Resesi Global dan Strategi Fiskal
Pertumbuhan ekonomi tak lagi bisa diharapkan tinggi, tetapi masyarakat, khususnya di kalangan menengah bawah, berpeluang untuk menjadi lebih sejahtera melalui kebijakan fiskal yang lebih inklusif.

”The year of living dangerously”. Narasi ini tampaknya cocok menggambarkan situasi sepanjang 2022. Semuanya serba tak pasti, berbagai perkembangan silih berganti menebar kekhawatiran. Tahun ini adalah pertaruhan, apakah tahun depan akan terjadi perfect storm. Banyak analis mengkhawatirkan bertemunya krisis energi, pangan, dan keuangan yang berujung pada resesi global.
Bank Dunia dalam laporan terkini Global Economic Prospects, edisi Juni 2022, menarasikan betapa rumitnya pilihan situasi. Kalaupun terhindar dari resesi, tampaknya perekonomian global tak bisa terlepas dari stagflasi. Kecuali, terjadi perombakan besar dari sisi penawaran ekonomi melalui restorasi mata rantai pasok dan logistik global.
Dalam laporan ini, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan global 2022 hanya sebesar 2,9 persen, lebih rendah dari perhitungan sebelumnya pada Januari sebesar 4,1 persen. Angka ini merosot drastis dibandingkan pertumbuhan 2021 sebesar 5,7 persen.
Pertumbuhan rendah (stagnasi) akan diiringi inflasi tinggi serta peningkatan risiko keuangan akibat melonjaknya tingkat utang, juga di negara berkembang. Menghadapi pengetatan kebijakan moneter di negara maju, sektor keuangan di beberapa negara berkembang bisa terpicu gejolak.
Kalaupun terhindar dari resesi, tampaknya perekonomian global tak bisa terlepas dari stagflasi.
Pemulihan ekonomi dari pandemi pada 2021 telah memunculkan optimisme berlebihan. Likuiditas yang melimpah dalam perekonomian, sebagai efek stimulus (moneter dan fiskal), telah mendorong permintaan.
Para distributor, produsen, dan penyedia layanan merespons dengan cara melakukan order bahan baku dalam jumlah besar guna mengantisipasi lonjakan permintaan tersebut. Fenomena ini dikenal sebagai ”efek cambuk banteng” (bullwhip effect) atau reaksi berlebihan produsen mengantisipasi peningkatan permintaan.
Dari sisi penawaran, persoalannya lebih pelik. Sudah sejak sebelum pandemi, mata rantai pasok dan sistem logistik global terkendala perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Pandemi tak membuat dinamika surut dan justru sebaliknya. Invasi Rusia ke Ukraina merupakan konsekuensi lanjutan rapuhnya peta geopolitik global.

Pemandangan ladang gandum di bagian selatan Ukraina, kawasan Mykolaiv, pada 11 Juni 2022.
Menyusul pecahnya perang Ukraina, harga pangan dan energi melonjak tajam di tengah kemacetan logistik global. Rusia selama ini dikenal sebagai eksportir energi, mineral, dan pupuk, sementara Ukraina adalah penghasil pokok gandum dan minyak nabati. Harga pangan dunia telah merangkak naik dan sulit dikendalikan. Komoditas energi juga meningkat lebih dari 50 persen sejak meletus perang Ukraina.
Krisis Ukraina hanya memperparah situasi global yang sudah cenderung proteksionis dan nasionalistis. Hantu inflasi tinggi di tengah perlambatan ekonomi menakutkan banyak pihak, termasuk para pelaku sektor keuangan. Stagflasi tak lagi bisa dihindari. Bagaimana kebijakan domestik mengantisipasi perkembangan terkini?
Bertumpu pada fiskal
Sejauh ini, perekonomian domestik relatif kuat menghadapi guncangan global, paling tidak hingga akhir tahun ini. Meski begitu, kita harus bersiap menghadapi badai dahsyat tahun depan.
Pada triwulan I-2022, perekonomian domestik masih tumbuh 5,01 persen secara tahunan. Pertumbuhan didorong ekspor yang mengalami kenaikan sekitar 16 persen sebagai dampak kenaikan harga komoditas di pasar dunia. Investasi asing langsung juga masih tumbuh, terutama di sektor bijih besi dan produk besi. Daerah Maluku dan Papua mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 10,75 persen, disusul Sulawesi sebesar 5,37 persen, dan Jawa sebesar 5,07 persen. Kawasan penghasil tambang mengalami lonjakan pertumbuhan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F04%2F29%2Fea97a4f9-c99e-42a4-8d1e-9752a456d0fe_jpg.jpg)
Pekerja memanen kelapa sawit di areal perkebunan PT Sawit Sumbermas Saran Tbk (SSMS) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021).
Paling tidak sampai akhir tahun, perekonomian kita masih cukup aman dan berpotensi tumbuh sekitar 5 persen secara tahunan. Meski begitu, mengingat pertumbuhan banyak ditopang kenaikan harga komoditas, perlu diwaspadai efek pembalikan ketika harga komoditas mulai turun.
Seperti kita tahu, sektor komoditas punya sifat super-cycle atau naik-turunnya bisa drastis. Perekonomian yang mengandalkan sektor komoditas, selain cenderung mengalami stagnasi dalam produktivitas ekonomi, juga sangat riskan terhadap risiko instabilitas ekonomi.
Jika tahun ini kita cukup optimistis mampu tumbuh di kisaran 5 persen, tahun depan situasinya sangat tidak pasti. Satu-satunya cara menghadapi ketidakpastian adalah meningkatkan kapasitas menghadapi gejolak.
Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, sudah mengantisipasi situasi tersebut sebagaimana tertuang dalam Kerangka Ekonom Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2023 yang baru saja disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Intinya, menghadapi situasi sulit penuh ketidakpastian pada tahun depan, anggaran diarahkan untuk meningkatkan produktivitas perekonomian dalam rangka transformasi ekonomi menuju perekonomian yang inklusif dan berkelanjutan.
Satu-satunya cara menghadapi ketidakpastian adalah meningkatkan kapasitas menghadapi gejolak.
Baca juga : Implikasi Risiko Global
Arah kebijakan sudah tepat dan relevan dengan situasi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada pada kisaran 5,3-5,9 persen dengan tingkat inflasi sebesar 2-4 persen. Sementara nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp 14.300-Rp 14.800 per dollar AS, dan harga minyak mentah berkisar antara 80-100 dollar AS per barel.
Jika risiko perekonomian global meningkat, dampak langsungnya pada perekonomian kita adalah pelemahan nilai tukar akibat arus modal keluar. Jika nilai tukar terus merosot, maka suku bunga acuan Bank Indonesia akan naik. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi akan tergerus. Berita baiknya, kita masih punya bantalan karena harga komoditas sangat mungkin akan terus tinggi sehingga menambah penerimaan negara.
Meski prospek pertumbuhan tak terlalu menjanjikan, ruang fiskal masih cukup baik menyanggga dinamika ekonomi melalui kebijakan counter-cycle. Berbagai program stimulus dan subsidi langsung, khususnya pada kelompok bawah, dalam berbagai perlu diteruskan. Tentu dengan penataan yang lebih baik sehingga lebih punya dampak sosial.
Mungkin juga benar, pertumbuhan ekonomi tak lagi bisa diharapkan tinggi, tetapi masyarakat (menengah bawah) berpeluang lebih sejahtera melalui kebijakan fiskal yang lebih inklusif. Tampaknya itulah realitas ekonomi pascapandemi yang diwarnai berbagai perubahan mendasar di berbagai aspek. Pertumbuhan akan lebih moderat, tetapi berpotensi lebih berkualitas.
*A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya