Saya datang ke sini agak malu. Kenapa saya pakai baju hitam, karena sebagai hakim konstitusi saya sedang berkabung. Karena di Mahkamah Konstitusi baru saja terjadi prahara,” kata Arief.
Bahkan, Arief mengaku sempat terpikir bahwa kesembilan hakim konstitusi tersebut harus di-reshuffle. ”Karena kebuntuan saya, bagaimana harus menjaga marwah ini. Saya katakan gitu. Sudah sangat-sangat kekhawatiran saya,” ungkapnya.
Ia ragu apakah MK bisa pulih setelah peristiwa putusan 90 yang diajukan oleh Almas Tsaqqibirru Re A, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang baru saja diwisuda pada hari Sabtu lalu.
”Kalau tidak mampu pulih bagaimana. Apa iya kita bersembilan harus di-reshuffle. Kalau memang itu keinginan bangsa Indonesia untuk kemudian me-reshuffle MK, saya kira bagi saya pun tidak apa-apa. Karena kecintaan saya kepada negara dan bangsa ini,” katanya.
Mosi tidak percaya
Apa yang dikhawatirkan oleh Arief Hidayat sebenarnya sudah terjadi di dalam persidangan MK Senin kemarin. Pemohon uji materi UU Pemilu menyampaikan dan membacakan surat mosi tidak percaya terhadap Ketua MK Anwar Usman, khususnya terkait putusan nomor 90.
”Yang Mulia, kami mohon agar prahara ini tidak berlanjut dan menciptakan rentetan konflik hukum, bahkan berpotensi menimbulkan kerusuhan di masyarakat, maka kami meminta agar permohonan kami perkara nomor 134 tidak melibatkan Prof Dr H Anwar Usman, SH MH dalam setiap pembahasan permusyawaratan hakim, maupun dalam persidangan-persidangan. Hal tersebut disebabkan secara sadar kami menyatakan mosi tidak percaya kepada Prof Dr H Anwar Usman, SH MH, selaku Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini diduga memiliki konflik kepentingan (conflict of interest),” kata Sunandiantoro, kuasa hukum perkara 134 yang menguji Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu.
Ketua majelis panel, Guntur Hamzah, yang memimpin jalannya persidangan tidak kuasa untuk membendung Sunandiantoro. ”Saya melihatnya ini sudah di luar konteks, ya, dari perbaikan (permohonan) ini. Tapi saya selaku Ketua Panel memberikan kesempatan Anda untuk tadi membacakan, meskipun…, ya, di luar konteks,” kata Guntur.
Jimly dipersoalkan
Keberadaan Jimly, yang saat ini masih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi DKI Jakarta, di Majelis Kehormatan MK dipersoalkan oleh Tommy Diansyah, seorang warga. Ia mengirimkan surat kepada pimpinan DPD yang menyoal rangkap jabatan Jimly dan memperoleh duplikasi gaji dari sumber yang sama, APBN.
Rapat pimpinan DPD yang dihadiri Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti, Wakil Ketua DPD Nono Sampono, dan Sultan Baktiar Najamudin membahas surat Tommy tersebut. Sultan Baktiar menjelaskan, hasil rapim memutuskan bahwa pengaduan terhadap Jimly tersebut diserahkan ke Badan Kehormatan DPD untuk menindaklanjutinya.
”Pimpinan DPD mendelegasikan hal ini ke Badan Kehormatan (BK) untuk di-follow up dan dipelajari,” ungkapnya.
BK DPD, tambah Sultan Baktiar, akan melihat secara obyektif apakah ada aturan perundangan yang dilanggar atas keterlibatan Jimly sebagai Ketua Majelis Kehormatan. Mengacu pada Pasal 302 UU MPR DPR DPD dan DPRD (MD3), anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya dan hakim pada badan peradilan. BK juga akan melihat ketentuan lain, khususnya terkait dengan hak keuangan yang bersumber dari APBN.